Rabu, 30 April 2008

Menemukan Kesenangan Allah

Satu
Memburu
Rasa Senang

Begitu mahal dan susahnya untuk bisa senang, gembira dan bahagia, sampai-sampai tak jarang membuat manusia menjadi pusing tujuh keliling. Apalagi jika ia sampai tidak bisa memperolehnya. Konon, hanya karena ingin bisa merasakan senang, puas, gembira dan bahagia, manusia
di seluruh dunia banyak yang bersedia untuk membelinya
dengan harga yang mahal sekalipun.


SENANG adalah sebuah kondisi yang selalu diidaman-idamkan oleh semua orang. Tidak peduli apakah ia adalah seorang laki-laki-perempuan, tua-muda dan besar-kecil. Ibarat sebuah kebutuhan primer, manusia di seluruh dunia setiap hari selalu menyempatkan waktunya untuk memburu rasa senang. Yaitu perasaan puas, gembira dan bahagia karena telah memperoleh sesuatu, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah.
Berbagai macam cara ditempuh dan dilakukan oleh manusia untuk bisa menggapai dan memperoleh rasa senang tersebut. Mulai dari cara-cara yang tidak masuk akal hingga yang bersifat di luar akal sehat. Itu semua mereka lakukan tidak lain karena mereka ingin senang, gembira dan bahagia secara lahir maupun batin.
Begitu mahal dan susahnya untuk bisa senang, gembira dan bahagia, sampai-sampai tak jarang membuat manusia menjadi pusing tujuh keliling. Apalagi jika ia sampai tidak bisa memperolehnya. Konon, hanya karena ingin bisa merasakan senang, puas, gembira dan bahagia, manusia di seluruh dunia banyak yang bersedia untuk membelinya dengan harga yang mahal sekalipun.
Fenomena ketergantungan manusia pada obat-obatan psikotropika dan alkohol, atau aksi manusia yang tanpa henti mencari hiburan yang menyenangkan dan tempat-tempat tujuan wisata yang sejuk, indah, menarik dan masih perawan --- meski untuk keperluan itu ia harus merogoh koceknya dan harus berjalan jauh hingga ke ujung dunia sekalipun --- merupakan bentuk lain dari ekspresi kebutuhan manusia pada rasa senang, puas, gembira dan bahagia. Termasuk bagi mereka yang mengekspresikan keinginan untuk bisa memperoleh rasa senangnya lewat berbagai kegiatan olah raga ekstrem yang dapat memicu andrenalinnya hingga mencapai ke ubun-ubun.
Gilanya lagi, ketika manusia mengeksplorasi keinginannya untuk bisa memiliki, menggapai dan meraih rasa senang, puas, gembira dan bahagia itu, ternyata mereka melakukannya dalam kondisi setelah mereka meniti ’jalan maut’ yang mereka yakini bakal mendatangkan rasa senang, puas, gembira dan bahagia. Memang sangat memprihatinkan sekali. Apalagi, ketika mereka meniti ’jalan maut’ itu, mereka sadar sepenuhnya, bahwa ’keberanian’ dan ’kegilaan’ yang mereka tempuh saat itu, sesungguhnya berpotensi bakal menimbulkan resiko bagi keselamatan diri mereka sendiri. Entah mengapa mereka seolah-olah tidak mau peduli.
Mengapa gara-gara ingin memperoleh rasa senang, manusia sampai nekat melalui jalan maut lewat aksi-aksi gila yang mereka tempuh? Apakah untuk bisa merasakan senang, puas, gembira dan bahagia manusia harus menempuh cara-cara yang justru bakal mengundang lahirnya kesedihan, keperihan dan kesengsaraan hidup? Jawaban atas pertanyaan ini, sebetulnya, telah disiapkan oleh Tuhan Yang Sebenarnya. Yaitu lewat firman-firmanNya yang disampaikan oleh Rasul pilihanNya.





















Dua
Sifat Rasa
Senang

Menurut para pejalan ruhani, aslinya, rasa senang yang dicari oleh manusia di seluruh dunia ini, sifatnya mirip seperti sebuah karet gelang yang sering digunakan untuk mengikat bungkus belanjaan ibu-ibu di pasar.Kadang ia menciut, dan terkadang bisa menjadi melar.


SEBELUM kita mencari tahu bagaimana jawaban Allah dalam al-Qur’an tentang sejumlah pertanyaan pada bab sebelumnya, ada baiknya jika kita telaah terlebih dulu bagaimana aslinya sifat rasa senang yang ada pada setiap manusia. Hal ini penting untuk kita lakukan, agar kita tidak lagi ’disibukkan’ dengan persoalan yang sebetulnya tidak perlu harus membuat kita menjadi pusing tujuh keliling.
Menurut para pejalan ruhani, aslinya, rasa senang yang dicari oleh manusia di seluruh dunia ini, sifatnya mirip seperti sebuah karet gelang yang sering digunakan untuk mengikat bungkus belanjaan ibu-ibu di pasar. Kadang ia menciut, dan terkadang bisa menjadi melar. Ketika karet gelang itu ditarik, misalnya, maka ia akan menjadi melar. Sebaliknya, ketika ia dibiarkan begitu saja, maka karet gelang tersebut akan menjadi ciut.
Demikian juga halnya dengan sifat rasa senang. Apa yang membuat hati kita terasa senang saat ini, bisa saja akan terasa menjadi tidak menyenangkan lagi ketika kita sudah berada dalam sebuah kondisi yang memang membutuhkan kebesaran hati untuk kita tidak lagi mempersoalkannya. Mengapa demikian? Karena, rasa senang itu sifatnya sangat relatif. Dan tentu saja, sangat bergantung dengan situasi tertentu yang ada pada saat itu. Artinya, situasi tertentu itu, sedikit-banyak, juga akan ikut mempengaruhi suasana hati sehingga muncullah rasa senang pada diri kita.
Yang jelas, senangnya kita saat itu, belum tentu akan mendatangkan kesenangan yang sama pada orang lain. Demikian juga sebaliknya. Ketika ada orang lain yang merasa senang, belum tentu pada saat yang sama, kita pun bisa ikut merasa senang. Terlebih senang karena ada orang orang yang merasa senang. Pasalnya kenapa? Karena rasa senang itu adanya di dalam hati. Sedang perasaan dalam hati setiap manusia itu sendiri, tentulah berbeda-beda. Karenanya tak heran jika perbedaan itu pada akhirnya akan membuat rasa tersebut menjadi tidak sama antara satu dengan lainnya.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan, bahwa rasa senang itu sendiri sesungguhnya tidak bersifat stagnant (stabil) atau awet. Jika pada saat ini, misalnya, kita merasa senang karena telah tercapainya apa yang kita inginkan, maka boleh jadi, setelah itu akan muncul keinginan berikutnya lagi seiring dengan terjadinya perkembangan kehidupan kita sebagai manusia. Timbulnya keinginan baru itu, tentu saja akan membuat kita menjadi merasa tidak senang lagi, lantaran keinginan yang baru itu belum terwujud. Tatkala sudah terwujud, maka kita baru bisa merasa senang lagi.
Begitulah sifat senang pada diri manusia. Kita akan merasa senang jika keinginan kita terpenuhi. Namun, ketika telah timbul keinginan yang baru, maka bersamaan dengan itu akan timbul pula rasa tidak senang. Rasa tidak senang itu, nantinya akan disusul oleh rasa senang lagi bersamaan dengan tercapainya apa yang telah kita idamkan. Walhasil, selama manusia masih hidup, maka ia akan terus diliputi oleh rasa senang dan tidak senang secara bergantian.
Apabila ukuran kesenangan kita itu adalah sesuatu yang bersifat materi, maka bersiap-siaplah untuk lebih banyak mengalami ketidak-senangan daripada rasa senang itu sendiri. Sebaliknya, jika ukuran kesenangan kita itu adalah sesuatu yang bersifat immateri, misalnya kesenangan dari sisi ruhani, maka tentunya akan lebih awet dan dapat memunculkan kebahagiaan yang ’berkualitas’.
Persoalannya sekarang ialah, bagaimana caranya agar ukuran kesenangan kita itu bukan hanya bersandar pada sesuatu yang mudah rusak atau punah alias bersifat materi? Terkait dengan pertanyaan ini, Allah Azza wa Jalla telah berfirman di dalam surat Thaahaa ayat 130 :

”Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya, dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang.”

Ada beberapa poin penting yang perlu kita cermati terkait dengan firman Allah tersebut. Yaitu: Pertama, tentang pentingnya kita memilih untuk bersabar dalam menjalani sebuah proses yang sedang bergulir. Kedua, selama proses tersebut tengah bergulir, kita diperintahkan untuk senantiasa bertasbih (mensucikan Allah) dan bertahmid (memuji Allah dengan maksud untuk bangun kesyukuran atas segala nikmat dariNya). Ketiga, kita diperintahkan untuk mencermati dan memanfaatkan betul waktu-waktu istimewa yang telah disiapkan oleh Allah.
Yaitu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya, serta memanfaatkan waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari. Jika kita melaksanakan perintah itu dengan sungguh-sungguh, maka Allah SWT kelak akan memberi kita ‘hadiah’ dalam bentuk immateri (yaitu rasa senang) dan dalam bentuk materi (yaitu kehidupan yang tenang dan dicukupi). Tapi, anehnya, sedikit sekali di antara kita yang mau bersungguh-sungguh untuk mempraktikkan firman Allah dalam surat Thaahaa ayat 130 tersebut.
Karena itu, tak heran jika dalam dua dasawarsa belakangan ini, banyak sekali orang yang sering merasa sedih, kecewa, gelisah dan merasa tidak bahagia hidupnya, meskipun secara materi sebetulnya mereka telah berkecukupan dan bahkan berlebihan. Fenomena terjadinya tindak korupsi dan manipulasi --- baik yang dilakukan secara sendiri-sendiri maupun secara kolektif --- merupakan bukti nyata betapa susahnya orang-orang the have untuk memperoleh perasaan senang. Buktinya, meskipun materi yang telah dimilikinya saat itu telah menumpuk, toh ternyata masih belum cukup untuk bisa membuat dirinya, hatinya dan keluarganya menjadi senang, tenang dan bahagia? Aneh bukan?
Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa orang-orang yang terpeleset jalan hidupnya sehingga ‘nekad’ menceburkan dirinya sendiri ke dalam lembah korupsi dan manipulasi itu sebagian besar para pelakunya adalah berasal dari orang-orang yang secara materi telah berkecukupan? Apakah hasil kekayaan yang didapatnya selama ini masih belum cukup untuk membuat dirinya menjadi senang, tenang dan bahagia? Lalu bagaimana caranya agar kita bisa menjadi senang, tenang dan bahagia dalam menjalani kehidupan di muka bumi ini?














Tiga
Menyenangi
KesenanganNya

Dengan menyenangi --- lebih-lebih jika kita bisa meresapi dan mengamalkan --- perbuatan atau amal ibadah yang disenangi oleh Allah SWT, insya Allah Tuhan Yang Sebenarnya nanti akan menganugerahi ‘hadiah’ rasa senang, tenang dan bahagia di dalam hati dan pikiran kita.


TERKAIT dengan pertanyaan pada tulisan sebelumnya --- bagaimana caranya agar kita bisa menjadi senang, tenang dan bahagia dalam menjalani kehidupan di muka bumi ini? --- maka benarlah kiranya apa yang telah dikatakan oleh para musallaf dulu. Bahwa punya ilmu yang luas, kedudukan dan jabatan yang tinggi, harta yang berlimpah, tidak selamanya bisa membuat orang menjadi senang, tenang dan bahagia. Buktinya, tidak sedikit orang yang kaya raya, punya kedudukan dan jabatan yang tinggi serta punya ilmu yang luas sering merasa sedih, kecewa dan putus asa.
Ya, begitulah resikonya jika kita menempatkan hawa nafsu kita sebagai ’panglima’ untuk mengatur dan menentukan tolak ukur kesenangan hidup di dunia ini. Berbeda halnya jika kita menggunakan pedoman agama sebagai pegangan kita dalam mengarungi perjalanan hidup ketika di dunia ini. Lewat pesan agama --- baik melalui kitab suci, sabda Nabi saw maupun nasihat dari kaum ma’rifat billah --- minimal kita bisa ‘mengerem’ laju-kendali hawa nafsu yang memang selalu mengajak kita untuk ‘berseberangan’ dengan kehendak Allah SWT.
Oleh karena itulah, sehubungan dengan keinginan manusia untuk bisa meraih rasa senang, tenang dan bahagia --- baik di dunia maupun di akhirat kelak --- maka kaum ma’rifat billah menyarankan agar manusia berjuang dengan sungguh-sungguh untuk menyenangi perbuatan atau amal ibadah yang disenangi oleh Allah Azza wa Jalla. Dengan menyenangi --- lebih-lebih jika kita bisa meresapi dan mengamalkan --- perbuatan atau amal ibadah yang disenangi oleh Allah SWT, ujar kaum ma’rifat billah, insya Allah, Tuhan Yang Sebenarnya nanti akan menganugerahi ‘hadiah’ rasa senang, tenang dan bahagia di dalam hati dan pikiran kita.
Jika demikian halnya, pertanyaannya adalah, perbuatan apa saja atau amal ibadah apa saja yang jika kita kerjakan bisa membuahkan kesenangan pada Allah? Menurut kaum ma’rifat billah, pada dasarnya, Allah selalu menyenangi setiap amal kebajikan yang dilakukan oleh hamba-hambaNya. Terutama amal kebajikan yang dilakukan dengan niatan untuk mensyukuri (berterima kasih) atas semua nikmat yang telah Dia anugerahkan kepada hamba-hambaNya.
Apalagi Rasulullah saw sendiri telah bersabda : ”Sesungguhnya, Allah itu cemburu. Dan cemburu Allah itu jika seorang mukmin mengerjakan apa yang diharamkan oleh Allah.” (HR. Bukhari – Muslim)
Karena itu, ujar kaum ma’rifat billah, apapun bentuk amal kebajikan yang dilakukan oleh manusia di muka bumi ini --- baik besar maupun kecil, banyak atau sedikit --- pada dasarnya sangat disenangi oleh Allah SWT. Karena memang, salah satu tujuan diutusnya manusia hidup di muka bumi ini adalah untuk berbuat kebajikan. Bukan membuat kerusakan, seperti yang terdapat di dalam surat Al-Baqarah ayat 11 berikut:

"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi.”

Jika demikian halnya, lalu mengapa kita masih tetap berdiam diri dan berpangku tangan? Mengapa kita tidak segera mengamalkan apa yang telah diamanahkanNya kepada kita, yaitu tidak membuat kerusakan di muka bumi? Inilah ’PR’ kita bersama yang belum pernah rampung untuk kita kerjakan.











Empat
Macam-Macam Perbuatan
Yang Disenangi Allah

… ada beberapa amal kebajikan yang jika diamalkan
dengan istiqamah oleh manusia, insya Allah bisa membuat
Allah menjadi sangat senang.

SEPERTI yang telah disinggung dalam bab sebelumnya, bahwa Allah Azza wa Jalla, pada dasarnya, menyenangi semua amal kebajikan yang dilakukan oleh hamba-hambaNya. Apapun bentuk kebajikan yang dilakukan oleh sang hamba. Yang penting, amal kebajikan tersebut dikerjakan oleh si hamba dengan rasa senang.
Jika sang hamba mengerjakan amal kebajikan dengan rasa senang kepada Allah, maka menurut para salafus shalih, Allah kelak akan membalas rasa senang sang hambaNya itu, melebihi dari rasa senangnya sang hamba ketika ia telah mengerjakan sebuah amal kebajikan. Bahkan, konon, menurut para musallaf, di akhirat nanti, Allah tidak akan membuat perhitungan kepada sang hamba yang telah mengerjakan amal kebajikan tersebut karena rasa senang kepadaNya.
Meskipun Allah SWT menyenangi semua amal kebajikan yang dilakukan oleh manusia dengan niatan untuk bersyukur kepadaNya --- dan tidak senang terhadap hamba-hambaNya yang suka membangkang perintahNya ---, tapi ada beberapa amal kebajikan yang jika diamalkan dengan istiqamah oleh manusia, insya Allah bisa membuat Allah menjadi sangat senang. Diantaranya adalah sebagai berikut:




1
Mencintai
Rasulullah SAW

Dalam sebuah hadis, Nabi saw bersabda:
“Cintailah Allah atas limpahan nikmatNya kepadamu. Cintai aku karena kecintaanmu kepada Allah. Dan cintai ahlul baitku,
karena kecintaanmu kepadaku,”
(Bihar Al-Anwar 70:14).


MENCINTAI Sayyidul Mursalin Sayyidina Rasulullah saw berarti memilih untuk meneladani kehidupan Rasulullah saw. Baik itu dalam aspek ibadah, keimanan maupun akhlak dan perilaku serta pola hidup beliau. Orang yang mengaku mencintai Rasulullah saw, maka ia harus selalu berusaha agar dapat mengikuti setiap ajaran yang telah disampaikannya.
Secara garis besar, ada beberapa hal yang perlu dilakukan dalam upaya mencintai Rasulullah saw. Yaitu, pertama, mencintai Allah. Orang yang mencintai Rasulullah saw, maka tentunya ia juga harus mau mencintai Allah SWT. Tak ubahnya seperti keta’atan. Orang yang ta’at kepada Allah, tetapi tidak ta’at kepada Rasulullah saw, berarti ta’atnya belum sempurna.
Sebaliknya, orang yang ta’at kepada Rasulullah saw, tetapi tidak ta’at kepada Allah SWT, maka ia belum termasuk dalam kategori hamba yang ta’at. Sebab, keta’atan kepada Allah SWT dan RasulNya itu merupakan satu-kesatuan yang tak bisa dipisahkan.
Dalam sebuah hadis Nabi saw pernah bersabda: “Cintailah Allah atas limpahan nikmatNya kepadamu. Cintai aku karena kecintaanmu kepada Allah.” Allah sendiri juga telah berfirman dalam surat Al-Anfaal ayat 20:


“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan RasulNya, dan janganlah kamu berpaling dari padaNya, sedang kamu mendengar (perintah-perintahNya).”

Dalam hadis lainnya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda : “Siapa yang ta’at kepadaku, berarti ta’at kepada Allah. Dan siapa yang melanggar padaku, berarti melanggar Allah” (HR. Bukhari – Muslim). Apabila seseorang betul-betul bisa mencintai Allah melebihi dari kecintaannya terhadap dirinya sendiri, maka berarti ia akan selalu mengikuti cara-cara yang diajarkan oleh Rasulullah saw dalam meniti hidup dan menjaga diri agar tidak tertipu oleh hawa nafsunya sendiri.
Kedua, mencintai Rasulullah berarti juga harus mau mencintai ahlul bait Nabi saw. Sebab, keluarga Nabi saw merupakan cermin kehidupan beliau. Dalam sebuah hadis, Nabi saw bersabda: “Cintailah Allah atas limpahan nikmatNya kepadamu. Cintai aku karena kecintaanmu kepada Allah. Dan cintai ahlul baitku, karena kecintaanmu kepadaku,” (Bihar Al-Anwar 70:14).
Dalam kesempatan yang lain, Rasulullah saw juga pernah bersabda: ”Fatimah adalah nyawaku. Barang siapa menyakiti Fatimah, berarti ia telah menyakitiku.” Dan dalam hadis lainnya, beliau juga pernah mengumumkan: ”Barang siapa yang menjadikan aku kekasih, maka hendaklah ia menjadikan Ali sebagai kekasihnya juga.” Begitu pula halnya tentang cucu beliau Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein, Nabi saw bersabda: “Aku mencintai keduanya. Cintailah orang yang mencintai keduanya.”
Semua itu menunjukkan bahwa mencintai keluarga Rasulullah saw itu merupakan konsekuensi dari mencintai Rasulullah saw. Apabila kita betul-betul mencintai keluarga Rasulullah saw, maka berarti kita harus mau menjaga kehidupan kita agar selalu berada dalam suri teladan yang ada di dalam keluarga beliau.
Ketiga, mencintai Rasul dengan cara bershalawat kepada beliau. Shalawat merupakan satu bentuk dari kecintaan kepada Nabi saw. Apabila kita mencintai seseorang, maka kita akan lebih senang menyebut terus namanya. Hati kita pun akan tergetar ketika mendengar namanya disebut-sebut. Demikian pula halnya dengan shalawat.
Orang yang bershalawat karena kecintaannya kepada Rasulullah saw, biasanya, hatinya akan selalu nyaman dan tenteram dengan bacaan shalawatnya. ”Orang yang paling dekat denganku pada hari kiamat nanti adalah orang yang terbanyak membaca shalawat untukku,” kata Rasulullah saw, sebagaimana yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzy dari Ibnu Mas’ud ra.
Yang jelas, shalawat yang diucapkan dengan cinta, bisa menjadi spirit bagi kehidupan orang-orang yang mencintai Rasulullah saw. Sebab, spirit itulah yang nanti akan menggerakkan seorang hamba untuk melakukan amal kebajikan yang disenangi oleh Allah dan RasulNya.


















2
Sabar

“… barang siapa yang bisa memiliki kesabaran, maka dijamin hidupnya tidak bakal dirundung kesedihan --- meskipun ujian, musibah dan malapetaka datang silih berganti.”


SABAR adalah kata yang paling gampang untuk diucapkan, tapi sangat sulit untuk dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Gampang diucapkan, karena kata sabar itu sangat mudah sekali keluar dari mulut kita ketika menyaksikan ada orang lain yang sedang tertimpa musibah.
Tetapi, ketika kita sendiri yang tengah bergulat dengan musibah, kita terkadang lupa pada jalan kesabaran. Apalagi jika musibah, ujian dan malapetaka yang sedang menimpa diri kita itu terasa sangat berat sehingga membuat akal pikiran kita menjadi tidak bisa mencerna dengan baik apa yang dimaksud dengan sabar, maka mana masalah dan mana jalan keluarnya pun semakin tak jelas.
Begitulah jalan kesabaran. Sangat unik dan penuh misteri. Ia (baca: sabar) ibarat barang langka yang selalu diburu dan kejar oleh semua orang untuk dimiliki. Sebab, konon, barang siapa yang bisa memiliki kesabaran, maka dijamin hidupnya tidak bakal dirundung kesedihan --- meskipun ujian, musibah dan malapetaka datang silih berganti.
Pasalnya kenapa? Karena, kita memang tidak punya pilihan lain yang lebih baik lagi kecuali hanya sabar. Buktinya, ketika kita berusaha untuk mencoba menolak datangnya ‘hadiah’ dari Allah berupa ujian, musibah dan malapetaka, toh nyatanya kita tidak mampu untuk melakukannya. Satu-satunya kunci yang ada di hadapan kita adalah memilih untuk bersabar dan pasrah dalam menjalani proses tersebut.
Sekali lagi, memilih untuk bisa bersabar dalam menghadapi berbagai permasalahan, memang tidak mudah. Karena itulah, saking uniknya dan saking ingin memiliki kesabaran, tidak sedikit orang yang harus pusing tujuh keliling untuk membuat berbagai formula agar mereka bisa bersabar. Mulai dari berlatih menahan emosi, puasa, memancing, hingga bersemedi di tempat-tempat yang sunyi dan keramat.
Semua itu mereka lakukan, tidak lain karena mereka ingin bisa bersabar dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup. Bagaimana hasilnya? Bukan kesabaran yang mereka dapat. Tapi malah sebaliknya, mereka justru makin ‘liar’ bersahabat dengan kemarahan.
Yang jelas, aslinya, manusia itu tidak mungkin bisa sabar, jika tidak ada pertolongan dan kemurahan dari Allah ‘Azza wa Jalla. Sebab, Dia-lah Zat Pemilik Kesabaran. Oleh karena itu, sekiranya ada di antara kita yang bisa bersabar dalam menghadapi permasalahan, maka yakinlah, itu pasti karena kita sedang mendapat ‘hadiah’ pertolongan dan kemurahan dari Allah.
Bagaimana caranya agar kita bisa bersabar? Menurut guru ruhani kami, jika kita ingin sabar, maka yang pertama kali harus kita lakukan adalah, bangun niat untuk menuju sabar. Dalam niat menuju sabar itu, kita belajar bangun kesyukuran atas semua nikmat yang telah dianugerahkan oleh Allah. Nanti, kata guru kami, insya Allah, sabarnya akan datang sendiri.
Yang jelas, lanjut guru kami, niat menuju sabar itu, berarti niat untuk bangun syukur, belajar menghormati orang lain agar bisa sampai pada tujuan (yaitu sabar), dan mau mendoakan keselamatan untuk orang lain. Kalau niatnya kita ingin belajar sabar, maka jangan kaget jika kita nanti akan diuji terus-menerus oleh Allah. “Itulah resepnya sabar,” kata guru ruhani kami.
Karena tidak mudah itulah, maka Allah Azza wa Jalla sangat menyukai orang-orang yang berjuang menuju sabar. Simak saja firmanNya dalam surat al-Baqarah ayat 45-46 berikut ini:


“Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'. Yaitu, orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepadaNya.”
Atau perhatikan juga firmanNya dalam surat Ali-Imran ayat 146:

“Allah menyukai orang-orang yang sabar.”

Bahkan, dalam ayat yang lain, Allah SWT tak sungkan-sungkan menjanjikan dua ‘hadiah istimewa’ untuk orang yang sabar. Yaitu, pertama, ia akan dianugerahi berupa sifat-sifat baik dan kedua, ia akan bersama Allah.


“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (Qs. 41 : 35)


“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Qs. 2 : 153)

Karena sabar merupakan ‘kunci’ pokok untuk kita bisa bersama Allah SWT, maka tak heran jika untuk bisa memperoleh ’kunci’ tersebut, kita ‘dihujani’ dengan berbagai permasalahan hidup. Diantaranya diuji dengan rasa takut, lapar, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan, seperti yang difirmankanNya dalam surat Al-Baqarah ayat 155 berikut:


”Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Qs. 2 : 155)

Semua itu dilakukan oleh Allah tidak lain adalah, karena Allah sayang pada kita. Dia betul-betul menginginkan agar kita bisa selamat di dunia maupun di akhirat nanti. Karena itulah, Allah kemudian berfirman dalam surat Ali-Imran ayat 142:


“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (Qs. 3 : 142)

Yang jelas, jika selama kita menjalani hidup di dunia ini kita tidak banyak berkeluh-kesah --- baik dzahir maupun batin --- dan ikhlas menerima semua ‘hadiah’ Allah baik berupa derita maupun kebahagiaan, maka orang yang demikian itulah yang pantas untuk disebut sebagai orang sabar. Terhadap orang yang bisa bersikap seperti itu, Allah sungguh sangat senang. Saking senangnya, kelak di hari akhirat nanti, Allah mengaku merasa enggan untuk membuat perhitungan kepadanya seperti yang terungkap dalam hadis berikut:
Dari al-Qudla’i, ad-Dailami dan al-Hakimut-Turmudzi r.a. berkata: Allah berfirman dalam hadis Qudtsi: “Apabila telah Kubebankan kemalangan (bencana) kepada salah seorang hambaKu, pada badannya, hartanya, atau anaknya, kemudian ia menerimanya dengan sabar yang sempurna, maka Aku merasa enggan menegakkan timbangan baginya pada hari kiamat atau membukakan buku catatan amalan baginya.” (HR. Anas. r.a)
Sungguh besar ‘hadiah’ yang bakal diterima oleh seorang hamba ketika ia bisa bersabar dalam segala keadaan. Baik ketika suka maupun dalam keadaan duka. Pertanyaannya sekarang ialah, bisakah kita sabar seperti yang digambarkan Allah dalam hadis Qudtsi tersebut?












3
Mencegah Kerusakan
di Muka Bumi

Apakah diri kita selama ini termasuk ke dalam golongan
orang-orang yang mencegah kerusakan, atau malah melakukan kerusakan di muka bumi? Jika kita termasuk ke dalam kelompok orang yang mencegah kerusakan, seberapa besar usaha yang
telah kita lakukan itu bisa mencegah terjadinya
kerusakan di muka bumi?


JANGAN membuat kerusakan di muka bumi. ( ) Perintah Allah yang tercatat di dalam surat Al-Baqarah ayat 11 ini, jelas, tegas dan tuntas. Karena itu, kita tidak perlu repot-repot lagi untuk menafsirkannya. Cukup diresapi dan dipraktikkan dengan sungguh-sungguh. Tapi sayangnya, sedikit sekali manusia yang mau memperhatikan dan mengamalkan perintah ini.
Apa yang terjadi dalam kurun waktu dua dasawarsa belakang ini, justru malah sebaliknya. Manusia di seluruh dunia malah sibuk membuat rencana bagaimana caranya agar bisa memperoleh ’keuntungan’ dari berbagai usaha dan bisnis kerusakan yang akan mereka sajikan. Sungguh sangat ironis.
Diperintah untuk melakukan kebajikan, malah membuat kerusakan. Diperintah untuk mencegah kerusakan, malah sibuk ’melestarikan’ paket-paket kegiatan kerusakan di berbagai wilayah di muka bumi ini. Dengan dalih mencegah banjir, manusia membuat proyek skala besar di atas tanah derita milik warga yang bermukim di wilayah kumuh. Pura-pura mencegah banjir, tapi aksinya malah membuat ruhani dirinya sendiri maupun orang lain menjadi rusak.
Melakukan aksi menanam sejuta pohon, tapi pada saat yang bersamaan, mereka diam-diam malah menggunduli lahan hijau hingga jutaan hektar di belahan bumi yang lain. Dengan alasan mencegah perang agar tidak meluas, jutaan pasukan dikerahkan dan diam-diam berbagai macam jenis senjata pemusnah massal terus diproduksi untuk dipasok ke arena konflik. Inikah yang disebut dengan aksi mencegah kerusakan di muka bumi? Sebuah pertanyaan yang tak cukup untuk dijawab hari ini.
Terkait dengan upaya untuk mencegah kerusakan di muka bumi itulah, menurut sejumlah riwayat menyebutkan bahwa, barang siapa yang sungguh-sungguh berikhtiar mencegah kerusakan agar tidak terjadi di muka bumi, maka ia kelak akan menjadi kekasih Allah. Sebab, di antara ciri-ciri kekasih Allah itu adalah, ia selalu berjuang keras untuk mencegah agar kerusakan tidak terjadi di muka bumi. Kerusakan yang seperti apa yang tidak diinginkan oleh Allah itu? Yaitu, segala jenis kerusakan. Mulai dari kerusakan dalam pengertian lahir maupun kerusakan dalam pengertian batin.
Yang lahir, misalnya, menebangi pohon, merusak ekosistem, membuat kegaduhan, melakukan aksi pembunuhan atau pembantaian, dan lain sebagainya. Sedang yang bersifat batin, misalnya, tidak mau beriman kepada Allah dan RasulNya, tidak mau tunduk pada kehendak Allah ‘Azza wa Jalla dan suka berburuk sangka kepada Allah.
Singkat kata, mencegah setiap tindakan kerusakan yang terbersit maupun yang terbetik di dalam hati dan pikiran manusia. Di mana, tindakan tersebut --- jika dilakukan --- dapat mengakibatkan Allah ‘Azza wa Jalla menjadi tidak senang alias tidak ridha. Termasuk menjaga dan mengawal syari’at Rasulullah SAW agar tidak diselewengkan oleh orang-orang yang tidak senang melihat agama Allah tegak di muka bumi.
Bukan malah sebaliknya, seperti yang disinggung Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 11-12 berikut:


Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi." Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengadakan perbaikan." Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.

Pertanyaan yang perlu kita jawab dari ayat di atas adalah: Apakah diri kita selama ini termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mencegah kerusakan, atau malah melakukan kerusakan di muka bumi? Jika kita termasuk ke dalam kelompok orang yang mencegah kerusakan, seberapa besar usaha yang telah kita lakukan itu bisa mencegah terjadinya kerusakan di muka bumi?
Yang tahu persis apakah Anda bisa menjawab pertanyaan di atas, jelas hanya Allah dan Anda sendiri. Mudah-mudahan, jawaban dan tindakan yang telah Anda lakukan selama ini, termasuk dalam kategori sebagai tindakannya para kekasih Allah SWT. Allahumma Amin.




















4
Selalu Ingat
Kepada Allah

“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi
dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”
(Qs. Al-A’raf : 205)


SELALU ingat kepada Allah, dalam bahasa agama dikenal dengan istilah zikrullaah. Sedang istilah zikir di dalam al-Qur’an ada berbagai macam pengertian. Diantaranya zikir diartikan sebagai ilmu, sebagaimana yang terdapat di dalam surat An-Nahl ayat 43 :


“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ahluz zikri) jika kamu tidak mengetahui.”

Dalam ayat yang lainnya, zikir juga diartikan sebagai ingat. Misalnya, simak saja firmanNya dalam surat Al-Ahzab ayat 41:


“Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.”

Ada pula bentukan lainnya, yaitu tazakkara, yang berarti mengambil pelajaran. Misalnya dalam surat Az-Zumar ayat 9:


“Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang-orang yang tidak mengetahui (tak berilmu)?" Sesungguhnya, orang yang berakal (uulul albab) yang dapat menerima pelajaran (yatazakkara).”

Dengan demikian, istilah zikrullaah, yang secara bahasa acapkali diartikan sebagai aktivitas mengingat Allah itu, mengandung pengertian bahwa, dalam proses mengingat Allah tersebut, harus dilakukan dengan cara menggunakan ilmu dan akal. Hal ini berarti, ketika seseorang melakukan zikrullaah, maka yang dianjurkan untuk memiliki peranan penting dalam zikirnya itu adalah unsur ilmu dan akalnya.
Adapun pelaksanaan zikir yang sekedar diucapkan dengan lisan semata, berarti tidak memaksimalkan kedua unsur tersebut. Penggunaan zikir melalui lisan dapat dilakukan hanya dengan berbekal konsentrasi. Sedang konsentrasi itu sendiri merupakan sebagian kecil dari aktivitas akal, dan hampir tidak membutuhkan kekuatan ilmu.
Pertanyaannya sekarang ialah, zikir yang seperti apa yang disenangi oleh Allah agar unsur ilmu dan akal itu dapat berfungsi secara maksimal? Inilah pertanyaan yang tak mudah untuk menjawabnya. Lebih-lebih jika dikaitkan dengan aktivitas zikir yang dapat mendatangkan kesenangan pada Allah Azza wa Jalla.
Menurut para salafus shalih, aktivitas zikir itu dapat dilakukan dengan tiga (3) cara. Pertama, zikir melalui alam. Yaitu, mengingat Allah dengan cara membaca alam. Di dalam al-Qur’an, Allah kerapkali memerintahkan manusia untuk melakukan zikir melalui alam. Misalnya, melihat hasil penciptaan langit dan bumi, penciptaan bulan, bintang, matahari, penciptaan gunung-gunung, hewan, tumbuh-tumbuhan dan segala macam makhluk yang ada di muka bumi ini. Termasuk alam semesta ini sendiri.
Untuk dapat melihat semua penciptaan itu secara maksimal sehingga kita dapat mengambil pelajaran darinya, tentu kita harus menggunakan ilmu dan akal. Proses mengingat Allah melalui cara seperti itu --- yakni menelaah, memahami dan mengambil pelajaran dari apa yang telah diciptakan Allah di dalam alam jagad raya ini --- dengan izin Allah, akan melahirkan pemahaman yang integral mengenai keagungan dan kebesaran Allah SWT.
Adapun zikir yang kedua, zikir melalui kejadian-kejadian yang pernah terjadi di muka bumi ini. Baik itu kejadian sejarah yang dikisahkan di dalam al-Qur’an maupun kejadian yang muncul di sekitar manusia hingga saat ini. Misalnya, tentang bencana alam, kehancuran suatu kaum maupun kejadian lainnya. Seperti, peperangan, perpecahan, penindasan, kerusakan alam, musibah kelaparan dan kesusahan. Proses zikrullaah melalui cara tersebut, juga dibutuhkan untuk memaksimalkan ilmu dan akal.
Di samping kedua zikir tersebut, ada satu zikir lagi yang memiliki kekuatan lebih dahsyat. Yaitu, zikir hati atau zikir qalbu. Zikir satu ini dapat membuat gerak tubuh dan gerak akal berjalan seirama sesuai dengan hasil yang diperoleh dari zikir tersebut. Mengenai berzikir dalam hati ini, Allah telah berfirman dalam surat al-A’raf ayat 205 :


“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”

Dari ayat tersebut, jelaslah sudah, bahwa berzikir dalam hati dengan cara merendahkan diri dan penuh harap kepada Allah --- baik di waktu pagi maupun petang hari --- merupakan sebuah jalan kemurahan yang ‘dihadiahkan’ oleh Allah untuk manusia agar bisa selalu ingat kepadaNya. Baik ketika duduk, berdiri, berbaring dan berjalan sebagaimana yang terdapat dalam surat Ali-Imran ayat 191 berikut ini:


“Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”

Apa ‘hadiah’ bagi orang yang selalu ingat kepada Allah Azza wa Jalla? Jawabnya tidak lain adalah, ia akan selalu mendapat bantuan dari Allah. Bahkan, Allah berjanji akan selalu bersama orang yang ingat kepadaNya. Alangkah indahnya jika kita bisa bersama Allah dan selalu diingat oleh Allah seperti yang terdapat dalam sabda Rasulullah saw berikut:

Dari Abu Hurairah ra berkata: Nabi saw bersabda: Allah ta’aala berfirman:
“Aku selalu mengikuti sangka hambaKu, dan Aku selalu membantunya selama ia ingat kepadaKu. Jika ia ingat padaKu dalam hatinya, Aku ingat padanya dalam diriKu. Dan jika ia ingat padaKu di tengah-tengah orang banyak, Aku ingat padanya di hadapan Malaikat yang jauh lebih baik dari masyarakatnya.”
”Dan jika ia mendekat padaKu sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta, dan jika ia mendekat padaKu sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Dan bila ia datang kepadaKu berjalan, maka Aku datang kepadanya berlari.” (HR. Bukhari – Muslim)

Mudah-mudahan, dengan sebab kemurahanNya, siapa saja yang membaca, membeli, menganjurkan orang lain untuk membeli dan membaca --- termasuk yang memproses dan menerbitkan tulisan ini menjadi sebuah buku --- dimasukkan ke dalam kelompok orang-orang yang selalu ingat dan diingat oleh Allah SWT hingga akhir zaman nanti. Amin ya rabbal ’alamin.














5
Selalu Bersyukur
KepadaNya

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan;
"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatKu),
maka sesungguhnya azabKu sangat pedih."
(Qs. 14 : 7)


BERSYUKUR atau tasyakkur, merupakan suatu bentuk atau tanda bagi manusia untuk berterima kasih kepada Allah, Sang Pencipta. Menurut sejumlah sumber, Allah akan senang jika rasa syukur yang diungkapkan oleh hambaNya itu tidak hanya bersifat serimonial semata. Melainkan, dimanifestasikan dalam bentuk sikap dan perbuatan. Yaitu, menjalankan apa-apa yang telah diperintahkan dan menjauhi apa yang telah dilarang oleh Allah. Allah berfirman dalam surat Ali-Imran ayat 145 :

“Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
Bersyukur kepada Allah, pada dasarnya, merupakan kewajiban bagi seorang hamba. Apalagi jika mengingat betapa banyaknya kemurahan dan kenikmatan yang telah dianugerahi Allah di muka bumi ini.
Karena itu, bagi mereka yang tidak mau bersyukur, maka Allah telah memaklumatkan sebuah ancaman yang sangat pedih. Sedang terhadap mereka yang mau bersyukur, Allah juga telah menjanjikan untuk memberi ’bonus’ sebagai bentuk penghargaan Allah atas prestasi yang diraih oleh hambaNya.
Perihal mengenai ancaman dan ’bonus’ yang dijanjikan oleh Allah tersebut, terekam dan tercatat dengan jelas di dalam surat Ibrahim ayat 7 berikut ini:

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatKu), maka sesungguhnya azabKu sangat pedih."

Pertanyaannya sekarang ialah, apa saja yang perlu kita syukuri agar Allah menjadi senang kepada kita? Jawabnya, pertama, mensyukuri anugerah ni’matul ijad (nikmat hidup) yang telah Dia berikan kepada kita. Di mana, dengan sebab anugerah hidup itulah, kita akhirnya punya kesempatan untuk bisa berkarya, beribadah dan berinteraksi dengan makhluk hidup lainnya. Hal ini penting untuk kita syukuri, karena tidak semua makhluk mendapat kesempatan yang sama seperti kita.
Buktinya, tidak sedikit dari saudara, kerabat, sahabat, teman dan mitra kerja kita yang telah dipanggil lebih awal untuk menghadap Allah. Sedangkan kita, sampai detik ini, masih mendapat anugerah ‘penangguhan’ dari Allah agar kita tetap bisa berkarya, beribadah dan berinteraksi.
Terkait dengan babagan anugerah hidup tersebut, menurut sejumlah salafus shalih, di alam rohani, ada triliyunan ruh yang setiap waktu selalu meminta kemurahan Allah untuk diberi raga dan diwujudkan ke dunia ini. Pasalnya, mereka ingin memperoleh prestasi dengan cara banyak beribadah.
Konon, kata para salafus shalih, ruh yang ada di alam malakut sana, selalu meminta kepada Allah untuk diberi kesempatan hidup di dunia ini, karena mereka sadar, bahwa pengabdian kepada Allah hanya bisa dilakukan, manakala diberi kesempatan hidup di dunia. Karena itulah, perlu kita syukuri. Sebab, dengan kita masih diberi ‘penangguhan’ untuk hidup di dunia ini, berarti kita masih diberi kesempatan untuk memperbanyak amal kebajikan.
Setelah itu, kita perlu pula mensyukuri anugerah berupa ni’matul imdad. Yaitu, nikmat berupa anugerah pertolongan dari Allah dalam bentuk bantuan untuk bisa bertahan hidup, bisa memenuhi kebutuhan hidup dan bantuan untuk kita bisa mengabdi kepada Allah. Sebab, sesungguhnya, setiap waktu, Allah selalu memberi pertolongan pada kita. Tapi, sayangnya, kita acapkali tidak pernah tahu dan tidak mau tahu. Akibatnya, kita sering terjebak dalam prasangka buruk kepada Allah.
Lalu, bagaimana caranya agar kita bisa mensyukuri atas anugerah nikmat hidup itu? Salah satu caranya adalah, dengan mengucapkan Alhamdulillah. Selain itu, juga bisa melalui perbuatan. Yaitu, dengan cara belajar beribadah secara benar, belajar menghargai hidup dan kehidupan, belajar menaati laranganNya dan belajar menepati setiap perintahNya dengan rasa senang.
Senang di sini bermakna melakukan amal kebajikan bukan karena kita ingin mendapat pahala. Tetapi, semata-mata karena kita memang ingin berterima kasih kepada Allah ‘Azza wa Jalla yang telah menganugerahkan nikmat sehat dan nikmat bisa hidup di dunia. Soal di ujung dari perjalanan peribadatan kita itu nanti bakal mendapat ‘hadiah’ berupa pahala dan ampunan dari Allah atau tidak, hal itu mutlak menjadi kewenangan Allah. Kita tidak perlu mengotak-atik dan ikut campur dalam urusan yang bukan menjadi kewenangan kita.
Yang penting bagi kita dalam konteks belajar praktik syukur atas nikmat yang telah dianugerahkanNya itu adalah, bagaimana caranya agar kita bisa terus berjuang menumbuhkan rasa senang kita kepada Allah. Senang ketika menegakkan laranganNya. Dan senang, ketika menjalankan perintah-perintahNya. Termasuk senang ketika mengerjakan amal kebajikan di muka bumi ini.
Mudah-mudahan, lewat rasa senang kita kepada Allah itulah, Dia berkenan menetapkan hati, pikiran dan langkah hidup kita untuk tetap selalu berada dalam karunia kemurahan dan kasih sayangNya. Dan mudah-mudahan pula, dengan sebab kemurahanNya, kita bisa masuk dalam kategori hamba-hambaNya yang bisa dan tahu bersyukur kepadaNya. Sehingga, dengan demikian, kita bisa terbebas dari siksa api neraka, sebagaimana yang telah Dia sabdakan dalam surat An-Nisaa’ ayat 147 :


Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui. (Qs. 4 : 147)

Begitu tingginya nilai fadhal yang telah dijanjikan oleh Allah untuk orang-orang yang mau bersyukur kepadaNya, sehingga membuat Tuhan Yang Sebenarnya menjadi merasa sungkan untuk menyiksa hambaNya yang mau bersyukur. Tidak inginkah Anda menjadi salah satu hambaNya yang bakal mendapat kemanjaanNya di hari di mana tidak ada perlindungan dan pertolongan melainkan hanya dari diriNya?













6
Senang
Berprasangka Baik

Dari Djabir bin Abdillah ra telah mendengar Rasulullah saw bersabda: ”Jangan mati salah satu kamu, melainkan dalam keadaan
baik sangka kepada Allah Azza wa Jalla.”
(HR. Muslim)


BERPRASANGKA baik adalah menaruh penilaian positif (husnuzh zhann atau positive thinking) atas suatu peristiwa yang tengah terjadi. Lawannya adalah berprasangka buruk atau su’uzh zhann. Dalam kehidupan sehari-hari, kedua perbuatan tersebut relatif cukup akrab dalam khazanah pergaulan antara manusia satu dengan manusia lainnya.
Seseorang dapat berprasangka baik, apabila di dalam pergaulannya sehari-hari ia selalu mengedepankan kebaikan atau sisi positif dalam setiap kali menilai suatu peristiwa. Kalau pun, misalnya, ada sisi negatif yang ia lihat, dia biasanya berupaya untuk selalu mengeliminirnya dengan cara hanya melihat sisi positifnya saja.
Orang yang demikian itu adalah orang yang selalu positive thinking dalam memandang kehidupan. Oleh karena itu, tak heran, orang yang selalu positive thinking cenderung tak pernah mengenal kata menyerah dalam menghadapi suatu persoalan. Sebab, baginya, kejatuhan dan kegagalan dalam berusaha, bukanlah hal yang tabu untuk diterima.
Bagi orang-orang yang suka berpikir positif, kejatuhan dan kegagalan dalam berusaha, merupakan sebuah keberhasilan yang tertunda. Oleh karena itulah, orang yang selalu bangun prasangka baik, biasanya selalu optimistik dan percaya diri. Rasulullah SAW sangat menganjurkan agar umatnya selalu berpikir positif.
Sebegitu pentingnya ajaran untuk selalu berpikir positif tersebut, sampai-sampai Rasulullah memesankan kepada umatnya agar jangan mati dalam kondisi tengah berpikir negatif tentang Allah. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Djabir bin Abdillah r.a., telah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Jangan mati salah satu kamu, melainkan dalam keadaan baik sangka kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”
Sebaliknya, bagi orang yang sisi negatifnya lebih dominan menguasai alam pikirannya, cenderung gampang mudah putus asa dan sering tidak percaya diri. Hal itu terjadi karena, unsur emosi dan rasa tidak suka, biasanya, lebih banyak mempengaruhi proses perjalanannya dalam menentukan bagaimana dia harus bersikap.
Oleh karena itulah, tak heran jika agama Islam kemudian melarang umatnya untuk berpikir negatif. Sebab, selain tidak konstruktif, cara berpikir seperti itu juga sangat kontra produktif. Bahkan, dalam agama Islam, perbuatan yang demikian itu, termasuk dalam kategori perbuatan dosa. Seperti yang dapat kita cermati dalam surat Al-Hujuraat ayat 12 berikut ini:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu adalah dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.”

Beruntunglah bagi Anda jika termasuk dalam kategori orang yang selalu berpikir positif ketika melihat dan menjalani proses kehidupan di dunia ini. Sebab, itu berarti, peluang bagi Anda untuk bisa meraih keberhasilan, hanya menunggu waktu. Jika Anda sabar dalam menjalaninya dan tetap istiqamah dalam membangun prasangka baik pada setiap kejadian yang ada di depan mata, maka sesungguhnya, keberhasilan yang ingin Anda raih --- yaitu bisa merasakan senang, puas, gembira dan bahagia --- sudah ada di depan Anda.




7
Tidak
Putus asa

“ ... dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah,
melainkan kaum yang kafir." (Qs. 12 : 87)


PUTUS ASA adalah perasaan menyerah tanpa semangat karena hilangnya harapan tentang jalan keluar dari suatu masalah atau situasi yang tidak kondusif. Perasaan ini lahir karena adanya kejumudan dalam cara berpikir dan bertindak, sehingga menyebabkan orang yang menderita putus asa itu tidak bisa melihat dan mengetahui jalan keluar yang terang bagi permasalahan yang sedang di hadapinya.
Sedang perasaan jumud itu sendiri, sebetulnya, lahir dari pengaruh faktor ketidak-yakinan dan ketidak-percayaan orang yang mengalami putus asa itu terhadap adanya pertolongan dan kemurahan dari Tuhan Yang Sebenarnya. Karena itulah, si hamba kemudian memilih untuk tidak mau berbuat sesuatu (ikhtiar) dalam hidupnya. Sikap yang demikian itu, biasanya, sering dialami oleh orang-orang yang merasa dan menganggap jalan hidupnya telah ditutup oleh Tuhan Yang Sebenarnya.
Padahal, aslinya, yang menutup jalan hidupnya itu bukanlah Allah, melainkan nafsunya sendiri. Yaitu, nafsu berburuk sangka kepada Allah SWT yang telah mengalihkan semangat hidupnya menjadi mengendur. Akibatnya, sang hamba tidak bisa melihat, merasakan dan mengetahui bahwa sesungguhnya bersamaan dengan adanya masalah itu, sebetulnya Allah telah memberi pertolongan untuk dirinya. Simak saja firman Allah dalam surat Alam Nasyrah ayat 5-6 :


”Karena sesungguhnya, sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”

Firman Allah di atas, jika direnungkan dan diresapi, sebetulnya, membawa pesan khusus untuk orang-orang yang sedang bermasalah agar selalu optimistik. Artinya, manusia yang sedang mengalami kejumudan itu, tidak perlu merasa berkecil hati hanya karena ia belum menemukan jalan keluar untuk bisa bebas dari permasalahan yang telah menyebabkan dirinya menjadi jumud itu.
Sebab, aslinya, menurut ahlul kasyaf, tidaklah Allah memberi ’hadiah’ berupa masalah kepada seorang hamba, melainkan pastilah pada saat yang sama, Allah juga telah menganugerahkan jalan keluar bagi sang hambaNya itu untuk bisa terbebas dari permasalahan tersebut. Karena itu, menurut ahlul kasyaf, manusia tidak perlu putus asa hanya karena dihadapkan dengan masalah. Sebab, masalah itu sendiri, sebetulnya bisa dijadikan sebagai sarana bagi sang hamba untuk bisa dekat kepada Allah.
Yang jelas, ujar ahlul kasyaf, sebelum manusia dihadiahi Allah masalah, maka sesungguhnya, Allah telah menyiapkan seperangkat instrument pendukung yang dapat digunakan oleh sang hamba untuk menghadapi masalah itu sendiri. Sebab, Allah tidak mungkin menzalimi hambaNya lewat masalah. Malah sebaliknya, lewat masalah itulah, Allah justru ingin mengangkat derajat sang hamba agar bisa menjadi kekasihNya.
Hal penting lain yang terkandung di dalam surat Alam Nasyrah ayat 5-6 itu adalah, Allah Azza wa Jalla tidak akan memberi masalah melebihi dari kapasitas kemampuan sang hamba. Artinya, setiap masalah yang dianugerahkan untuk seorang hamba itu, pada dasarnya, telah terukur dan telah disesuaikan dengan kemampuan sang hamba itu sendiri. Jadi, sesungguhnya, tidak ada alasan dan ruang bagi seorang hamba untuk putus asa manakala berhadapan dengan masalah. Simak saja firmanNya berikut ini:


“ ... dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir." (Qs. 12 : 87)

Terkait dengan ayat di atas, jelas sekali, bahwa agama Islam melarang keras umatnya untuk putus asa. Sebab, putus asa itu sama artinya dengan tidak percaya pada kemurahan dan kasih-sayang Allah. Seolah-olah, Allah tidak mengurus dan mencukupi semua keperluan hidupnya. Padahal sebaliknya. Jauh sebelum seorang hamba diciptakan di muka bumi, konon kata para musallaf, Allah telah menetapkan bagaimana babagan mengenai jodoh, rezeki dan jadwal kematian bagi sang hambaNya di lauhul mahfuz.
Jika demikian halnya, lalu mengapa kita acapkali memilih putus asa tatkala dibenturkan dengan berbagai permasalahan yang muncul dalam perjalanan hidup kita di dunia ini? Tidakkah kita merasa malu di hadapan Allah tatkala kita memutuskan untuk memilih sikap putus asa --- hanya karena kita belum mampu keluar dari kemelut masalah yang ada di hadapan kita --- daripada optimistik? Padahal kita tahu, bahwa segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini, pastilah atas seijin dari Allah? Dan kita pun tahu, bahwa setiap masalah itu pasti ada hikmahnya.
Saking tidak sukanya Allah pada orang yang memilih untuk putus asa tatkala menghadapi kenyataan hidup, sampai-sampai Allah mengkategorikan perbuatan putus asa itu sebagai tindakan yang melampaui batas. Bahkan, untuk mencegah agar manusia tidak putus asa, Allah tak segan-segan menawarkan sebuah solusi yang sungguh sangat luar biasa. Yaitu, akan mengampuni semua dosa hambaNya, kecuali tindakan putus asa, seperti yang termaktub dalam surat Az-Zumar ayat 53:


Katakanlah: "Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Sungguh betapa Maha Pemurahnya Allah. Dia bersedia memberi ‘bonus’ akan mengampuni dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia, kecuali tindakan putus asa. Sebab, menurut al-Qur’an surat Al-Hijr ayat 56, orang berputus asa itu adalah orang yang sesat.


"Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat." (Qs. 15 : 56)

Karena Allah tidak senang kepada hambaNya yang suka putus asa itulah, maka jika Anda memilih untuk bersikap optimistik dalam menjalani hidup, insya Allah Anda nanti akan disenangi Allah. Jika Allah sudah senang kepada hambaNya, maka Dia kelak akan menganugerahi hambaNya kesenangan, kepuasan, kegembiraan dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat nanti.







8
Selalu Bertobat
dan Bersuci

Dari Anas ra berkata: Rasulullah saw bersabda :
”Allah lebih senang menerima tobat seorang hambaNya, melebihi dari gembira seorang yang menemukan untanya yang telah hilang di hutan yang jauh.” (HR. Bukhari – Muslim)


TOBAT kepada Allah merupakan jalan pintas paling cepat bagi manusia untuk kembali ke jalan yang benar. Tobat juga merupakan ajang pemutihan yang ’dihadiahkan’ oleh Allah Azza wa Jalla bagi anak cucu nabi Adam asw, jika ia melakukan kesalahan. Tapi, ingat, tobat yang demikian itu ada syaratnya. Yaitu, harus bersungguh-sungguh, mau mengaku salah dan mau berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Tobat yang demikian itulah, oleh para ulama fiqh, disebut sebagai taubatan nassuha.
Lewat tobat nassuha, manusia bisa mendapat kemurahan ampunan dari Zat Yang Maha Pengampun. Apalagi di dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 222 disebutkan:

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang mensucikan dirinya (baca: bersuci) dari perbuatan-perbuatan yang tercela.”

Dari ayat di atas, ada dua hal penting yang perlu kita garis bawahi. Yaitu bertobat dan bersuci dari perbuatan tercela. Jika kita jabarkan lebih jauh, maka pemahaman tentang ayat tersebut mengisyaratkan kepada kita, bahwa orang yang benar-benar bertobat itu, akan menjaga dengan sungguh-sungguh kesucian dari perbuatan yang akan dilakukannya. Lahir maupun batin.
Sedang perjuangan seorang hamba dalam menjaga kesucian lahir dan batin itu sendiri, kelak akan berubah menjadi benteng bagi pertahanan iman-Islamnya dalam mengarungi samudera kehidupan ini agar bisa terhindar dari perbuatan maksiat. Asalkan, perjuangan dalam menjaga kesucian itu sendiri tidak bersandar pada hawa nafsu. Melainkan bersandar pada sebab kemurahanNya.
Sebab, sesungguhnya, di balik setiap peristiwa yang terjadi atas perjalanan hidup seorang hamba itu, pasti ada hikmahnya. Pada tataran inilah, seorang hamba dituntut untuk berhati-hati betul dalam memahami dan memaknai perjalanan hidupnya sendiri agar tidak terjebak dalam perbuatan berprasangka buruk (su’uzh zhann) kepada Allah. Hal ini penting untuk kita perhatikan, karena perbuatan prasangka buruk kepada Allah itu termasuk sebagai perbuatan dosa besar.
Menurut kaum ma’rifat billah, perbuatan dosa yang dilakukan oleh seorang hamba, tidak serta merta muncul karena faktor si hamba itu sendiri yang ’gagal’ dalam memanage gejolak hawa nafsunya. Sebab, sangat boleh jadi, dibalik ’kegagalannya’ itu, sesungguhnya ada rencana Allah yang memang sengaja disembunyikan oleh Allah. Buktinya, Allah mengijinkan dan menggerakkan si hamba untuk berbuat kesalahan. Hal itu tentu karena Allah bermaksud ingin memberi ’hadiah’ kesadaran ilahiah kepada si hamba.
Karena itu, tak heran, jika kita masih berkubang dalam lumpur kesalahan, dalam hati kecil kita yang paling dalam, seringkali muncul ada perasaan bersalah. Entah karena kita merasa takut akan mendapat hukumanNya, atau takut karena perbuatan jelek kita itu bakal terungkap. Yang jelas, perasaan itulah yang acapkali mendorong kita akhirnya meminta pertolongan dan perlindungan kepada Tuhan Yang Sebenarnya. Itu adalah tanda bahwa nurani kita masih hidup dan jiwa kita masih dibakar oleh iman.
Menurut kaum ma’rifat billah, konon, ketika seorang hamba secara hati menjerit meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah lantaran telah berbuat kesalahan, maka pada saat ia menjerit itu, sesungguhnya Allah menjadi sangat senang kepada si hamba. Sebabnya kenapa?
Karena si hamba telah menyadari di mana letak kekeliruannya dan telah mengetahui kepada siapa sebaik-baiknya tempat baginya untuk meminta perlindungan dan pertolongan. Untuk alasan itulah, kata para salafus shalih, maka Allah senang menguji hambaNya dengan cara meletakkannya di tempat-tempat yang penuh dengan kubangan lumpur kesalahan.
Dengan cara menempatkan seorang hamba di kubangan lumpur kesalahan itulah, Allah bermaksud menuntun si hamba agar tidak terjebak dalam perbuatan suka meremehkan makhluk lain yang sedang berada di kubangan dosa. Sebab, tidak ada alasan pembenar baginya untuk meremehkan makhluk lain yang sedang berlumur dosa. Dengan cara seperti itu, si hamba yang sedang berdosa, bisa menyadari betul, bahwa jika dia berada dalam kubangan dosa, tentulah dia pun berharap akan mendapat ampunanNya.
Tapi sayang, sedikit sekali di antara kita yang mau menyadari dan memahami tentang hal itu. Yang lebih sering kita lakukan malah sebaliknya. Yaitu, menghakimi, mengadili dan menghukum orang-orang yang pernah berbuat kesalahan itu, tak ubahnya seperti kita adalah Tuhan Yang Sebenarnya, sehingga kita merasa berhak untuk berbuat seperti itu. Na’udzubillahi mindzalik.
Bagaimana caranya agar tobat yang akan dan telah kita lakukan itu bisa membuahkan kesucian lahir dan batin? Menurut para salafus shalih, tobat yang bisa membuahkan kesucian lahir dan batin itu adalah tobat yang dilakukan atas dasar kesadaran dan kesungguhan. Sadar bahwa kita telah melakukan kesalahan, dan bersungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan yang serupa lagi.
Masih menurut salafus shalih, kesadaran yang muncul dalam hati dan pikiran kita itu, nanti akan menuntun kita ke arah pemahaman tentang bagaimana caranya agar kita bisa memenuhi kehendakNya. Sedang kesungguhan itu sendiri, akan menuntun kita untuk bersikap hati-hati ketika mewujudkan harapan agar kita bisa memenuhi setiap panggilanNya.
Yang jelas, agar tobat kita itu bisa membuahkan kesucian lahir dan batin, maka paling tidak ada dua hal penting yang perlu kita perhatikan. Yaitu: Pertama, kita harus tahu dan paham betul, apa tujuan kita bertobat. Kedua, kita harus mengerti dan sadar betul, mengapa kita harus bertobat kepada Allah ketika kita telah melakukan sebuah kesalahan.
Dua hal penting tersebut, jika telah kita ketahui jawabannya, maka ia akan menjadi ladang perjuangan yang luas bagi kita dalam mengarungi kehidupan di muka bumi ini. Sebab, di dua ladang itulah, kita akan menapakkan langkah kaki kita. Apakah kita akan tetap berjalan di bawah naungan kasih sayangNya, atau sebaliknya, memilih melawan dan menentangNya? Wallaahu a’lam bishawwab.


















9
Ta’at Kepada
Allah & RasulNya

“Keta’atan kepada Allah bukanlah suatu amal yang harus dipamerkan. Sebab, keta’atan adalah hiasan jiwa yang bertahtakan ketulusan
di dalamnya.”


TA’AT adalah tunduk dan patuh. Tunduk berarti menyerahkan segala urusan yang berkaitan dengan dirinya kepada yang dipanuti. Sedang patuh berarti menanggalkan pilihan dan kehendak nafsu pribadi pada kehendak yang dipanuti. Dalam bahasa agama, istilah ta’at acapkali diartikan sebagai proses menyerahkan segala sesuatu yang berhubungan dengan perjalanan hidup seorang hamba dalam beragama kepada kehendak Allah lewat syari’at yang diajarkan oleh seorang Nabi dan RasulNya.
Itu berarti, ketika seorang hamba telah menyatakan dirinya tunduk dan patuh pada syari’at yang dibawa oleh seorang Nabi dan RasulNya, maka konsekuensinya, ia harus berani menanggalkan segala keinginan pribadinya dan mengutamakan apa yang dikehendaki oleh Nabi dan RasulNya, yang notabene adalah kehendak Allah. Jika ia masih memberi ruang untuk memikirkan tentang bagaimana caranya agar ia bisa memenuhi kebutuhan dan keinginan pribadinya, maka perbuatan yang demikian itu masih belum termasuk dalam kategori ta’at pada Allah dan RasulNya.
Padahal kita tahu, bahwa ta’at kepada RasulNya itu merupakan syarat pokok untuk kita bisa ta’at kepada Allah. Sedang untuk ta’at kepada Allah, tidak akan bisa kita lakukan, manakala kita sendiri saat itu masih berada dalam posisi tidak ta’at pada RasulNya. Karena itulah, Allah SWT berfirman :


”Hai orang-orang yang beriman, ta’atlah kepada Allah dan RasulNya, dan janganlah kamu berpaling dari padaNya” (Qs. 8 : 20).

Dari ayat di atas, nampak sangat jelas dan terang, bahwa perintah untuk ta’at, juga diikuti dengan perintah untuk tidak boleh berpaling. Berpaling dari apa? Yaitu, berpaling dari perintah untuk ta’at itu sendiri. Baik berpaling secara hati, pikiran, tindakan maupun secara lisan.
Selain itu, dari ayat tersebut, kita juga dapat mengetahui dengan jelas, bahwa perintah untuk ta’at hanya ditujukan kepada orang-orang yang mengaku telah beriman kepada Allah dan RasulNya. Artinya, jika kita memang mengaku telah beriman, maka apa pun yang diperintahkan oleh Allah dan RasulNya, menjadi wajib untuk kita tegakkan. Sedang jika kita menolak atau tidak mengindahkan perintah Allah dan RasulNya, berarti kita termasuk ke dalam kelompok orang-orang yang merugi. Karena itu, Allah memerintahkan pada kita agar jangan berpaling dari padaNya.
Pertanyaannya sekarang ialah, mengapa ta’at kepada Allah dan RasulNya menjadi sangat penting untuk diperhatikan dan ditegakkan dalam perjalanan hidup seorang hamba? Ada dua jawaban penting yang telah diberikan oleh Allah terkait dengan pertanyaan tersebut. Yaitu, pertama, Allah SWT mengingatkan pada kita, bahwa perintah ta’at itu merupakan syarat pokok untuk tegaknya syari’at. Sebagai syarat pokok, maka tentu saja kita tidak punya pilihan lain, kecuali hanya patuh dan tunduk.
Karena itu, ketika seorang hamba diperintah oleh Allah dan RasulNya untuk melakukan amal kebajikan, maka si hamba hanya berkewajiban untuk menegakkan dan mengindahkannya. Bahkan, untuk keperluan bagaimana cara seorang hamba dalam menjawab perintah itu pun, Allah telah memberi tuntunannya. Yaitu, ”Kami dengar dan kami ta’at” (Qs. 5 : 7). Begitulah tuntunan yang telah diberikan oleh Allah untuk manusia yang mengaku telah beriman kepada Allah dan RasulNya.
Kedua, perintah ta’at itu kelak akan menjadi indikator bagi identitas kita sebagai hamba dan umat. Artinya, sebagai seorang hamba, sudah pada tempatnyalah jika kita harus patuh dan tunduk pada Zat yang telah menciptakan diri kita dari ’tidak ada’ menjadi ’ada’. Sedang sebagai umat dari seorang Nabi atau RasulNya, tentu tidak pada tempatnya juga jika kita memilih untuk membangkang dan menentang kekasihNya yang telah dipilih dan terpilih untuk membimbing perjalanan kita bertemu Allah Ta’aala.
Karena itu, terkait dengan persoalan tersebut, Allah kemudian berfirman :

”Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk dita’ati dengan seizin Allah” (Qs. 4 : 64). Ayat ini memerintahkan dengan tegas pada kita, bahwa tidaklah Allah mengirim utusanNya kepada kita melainkan untuk supaya kita ta’ati. Jadi, kalau dalam keseharian hidup kita, ternyata banyak perbuatan yang kita lakukan itu bertentangan dengan perintah RasulNya, maka berarti kita masih belum ta’at. Padahal, Allah telah berfirman :
”Barang siapa yang menta’ati Rasul, sesungguhnya ia telah menta’ati Allah” (Qs. 4 : 80) Sudahkah kita menta’ati semua perintah Rasul?

Syarat Keta’atan
KARENA ta’at itu merupakan syarat pokok untuk tegaknya syari’at dan indikator bagi ke-identitas-an kita sebagai hamba dan umat dari seorang Nabi-RasulNya, maka tentu ada beberapa syarat yang perlu kita perhatikan untuk kita bisa menegakkan keta’atan tersebut.
Yaitu : Pertama, jangan membantah. ( ) ”Dan taatlah kepada Allah dan RasuNya dan janganlah kamu berbantah-bantahan” (Qs. 8 : 46).
Perintah satu ini, sudah sangat jelas dan tegas. Tidak mungkin kita bisa menjadi seorang hamba yang ta’at, patuh dan tunduk, jika kita masih suka membantah apa saja yang telah diperintahkan oleh Allah dan RasulNya. Baik itu membantah dalam pengertian secara hati (yaitu menolak untuk diperintah alias grundel), pikiran (berprasangka buruk), tindakan (tidak mau mengerjakan atau melaksanakan perintah) maupun secara lisan (mengungkapkan sikap ketidak-terimaan kita terhadap isi perintah dan ’mencemooh’ lewat kata-kata kepada yang memberi perintah tersebut).
Mengapa demikian? Karena, membantah perintah --- baik secara hati, pikiran, tindakan maupun lisan itu --- sama artinya dengan menolak dan tidak terima pada isi perintah. Selain, tentu saja, tidak terima pada yang memerintah. Sebab, kalau kita senang, pastilah kita akan memperhatikan dan menegakkan perintah tersebut. Dalam bahasa ilmu ruhani, sikap seorang hamba yang suka membantah, menolak dan tidak terima pada yang memberi perintah ini, sering disebut sebagai perbuatan ngontras. Sikap ini, jelas bukanlah cerminan yang baik bagi seorang hamba yang mengaku beriman kepada Zat yang telah menciptakannya.
Kedua, mendengarkan isi perintah dan melaksanakannya dengan sungguh-sungguh. Mendengar isi perintah dengan baik, merupakan syarat pokok untuk tegaknya keta’atan. Sedang melaksanakan isi perintah dengan sungguh-sungguh, merupakan bentuk keta’atan seorang hamba terhadap yang memerintahnya. Simak saja firman Allah berikut ini:
( )

”Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu.”(Qs. 64 : 16).

Karena itu, penting sekali bagi seorang hamba Allah yang arif dan ma’rifat billah untuk mendengarkan bagaimana isi perintah dan melaksanakan perintah itu dengan sungguh-sungguh. Tujuannya tidak lain adalah, supaya jangan sampai ia malah menegakkan apa yang dilarang, dan merobohkan apa yang justru harus ditegakkan.
Seorang hamba Allah yang arif dan ma’rifat billah, tahu betul mana yang wajib --- yang karenanya harus ditegakkan --- dan mana yang sunnah, serta mana yang mubah dan makruh (yang karenanya harus ditinggalkan atau dijauhi). Mencampur-adukkan antara yang wajib-sunnah dan mubah-makruh, sama halnya dengan mencampurkan antara yang haq dan batil.
Yang jelas, untuk menegakkan yang wajib, tentu tidak berarti seorang hamba boleh meremehkan yang sunnah. Begitu juga sebaliknya, menjauhi yang mubah-makruh, bukan berarti sang hamba boleh meninggalkan yang wajib-sunnah. Sebab, semua harus dilakukan secara bersama-sama dan dengan sungguh-sungguh.
Kesungguhan menjadi penting, karena terkait erat dengan adab kita sebagai makhlukNya atau sebagai umat dari seorang Nabi-Rasul. Bagaimana mungkin, perintah yang sesungguhnya bertujuan untuk menegakkan syari’atNya itu, bisa kita tegakkan dengan cara sambil lalu atau dengan cara tidak sungguh-sungguh?
Contoh paling mudah bisa kita pelajari dari bagaimana sikap kita ketika menerima panggilan salat lewat mu’adzin. Jika, misalnya, panggilan mu’adzin itu kita artikan sebagai sebuah pengumuman resmi dari seorang petugas yang bermaksud mengabarkan tentang kesediaan seorang kepala negara untuk menerima kita sebagai tamu resminya, maka tentu kita akan senang dan bersungguh-sungguh untuk menemuinya.
Bayangkan, jika suara merdu seorang mu’adzin itu ibarat sebuah kabar gembira dari Allah tentang kesediaanNya untuk menerima kehadiran kita dalam acara ’open house’, apa yang akan kita lakukan? Menyiapkan diri dan bersegera untuk menemuiNya, atau malah kita memilih untuk bersantai-santai dulu? Jika terhadap kepala negara saja kita bisa bersungguh-sungguh, lalu mengapa kepada Sang Pencipta, kita tidak bisa lebih dari sungguh-sungguh?
Ketiga, berhati-hatilah. ( ) ”Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah” (Qs. 5 : 92). Berhati-hati dan selalu waspada dalam menjalani kehidupan di muka bumi, merupakan kunci bagi keselamatan seorang hamba. Demikian juga halnya dengan masalah keta’atan. Perlu ekstra hati-hati. Terutama dalam kaitannya dengan bagaimana mendudukan keta’atan yang benar dari seorang hamba terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan kepatuhan ilahiah. Jangan sampai, gara-gara tidak berhati-hati, seorang hamba yang seharusnya ta’at kepada Allah, malah ’terjerumus’ dalam keta’atan pada makhlukNya. Perbuatan yang demikian itu, jelas sangat berbahaya sekali.
Karena itulah, Allah SWT kemudian menuntun kita untuk senantiasa bersikap hati-hati dan waspada terhadap segala bisikan yang dapat menjauhkan kita dari Allah. Apalagi, kita tahu, bahwa jalan menuju Allah itu sungguh sangat licin. Demikian juga halnya dengan sekat pembatas antara yang haq dan batil, sangatlah tipis. Jika kita tidak berhati-hati, bukannya surga yang bakal kita dapat. Melainkan justru malah neraka.
Cermatilah bagaimana ilustrasi berikut ini yang menggambarkan betapa sangat tipisnya persoalan yang berkaitan dengan keta’atan tersebut. Ada seorang aktivis masjid. Sebut saja namanya Firdauz. Usianya masih sangat muda. Sejak kecil ia rajin beribadah dan menimba ilmu agama hingga usianya mencapai dewasa. Kepaséhannya dalam menguasai ilmu agama, membuat ia menjadi sangat terkenal. Tidak sedikit orang yang berdecak kagum padanya. Apalagi dia selalu diminta untuk mengisi ceramah. Dari masjid ke masjid dan dari rumah ke rumah.
Kepaséhannya dalam menguasai ilmu agama dan ketenarannya dalam berdakwah di masyarakat, membuat ia menjadi kurang hati-hati dan waspada dalam menegakkan syari’at agama Allah. Ajakannya kepada masyarakat dakwah untuk ta’at pada Allah dan RasulNya, justru menjadi ’bumerang’ bagi perjalanannya sendiri. Tanpa dia sadari, niatannya untuk ta’at kepada Allah dan RasulNya telah berubah. Ia ta’at bukan karena ia senang kepada Allah dan RasulNya. Melainkan ta’at karena ia merasa ’takut’ (jika terlihat dan kedapatan tidak ta’at di hadapan masyarakat dakwahnya) dan ’tidak enak’ pada masyarakat dakwahnya jika ia sendiri tidak ta’at.
Begitu tipisnya sekat yang dibuat oleh nafsu, dan betapa licinnya jalan menuju keta’atan kepada Allah dan RasulNya. Kalau kita tidak hati-hati dan waspada, sangat boleh jadi, kita akan terjebak dalam permainan hawa nafsu kita sendiri yang memang selalu mengajak kita untuk tidak mau ta’at kepadaNya. Karena itu, waspadailah setiap ’bisikan’ yang dihembuskan oleh hawa nafsu.
Keempat, jangan merusak pahala amalan.
”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu” (Qs. 47 : 33).
Keta’atan kepada Allah dan RasulNya, sesungguhnya bisa membuahkan pahala dan bisa pula merusak pahala. Selain itu, ta’at pada Allah dan RasulNya juga bisa membuat seorang makhluk menjadi terangkat kedudukannya dan bisa juga sebaliknya. Tersungkur. Tergantung pada bagaimana cara seorang hamba dalam menata niatnya ketika ingin ta’at kepada Allah dan RasulNya. Apakah ia ingin ta’at karena ia telah menyadari tentang betapa pentingnya seorang hamba ta’at kepada Allah dan RasulNya? Ataukah ta’at karena ia ingin mendapat ’sesuatu’ dari Zat yang ia ta’ati itu? Dua persoalan inilah yang akan menjadi kunci penentunya.
Seorang hamba yang ta’at kepada Allah dan RasulNya karena faktor adanya kesadaran ilahiah, dan ia sepenuhnya sadar tentang hal itu, maka sesungguhnya ia jauh lebih baik daripada ta’at karena mengharap ’sesuatu’ berupa balasan dari yang dita’atinya. Sebab, pada kondisi yang pertama, ia sepenuhnya mengandalkan dan mengharapkan kemurahan dari Allah. Sedang pada kondisi kedua, sang hamba telah dikuasai penyakit hati merasa bisa, merasa mampu dan merasa kuasa untuk ta’at, patuh dan tunduk pada kekuasaanNya. Perbuatan yang disebut terakhir inilah, yang dapat merusak pahala amal ibadah.
Sedangkan ta’at yang lahir dari kesadaran ilahiah, menurut para salafus shalih, adalah keta’atan yang kelak dapat menjaga dan meningkatkan kualitas amal ibadah seorang hamba. Sebab, keta’atan ilahiah itu bersifat sangat rahasia. Ia ada di dalam hati sang hamba. Sedang wujud dari keta’atan itu, bisa kita lihat dari gerak lahiriahnya, meski tidak harus selalu lewat gerak.
Hadiah Keta’atan
MENGAPA Allah memerintahkan kita untuk ta’at kepadaNya dan kepada Nabi-RasulNya? Apa tujuan yang diharapkan oleh Allah dan RasulNya ketika memerintah kita untuk ta’at? Jawaban atas pertanyaan ini, dapat kita simak melalui firmanNya dalam surat Ali-Imran ayat 132 dan surat An-Nuur ayat 56 berikut ini:

”Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (Qs. 3 : 132)

”Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.”(Qs. 24 : 56)

Dari kedua ayat di atas, jelas sekali, bahwa tujuan Allah dan RasulNya memerintah kita agar ta’at adalah, pertama, supaya kita diberi rahmat. Jika kita tidak ta’at kepadaNya, bagaimana mungkin kita mendapat rahmatNya? Tanpa rahmat dariNya, bagaimana mungkin kita bisa menjadi seorang hamba yang beruntung dan bisa berterima kasih kepadaNya? Di ranah inilah, ta’at menjadi sangat penting dan menentukan bagaimana akhir dari perjalanan hidup kita di dunia ini. Dengan ta’at kita mendapat rahmatNya, dan dengan rahmatNya, insya Allah kita akan dikuatkan untuk bisa menjadi hamba yang ta’at kepadaNya.
Pertanyaannya sekarang ialah, apa yang dimaksud dengan rahmat dalam ayat di atas? Menurut Kamus Istilah Islam karya Moh. E. Hasim (1987:126), kata rahmat bisa diartikan sebagai karunia atau berkah. Pengertian ini mengacu pada surat Al-Baqarah ayat 157: ulaa-ika ’alaihim shalawaatummirrabihim warahmah, yang artinya, mereka itulah yang dikarunia berkah dan rahmat oleh Tuhannya.
Jika rahmat itu kita gambarkan dalam bentuk cahaya, maka orang yang mendapat rahmat dari Allah itu adalah orang yang hidupnya selalu bercahaya. Meskipun dia berada di tempat yang gelap, tapi dia tetap bercahaya. Bahkan, cahaya yang memancar dari dalam dirinya itu, dapat menerangi kegelapan yang ada di sekitarnya. Dengan berbekal cahaya itulah, dia berjalan menuju ke arah Zat yang telah memberinya cahaya, sehingga ia bisa melihat dengan jelas, mendengar dengan terang dan berjalan dengan benar.
Dalam perspektif cahaya itulah, seorang hamba yang tidak mau ta’at pada Allah dan RasulNya, tak ubahnya seperti orang yang tuli (meski secara lahir indera pendengarannya berfungsi dengan baik), buta (meski secara lahir indera penglihatannya bisa melihat dengan baik) dan tak punya perasaan (meski secara lahir ia punya hati dan bisa membedakan rasa sakit, senang, susah dan bahagia). Dalam bahasa al-Qur’an, hamba yang tidak mau ta’at itu adalah orang yang telah dikunci pintu hati, pendengaran dan penglihatannya oleh Allah, seperti yang digambarkan Allah dalam surat Al-Baqarah berikut ini:

”Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (Qs. 2: 7)
Jika mata hati, pendengaran dan penglihatan seorang hamba telah dikunci mati oleh Allah, lalu dengan apa seorang hamba bisa mendengar ayat-ayatNya, melihat keagungan karya-karyaNya dan mengakui kekuasaanNya yang Maha Luas itu? Pada tataran inilah, ta’at pada setiap perintah dan laranganNya menjadi syarat pokok bagi seorang hamba untuk bisa menerima rahmat dariNya. Lewat ta’at itulah, kita bisa membuka pintu rahmatNya.
Sedang tujuan kedua mengapa Allah dan RasulNya memerintah kita untuk ta’at kepadaNya adalah, supaya ”... Dia tidak akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalanmu” (Qs. 49 : 14). Dari ayat ini, kita bisa menangkap ada dua pengertian yang perlu kita cermati dengan sungguh-sungguh. Yaitu, jika kita memilih untuk ta’at, maka pahala amal ibadah yang akan kita terima dari Allah, tidak akan berkurang barang sedikitpun. Bahkan malah akan bertambah.
Sebaliknya, jika kita memilih untuk tidak mau ta’at kepadaNya, maka jangan kaget kalau pahala dari setiap amal ibadah yang telah kita lakukan itu, kelak bakal berkurang. Ini adalah konsekuensi yang harus kita terima, terlepas apakah kita suka atau tidak suka.
Yang jelas, tidak akan ada ’hadiah’ yang bersifat cuma-cuma. Apalagi ‘hadiah’ yang datangnya dari Allah Azza wa Jalla. Sebab, yang namanya ‘hadiah’ itu, biasanya, hanya akan diberikan kepada mereka yang punya prestasi lebih dibandingkan dengan yang lainnya.
Adapun tujuan ketiga mengapa Allah dan RasulNya memerintah kita untuk ta’at kepadaNya adalah, agar kita bisa mendapat kemenangan yang besar. Simak saja apa kata Allah dalam surat al-Ahzab ayat 71 berikut ini:


”Dan barang siapa yang menta’ati Allah dan RasulNya, maka ia telah mendapat kemenangan yang besar.”

Apa yang dimaksud dengan mendapat kemenangan yang besar pada ayat di atas menunjukkan dengan jelas, bahwa orang-orang yang memilih untuk ta’at kepada Allah dan RasulNya itu, adalah orang-orang yang memang telah ’dipilih’ dan ’terpilih’ untuk bisa memenangkan kehendak Allah atas hawa nafsunya sendiri. Artinya, manakala seorang hamba memilih untuk ta’at pada syari’atNya, maka berarti pada saat itu, ia telah berani menanggung risiko yang acapkali justru malah dijauhi oleh kebanyakan orang. Yaitu melemahkan keinginan dari hawa nafsunya sendiri. Itulah salah satu kemenangan besar yang bakal diterima oleh orang-orang yang memilih untuk ta’at kepada Allah dan RasulNya.
Selain itu, orang-orang yang memilih untuk ta’at juga akan memperoleh kemurahan dari Allah dan RasulNya. Yaitu, pertama, akan mendapat syafa’at dari Rasulullah saw, dan kedua, ia akan dimasukkan ke dalam surga, seperti yang dijanjikan oleh Allah dalam surat An-Nisaa’ ayat 13 :

”Barangsiapa taat kepada Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.”
Sampai di sini, semakin jelaslah sudah, mengapa Allah dan RasulNya mewajibkan kita untuk selalu ta’at pada syari’atNya. Sebab, dengan jalaran ta’at itulah, Allah dan RasulNya bisa punya alasan yang kuat untuk memberi kita ’hadiah’ di akhirat kelak. Yaitu berupa kehidupan yang kekal di dalam surgaNya. Jika demikian halnya, lalu mengapa kita tidak segera berlomba-lomba untuk ta’at pada setiap perintah dan laranganNya? Wallaahu a’lam bishawwab.




10
Tidak Menuhankan
Hawa Nafsu

” ... dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah, akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”(Qs. 38 : 26)


PERBUATAN menyekutukan Allah itu banyak ragamnya. Diantaranya adalah, percaya pada kekuatan dan kehebatan dari seorang makhluk yang notabene adalah ciptaan Allah. Bentuk perbuatannya bisa berupa, misalnya, percaya pada kesaktian yang dimiliki oleh seorang dukun. Percaya kalau seorang dukun punya kesaktian saja, sebetulnya, sudah termasuk ke dalam kategori perbuatan telah menyekutukan Allah. Apalagi kalau sampai mengikuti dan tunduk pada apa yang telah diperintahkan oleh sang dukun.
Disebut menyekutukan Allah karena, dalam perbuatan tersebut ada sebuah pengakuan --- baik secara langsung ataupun tidak langsung --- yang ditujukan bukan kepada Allah sebagai satu-satunya Zat Yang Memiliki dan Mempunyai Kekuatan. Padahal, jelas-jelas, semua sumber kehidupan di dunia ini, yang menciptakan, merawat dan mengaturnya adalah Allah ‘Azza wa Jalla. Perhatikan saja bagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 255:


“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhlukNya); tidak mengantuk dan tidak tidur. KepunyaanNya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izinNya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendakiNya. Kursi (ilmu dan kekuasaan) Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

Atau perhatikan juga firmanNya yang lain dalam surat Al-Baqarah ayat 115 dan Al-Hajj ayat 3 :

”Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmatNya) lagi Maha Mengetahui.” (Qs. 2: 115)


”Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaitan yang jahat, yang telah ditetapkan terhadap syaitan itu, bahwa barangsiapa yang berkawan dengan dia, tentu dia akan menyesatkannya, dan membawanya ke azab neraka.” (Qs. 22: 3)

Dari ketiga postulat tersebut, jelaslah sudah bagaimana sejatinya kedudukan Allah dalam hidup kita. Mungkinkah kita akan mencari tuhan lain selain Allah Rabbul ‘Izzati? Inilah pertanyaan terberat yang dihadapi manusia dalam sepanjang zaman. Terutama ketika mereka dihadapkan dengan persoalan tentang bagaimana menempatkan keyakinan yang benar kepada Tuhan Yang Sebenarnya.
Yang jelas, dalam skala yang lebih luas, menurut para ahlul kasyaf, percaya pada kehebatan dari sebuah teknologi yang dibuat manusia, sebetulnya dapat dikategorikan sebagai perbuatan syirik. Apalagi kalau kepercayaannya terhadap benda itu telah membuat ia menjadi amat sangat tergantung. Artinya, jika alat tersebut tidak ada, maka ia merasa jalan hidupnya menjadi terganggu. Seakan-akan, jalan keluar dari persoalannya, dapat ia temukan atau ada pada keberadaan benda tersebut.
Begitu juga halnya dengan mempercayai keangkeran sebuah pohon, benda-benda keramat atau senjata yang diyakini dapat membuat orang menjadi sakti mandraguna serta percaya pada keampuhan sebuah azimat. Yakin kalau menggunakan azimat bisa jadi orang hebat dan ampuh, jelas telah masuk dalam kategori perbuatan yang tidak disukai Allah. Sebab, ia mengandalkan azimat, bukan Allah sebagai sumber kekuatannya.
Selain itu, ada satu bentuk perbuatan syirik lain yang sangat halus dan tipis sekali batasannya. Yaitu ‘menuhankan’ hawa nafsu. Perbuatan ini sulit terdeteksi, karena ia tidak kasat mata. Ia berada dan bersembunyi dalam diri kita. Tempatnya terkadang ada di hati, dan terkadang bersembunyi dalam pikiran kita. Dia juga bisa bersembunyi di balik baju ‘kepentingan’, ‘keinginan’ serta ‘nafsu biologis’ yang melekat pada diri kita.
Mempertuhankan hawa nafsu, biasanya sering dialami orang-orang yang secara materi, hidupnya longgar atau bahkan berlebihan. Karena adanya kelonggaran dan berlebihan itulah, ia acapkali jadi gampang terhijab dalam memberikan sebuah penilaian secara objektif.
Akibatnya, ketika tindakan yang sebetulnya dalam pandangan syari’at agama masuk dalam kategori sebagai perbuatan dosa, namun karena terhijab, lalu perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan baik dan pantas untuk dilakukan. Begitu pula sebaliknya. Simak firmanNya dalam surat Shaad ayat 26:
” ... dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah, akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”
Karena nafsu negatif yang ada di dalam diri manusia itu bersifat lalai, maka menurut ahlul kasyaf, jika manusia menuhankan hawa nafsunya sendiri, ia akan menjadi lupa kepada Allah dan lupa tentang akan adanya hari perhitungan. Lantaran itu jugalah, Allah tidak senang jika hamba-hambaNya memilih hawa nafsunya sendiri sebagai tuhannya. Dalam kaitannya dengan menuhankan hawa nafsu itu, salah seorang tokoh sufi ternama asal Balkhi, Afganistan bagian utara, yaitu Maulana Jalaluddin Muhammad, atau yang lebih dikenal dengan nama Jalaluddin Rumi mengatakan:
Pada zaman kenabian dulu, perbuatan syirik yang dilakukan kaum kafir, sangat jelas sekali. Yaitu menyembah berhala. Sedang, perbuatan syirik yang dilakukan kaum muslimin pada era sekarang ini bukan menyembah berhala, melainkan menyembah hawa nafsunya sendiri. Karena itu, berhati-hatilah dengan bujuk rayu hawa nafsu. Sebab hawa nafsu itu, cenderung membawa pada kerusakan, kecuali nafsu yang telah diberi rahmat oleh Allah! Bagaimana dengan kita?




11
Tidak Berlebihan

“Makan dan minumlah. Tetapi, jangan berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang suka
berlebih-lebihan” (Qs. 7: 31)


MANUSIA itu memang unik. Selain tak pernah merasa cukup, manusia juga suka berlebih-lebihan dalam hidup. Misalnya saja dalam masalah kepemilikan harta benda. Jika tetangga sebelah membeli sesuatu barang, maka dia pun tak mau kalah. Padahal, sangat boleh jadi, barang yang dia beli karena tak mau kalah saingan dengan tetangganya itu, sama sekali bukanlah hal yang mereka butuhkan. Artinya, bukan kebutuhan mendesak.
Tidak hanya dalam perkara barang saja mereka suka berlebih-lebihan. Dalam perkara makan dan minum pun, mereka terkadang sangat boros. Fenomena semacam ini nampak sangat jelas ketika mereka menjalani ibadah puasa Ramadhan pada sepuluh hari pertama.
Sebelum menjelang berbuka puasa, segala jenis makanan dan minuman yang mereka lihat di pasar, dibeli semua. Seakan-akan, isi perut mereka bakal bisa menampung segala jenis makanan dan minuman yang telah mereka beli di pasar tersebut.
Setelah adanya tanda berbuka puasa, barulah mereka sadar. Ternyata, isi perut mereka tak bisa menampung semua jenis makanan dan minuman yang telah mereka beli di pasar. Begitulah manusia. Gampang sekali ‘diperdaya’ dan ‘diperbudak’ oleh hawa nafsunya sendiri. Hanya karena ingin memuaskan apa yang telah dibisikkan oleh hawa nafsunya, larangan Allah untuk tidak makan dan minum berlebihan pun tak mereka indahkan.
Padahal, jelas-jelas dalam surat Al-A’raf ayat 31, Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman:


“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah ketika akan memasuki masjid. Makan dan minumlah, tetapi janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”

Mengapa Allah tidak senang kepada makhluk yang suka hidup berlebih-lebihan? Ada banyak alasan mengapa Allah kemudian bersikap seperti itu terhadap manusia. Diantaranya adalah: Pertama, karena hidup berlebihan itu dapat menutup pintu kesyukuran makhluk kepadaNya. Pasalnya, hidup berlebihan itu bisa membuat manusia jadi lupa diri dan lupa untuk bersyukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang telah dikaruniakanNya.
Kedua, orang yang hidup berlebih-lebihan atau bermegah-megahan itu cenderung suka lalai daripada ingatnya kepada Allah. Karena itulah, Allah ‘Azza wa Jalla kemudian tidak senang jika hambaNya hidup berlebih-lebihan. Sebab, perbuatan itu bisa membuat sang hamba jadi tidak kenal dengan Allah Ta’aala.
Ketiga, hidup berlebihan atau bermegah-megahan itu, dapat membuat seorang hamba jadi gampang terjebak dalam penyakit hati. Yaitu penyakit hati kikir, bakhil, sombong, iri dan dengki. Kalau seorang hamba sudah dikuasai oleh lima jenis virus penyakit hati tersebut, maka alamat dia bakal mendapat siksa yang pedih. Apalagi jika sampai di akhir hayatnya, dia tidak segera menobati perbuatannya tersebut. Apa Anda tidak takut?
















12
Saling Mengasihi
Sesama MakhlukNya

Dan barang siapa yang bisa mengamalkan sifat-sifat Allah
dalam hidupnya, maka insya Allah, orang tersebut akan disenangi oleh Allah dan seluruh makhluk ciptaanNya di bumi, langit maupun
di antara keduanya.


BARANG siapa yang saling mengasihi kepada sesama makhluk dan menjaga persatuan dalam iman, maka ia kelak akan termasuk ke dalam golongan orang yang akan disenangi oleh Allah. Sebab, perbuatan saling mengasihi kepada sesama makhluk itu, adalah salah satu amal kebajikan yang sangat berat untuk ditegakkan. Apalagi jika mengasihi, menyayangi, menghormati dan memuliakan makhluk yang pernah membuat kerusakan dan pernah menyakitkan hati kita. Sungguh tidak semudah seperti kita membalik telapak tangan kita sendiri.
Apa sebabnya? Karena, untuk bisa mengasihi, menyayangi, menghormati dan memuliakan makhluk yang pernah membuat kerusakan dan pernah menyakiti hati kita itu, dibutuhkan kebesaran hati untuk mau memaafkan semua kesalahan makhluk lain tersebut. Termasuk kekuatan tekad untuk tidak mengadili segala jenis kerusakan orang lain yang kita lihat saat itu. Demikianlah syarat untuk bisa mengasihi, menyayangi, menghormati dan memuliakan makhluk Allah.
Artinya, ketika kita, misalnya, melihat ada orang lain tengah melakukan kerusakan, maka kita diminta untuk tidak serta-merta mengadili perbuatan orang tersebut. Melainkan, justru sebaliknya, mendo’akan agar orang yang sedang dalam kerusakan itu, selamat iman-Islamnya dan diampuni kesalahannya. Dalam perspektif ini, kerusakan yang dilakukan oleh makhluk lain itu, tidak dilihat sebagai satu bentuk perbuatan yang harus diadili. Melainkan justru dijadikan sebagai ladang ibadah, cermin untuk berkaca diri dan pesan moral dari Allah untuk kita agar segera melakukan introspeksi diri.
Mengapa Allah sampai mengijinkan dan menggerakkan makhlukNya untuk melakukan kerusakan di hadapan kita? Ada apa pada diri kita sehingga kita disuruh untuk melihat kejadian itu?
Menurut ahlul kasyaf, tidaklah Allah mengijinkan seorang makhluk ciptaanNya melakukan sesuatu perbuatan, melainkan di balik perbuatan itu pastilah ada pesan-pesan ilahiah yang ingin disampaikan untuk kita lewat gerak makhlukNya tersebut. Karena itu, ujar ahlul kasyaf, berhati-hatilah ketika kita dihadapkan dengan ujian semacam itu. Sebab, manakala kita lalai, maka sangat boleh jadi, pada saat itu juga, kita akan ’dikuasai’ oleh hawa nafsu merasa benar, merasa suci dan merasa hebat.
Jika kita sudah ’dikuasai’ oleh nafsu tersebut, tukas ahlul kasyaf, maka kita gampang sekali terjebak untuk mengadili perbuatan orang lain. Akibatnya, kita tidak bisa menangkap pesan ilahiah yang hendak disampaikan oleh Allah Ta’aalaa lewat gerak makhluk yang melakukan kerusakan tersebut. Akhirnya, peristiwa pun dilihat hanya dari aspek hitam-putih dan salah-benar. Sedang makna dan hikmah dibalik kejadian itu, luput dari perhatian kita.
Karena itulah, untuk membentengi diri agar tidak katut alias tidak netral dengan peristiwa yang terjadi di hadapan kita saat itu, maka kaum sufi kemudian mengajarkan teori tentang mensyari’atkan diri sendiri dan menghakikatkan makhluk lain. Tujuannya tidak lain adalah, untuk menghindarkan diri kita agar tidak mudah mengadili kesalahan orang lain. Minimal, kita tidak menyoal tentang mengapa orang lain itu melakukan kerusakan.
Pasalnya kenapa? Karena, teori mensyari’atkan diri sendiri dan menghakikatkan makhluk lain itu, pada dasarnya, menutup ruang bagi adanya penilaian tentang salah-benar dari lakon yang ada pada makhluk lain. Sehingga, dengan teori itu, semua kesalahan tidak dilihat berada dan diletakkan pada orang lain, melainkan ada pada orang yang melihat kerusakan tersebut. Meskipun, misalnya, secara zahirnya orang lain itu melakukan kerusakan, tapi pihak yang melihat tetap memprasangkai orang yang berbuat kerusakan itu, tidak salah. Yang salah adalah dirinya sendiri.
Jika semua manusia yang ada di muka bumi ini, misalnya, memegang teguh dan mempraktikkan teori kaum sufi ini dengan sungguh-sungguh, maka insya Allah, tidak akan ada perpecahan dan kerusakan di muka bumi. Sebab, ketika melihat adanya kerusakan, maka semua pihak akan kembali kepada dirinya sendiri untuk melakukan introspeksi (muhasabbah). Memang terasa sangat berat untuk bisa mewujudkan dan mempraktikkan teori kaum sufi ini. Apalagi jika dikaitkan dengan firman Allah yang terdapat di dalam surat Ali-Imran ayat 103 :


”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai. Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu (seperti sekarang ini) karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Qs. 3 : 103)

Perintah Allah di atas, sebetulnya tidak perlu ditafsirkan lagi. Sebab, sudah sangat jelas. Yaitu berpegang teguh pada agamaNya dan jangan bercerai-berai. Untuk bisa menegakkan perintah ini, kuncinya adalah kita harus mau belajar untuk saling mengasihi, menyayangi, menghormati dan memuliakan sesama makhluk tanpa membeda-bedakannya. Selagi kita masih sering mengadili dan saling menyalahkan, maka sulit bagi kita untuk bisa saling mengasihi, menyayangi, menghormati dan memuliakan sesama makhluk.
Karena itu, dalam kitab Mashaabiihu sebagaimana diriwayatkan oleh Abi Sa’id ra bahwa, Rasulullah saw telah bersabda :

”Orang Islam mana yang memberi pakaian kepada orang Islam lain yang dalam keadaan kedinginan, maka Allah akan memberi pakaian berwarna hijau dari surga kepadanya.Orang Islam mana yang memberi makan kepada orang Islam lainnya yang dalam keadaan lapar, maka Allah akan memberi makan kepadanya dari buah-buahan surga. Dan orang Islam yang memberi minum kepada orang Islam lainnya yang dalam keadaan dahaga, maka Allah akan memberi minum kepadanya dari arak yang bersegel.”

Sabda Rasulullah saw tersebut menggambarkan dengan jelas betapa sangat pentingnya hidup saling mengasihi, menyayangi, menghormati dan memuliakan makhluk ciptaan Allah. Barang siapa yang bisa mengamalkan perintah tersebut, berarti ia telah mewarisi sifat-sifat Tuhan Yang Sebenarnya. Dan barang siapa yang bisa mengamalkan sifat-sifat Allah dalam hidupnya, maka insya Allah, orang tersebut akan disenangi oleh Allah dan seluruh makhluk ciptaanNya di bumi, langit maupun di antara keduanya.




13
Suka Memaafkan

”Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Qs. 3 : 134).
Yaitu orang-orang yang ... menahan amarahnya
dan mema'afkan (kesalahan) orang.


MEMAAFKAN itu, aslinya, adalah sifatnya Allah. Karena itu, Allah menyukai orang-orang yang mau memaafkan kesalahan yang dilakukan oleh orang lain atas dirinya. Mengapa demikian? Karena, menurut Allah, perbuatan suka memaafkan kesalahan orang lain itu adalah amal kebajikan. Perhatikan saja firmanNya dalam surat Ali-Imran ayat 134 berikut ini:


”Yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Qs. 3 : 134)
Untuk bisa memaafkan kesalahan orang lain, tentu dibutuhkan beberapa syarat. Diantaranya adalah, orang tersebut harus mau belajar memaklumi proses perjalanan orang lain dalam menemukan kesejatian hidupnya. Artinya, kesalahan yang dilakukan oleh orang lain itu, tidak dilihat sebagai sebuah persoalan yang bersifat hitam-putih dan salah-benar. Melainkan, dilihat sebagai sebuah proses tentang perjalanan seorang makhluk dalam mencari kebenaran yang hakiki. Karena hidup di dunia ini merupakan sebuah proses yang panjang, makanya kita perlu saling memaklumi, jika suatu ketika, misalnya, ada orang lain yang berbuat salah pada kita.
Lewat permakluman itulah, kita bisa belajar untuk tidak mempersoalkan dan mengadili tentang perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain. Sebab, antara orang yang berbuat kesalahan dengan diri kita, sesungguhnya, sama-sama tengah menjalani sebuah proses pengabdian kepada Allah. Karena itu, wajar jika ada orang lain atau mungkin diri kita sendiri melakukan kesalahan.
Sebagaimana seorang murid yang belajar tentang kebenaran sejati di sekolahnya, sebelum ia benar-benar tahu, mengerti dan paham --- tentang tindakan yang benar menurut Allah itu seperti apa? ---, maka selama proses belajar itu masih terus berlangsung, tentu ia tidak bisa luput dari berbagai kesalahan demi kesalahan. Persoalannya, apakah ia akan belajar dari kesalahan yang pernah dia lakukan itu atau tidak? Jika ia memang betul-betul ingin belajar, maka tentulah ia nanti akan tahu mana yang benar dan mana yang salah.
Pasalnya kenapa? Karena, lewat tindakan yang salah, ia bisa belajar menyusun rencana untuk menghindari perbuatan yang bisa menggiring dirinya melakukan kesalahan yang sama. Dan melalui tindakan yang benar, ia bisa paham tentang apa yang disebut dengan kesalahan. Termasuk bisa belajar maklum manakala melihat ada orang lain melakukan kesalahan.
Yang jelas, lewat proses kesalahan yang pernah dilakukan itulah, seorang murid yang betul-betul ingin belajar tentang kebenaran hakiki, cepat atau lambat, tentu akan menemukan kunci rahasianya untuk bisa terhindar dari kesalahan yang sama. Termasuk mengenai tindakan apa yang harus ia lakukan, jika suatu ketika ia terjebak di lubang yang sama.
Orang yang mau belajar dari kesalahan demi kesalahan yang pernah dilakukannya itulah, biasanya orang yang paling gampang untuk memaafkan kesalahan yang dilakukan oleh orang lain atas dirinya. Sebab, orang yang demikian itu adalah orang yang punya rasa permakluman yang kuat. Lewat permakluman itulah, ia bisa tahu tentang perbedaan benar dan salah.
Menurut para salafus shalih, salah satu tujuan mengapa Allah ’mengijinkan’ makhlukNya berada dalam lumpur kesalahan adalah, karena Allah ingin agar sang hamba tersebut bisa segera menyadari bagaimana posisi aslinya di hadapan Allah. Lewat kesalahan itu, sang hamba disuruh belajar jujur untuk mengaku salah dan belajar maklum jika ada orang lain melakukan kesalahan yang sama. Selain, sudah barang tentu, melalui kubangan dosa itu juga, sang hamba dituntun untuk memahami tentang bagaimana kekuasaan Allah yang sebenarnya.
Dikatakan salafus shalih, aslinya, ketika kita atau orang lain itu berada dalam kubangan dosa, sesungguhnya Allah telah mengirim pesan ilahiah. Isinya adalah, apakah kita kenal atau tidak dengan Zat yang menguasai diri kita. Jadi, persoalannya bukan benar atau salah dan bisa atau tidak bisa. Itulah pelajaran tentang lakon, kata salafus shalih.
Jika kita betul-betul kenal dan menangkap pesan ilahiah itu secara benar, maka mestinya kita tidak perlu pelit, kikir dan bakhil untuk memaafkan kesalahan orang lain. Sebab, dalam sebuah hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Hakim dan Thabarani ra dalam al-Kabir yang bersumber dari Ibnu Abba ra, Allah SWT berfirman:

”Barang siapa yang mengetahui sesungguhnya Aku (Allah)-lah yang mempunyai kekuasaan untuk mengampuni segala dosa, niscaya dia Kuampuni dan Aku tidak peduli (walau banyak atau besar dosanya), asal tidak menyekutukan sesuatu pun dengan Aku.”

Jika hadis Qudsi itu kita resapi, maka tidak pada tempatnya jika kita bertahan untuk tidak mau memaafkan kesalahan orang lain atas diri kita. Sebab, Allah yang berkuasa saja mau memaafkan kesalahan yang dilakukan oleh hambaNya, masak kita tidak mau memaafkan kesalahan sesama makhluk (yang notabene sama-sama mengharap ampunan dariNya)? Memangnya siapa diri kita?
Karena tingginya kedudukan derajat orang yang mau memaafkan kesalahan orang lain atas dirinya itulah, maka Allah berfirman dalam hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Kharaithi dari Abu Hurairah ra. :
Nabi Musa as telah bertanya kepada Allah : ”Ya Rabbi. Siapakah di antara hambaMu yang lebih mulia menurut pandanganMu?” Allah berfirman : ”Ialah orang yang apabila berkuasa (menguasai musuhnya), dapat segera memaafkan.”
Bahkan dalam surat Al-Baqarah ayat 237 Allah SWT berfirman:


”... dan memaafkan itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.”

Perhatikan pula bagaimana firman Allah dalam surat An-Nuur ayat 22:

“ … dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Persoalannya sekarang ialah, apakah kita mau atau tidak untuk mempraktikkan apa yang telah diperintah oleh Allah dan RasulNya? Yaitu memaafkan kesalahan orang lain. Bukan bisa atau tidak bisa.






14
Berlaku Adil

”Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.” (Qs. 5 : 8)


BERLAKU adil itu sungguh tidak gampang. Apalagi ketika dihadapkan dengan permasalahan yang sama-sama menyedot perhatian, pikiran, tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Peluang untuk bisa berlaku adil pun akan semakin sulit. Karena itulah, tak heran jika banyak penegak hukum di dunia ini seringkali menjadi gampang sekali jadi gelap mata dan mudah tergoda manakala dihadapkan dengan setumpuk uang oleh pihak-pihak yang bermasalah dengan hukum.
Tujuannya, apalagi kalau bukan karena mereka ingin dimenangkan di meja hijau. Padahal, sebetulnya, sangat boleh jadi, posisi mereka saat itu bukanlah berada pada posisi yang benar. Sungguh ironis sekali. Orang yang punya uang dan kedudukan, bisa dengan gampangnya ’membeli’ putusan pengadilan, meski sebetulnya ia lebih layak untuk dihukum daripada dimenangkan. Sedang orang yang miskin dan tidak punya kedudukan apa-apa, malah dikalahkan hanya karena setumpuk uang.
Tawar-menawar harga keadilan dan kemenangan yang semestinya diberikan kepada pihak yang dizalimi pun, justru acapkali ’dilelang’ oleh para penegak hukum. Baik itu dilakukan secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Siapa yang bisa membeli dengan harga paling tinggi, maka dialah pemenangnya. Persoalan tentang pembahasan mengenai bagaimana duduk perkara yang sebenarnya --- guna menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah dalam perkara yang tengah disidangkan tersebut --- di meja hijau, akhirnya tidak begitu penting untuk diperhatikan.
Begitulah realita kehidupan manusia di muka bumi. Yang benar bisa jadi kena hukuman, sedang yang salah bisa hidup merdeka tanpa pernah bisa disentuh oleh hukum. Persoalan apakah perbuatan yang dilakukan oleh para penegak hukum itu nanti bisa menimbulkan luka mendalam pada rasa keadilan di pihak korban, tidak digubris. Yang penting, mereka bisa dapat ’keuntungan’. Betul-betul sangat memprihatinkan.
Karena itulah, Allah kemudian memberi catatan khusus untuk persoalan bagaimana caranya agar masalah keadilan ini bisa ditegakkan di muka bumi. Simak saja firman Allah dalam Surat Al-Maa’idah ayat 8 berikut ini:

”Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Perintah Allah tersebut, sudah teramat jelas. Karenanya, tak perlu ditafsirkan lagi. Tinggal dipraktikkan saja. Bagaimana kenyataannya? Faktanya, kita selama ini seringkali malah banyak bersikap tidak adil. Baik kepada diri kita sendiri maupun kepada makhluk lain.
Pertanyaannya sekarang ialah, mengapa berlaku adil itu tidak gampang? Jawabnya, karena masalah keadilan itu berkaitan erat dengan soal rasa dan soal ukuran yang sudah barang tentu akan berbeda antara satu kasus dengan kasus lainnya. Karena itulah, berlaku adil sungguh tidak mudah. Perhatikan saja, misalnya, firman Allah dalam Surat An-Nisaa’ ayat 129 :
”Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dari surat An-Nisaa’ ayat 129 tersebut, ada tiga (3) hal penting yang dapat kita jadikan sebagai kunci bagi tegaknya keadilan. Yaitu, pertama, penegasan dari Allah bahwa, aslinya, manusia itu sebetulnya tidak akan dapat berlaku adil ( ), jika tidak ada pertolongan dan kemurahan dari Allah SWT. Karena itu, jika kita dihadapkan dengan permasalahan yang membutuhkan sebuah keputusan, maka sebelum keputusan tersebut diambil, ada baiknya jika kita bertanya terlebih dahulu kepada Zat Yang Maha Adil.
Sebab, di balik kalimat ( ) itu, sesungguhnya terkandung sebuah pesan dari Allah untuk manusia agar tidak merasa bisa dan merasa mampu berlaku adil. Apalagi dalam dalam surat Al-Insaan ayat 30 Allah telah berfirman:

”Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Kata ‘dikehendaki’ Allah dalam ayat di atas, sudah sangat jelas sekali untuk menunjukkan betapa Maha Berkuasanya Allah ‘Azza wa Jalla atas kehidupan ini. Karena Dia Maha Berkuasa itulah, maka tentu rugi kalau kita tidak mau meminta pertolongan kepadaNya.
Dengan kata lain, lewat kalimat ( ) itu, Allah seolah-olah ingin memberitahu manusia, bahwa sesungguhnya, selama manusia itu masih dikerangkeng oleh virus penyakit hati merasa bisa dan merasa mampu berlaku adil, maka selama itu pulalah ia tidak akan bisa berlaku adil. Sebab, ketika manusia telah dijangkiti oleh virus penyakit hati merasa bisa dan merasa mampu berlaku adil, maka berarti ia belum tahu dan belum kenal dengan eksistensi Allah sebagai Zat Yang Maha Adil.
Kedua, keadilan tidak bisa ditegakkan, jika hati kita masih belum netral dalam sebuah urusan. Mengapa demikian? Karena, kalau kondisi hati kita saat itu masih belum netral, maka efek yang bakal muncul adalah, adanya rasa suka dan tidak suka (like or dislike). Buntut dari penyakit hati tidak netral ini adalah, hilangnya penilaian objektif terhadap urusan yang sedang ditangani saat itu. Karena itulah, Allah kemudian mengingatkan manusia agar bersikap netral dalam menghadapi sebuah masalah yang membutuhkan adanya keputusan, seperti yang terlihat jelas dalam kalimatNya berikut ini:
“Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.”(Qs. 4 : 129)
Yang jelas, sikap netral itu diperlukan oleh manusia tidak lain adalah, untuk menghindarkan manusia itu sendiri agar tidak berlaku curang dalam menegakkan keadilan. Selain, sudah barang tentu, sikap netral juga dibutuhkan untuk media perjuangan dan sarana pengabdian bagi sang hamba agar bisa menuju keadilan.
Ketiga, untuk menuju adil, manusia diperintah Allah melakukan perbaikan dan menjaga perbuatan agar tidak berlaku curang. Perintah tersebut, terekam jelas dalam firmanNya berikut ini:

”Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. 4 : 129)
Untuk melakukan perbaikan dan menghindarkan diri kita agar tidak melakukan perbuatan curang, tentu saja ada syaratnya. Yaitu, kita harus mau belajar menghormati, menyayangi dan mendo’akan semua pihak yang tengah bersengketa itu tanpa pilih kasih. Selain itu, kita juga harus mau belajar menempatkan pihak-pihak yang bersengketa itu tidak dilihat sebagai musuh. Melainkan dilihat dan di tempatkan sebagai diri kita sendiri.
Dengan cara seperti itu, jika ternyata kita berlaku curang kepada pihak-pihak yang bersengketa, maka pada hakikatnya, kita saat itu telah berlaku curang pada diri kita sendiri. Sebab, antara orang yang bersengketa itu dengan diri kita, sejatinya adalah satu. Perbedaan hanya terletak pada wadah. Sedang kesejatiannya, kita dengan makhluk lainnya itu adalah satu. Yaitu berasal dari Zat Yang Satu. Tuhan Yang Sebenarnya.
Untuk itulah, di dalam surat Surat An-Nahl ayat 90, Allah menegaskan kembali komitmenNya pada manusia dengan berfirman :


“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Demikian juga halnya di dalam surat Al-Baqarah ayat 143, Allah berfirman :


“Dan Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad saw) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”

Dari dua ayat tersebut, jelaslah sudah, betapa besarnya perhatian Allah terhadap masalah keadilan. Sehingga karenanya, Allah memerintahkan manusia agar “berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat,” dan “melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.”
Semua itu dilakukan Allah, karena Dia ingin menjadikan manusia sebagai “umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad saw) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” Bahkan, di dalam surat Al-Hujuraat ayat 9, Allah berfirman:


” ... sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (Qs. 49 : 9)

Persoalannya tinggal kembali kepada pilihan kita masing-masing. Apakah kita mau dicintai oleh Allah atau tidak? Semoga pilihan yang Anda putuskan merupakan pilihan yang terbaik dariNya. Amin.














15
Mengutamakan
Kehidupan Akhirat

“… orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan
(kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka
dan mereka tidak akan ditolong.” (Qs. 2: 86)


HIDUP di dunia ini tak ubahnya seperti sebuah panggung sandiwara. Banyak peran atau lakon yang dapat dijumpai di dalamnya. Tapi, intinya tetap sama. Yaitu semuanya penuh dengan kebohongan, kepalsuan dan kepura-puraan. Memang begitulah wataknya sebuah sandiwara.
Karena itulah, Allah Ta’aala dan RasulNya tak pernah lelah mengingatkan manusia agar jangan mudah terpedaya oleh tipu muslihat yang diperlihatkan dunia. Pasalnya, apapun yang telah ditawarkan oleh dunia kepada manusia, sifatnya tidak kekal.
Lantaran kehidupan dunia tidak kekal itulah, maka Allah dan RasulNya tak pernah bosan-bosannya menyarankan manusia agar mengutamakan kehidupaan akhirat yang sifatnya lebih abadi. Bahkan, dalam surat Ali-Imran ayat 185, Allah dengan tegas mengingatkan manusia agar jangan main-main dengan urusan akhirat.

“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”

Senada dengan firman Allah di atas, Rasulullah SAW dalam sebuah kesempatan pernah mengingatkan para sahabatnya. “Barangsiapa yang hidupnya hanya untuk mengejar dunia,” kata Rasulullah SAW, “maka dia akan merugi di hari akhirat nanti. Sebaliknya, barangsiapa yang lebih mengutamakan kehidupan akhiratnya, maka ketahuilah, dunia akan datang menghampirinya.”
Memang tak mudah untuk bisa mengubah dan mengalihkan fokus perhatian mata, hati dan pikiran kita yang acapkali silau dengan dunia ini menjadi beralih ke kehidupan akhirat yang kekal lagi abadi itu. Apalagi bagi orang yang masih terjebak dalam selimut hawa nafsunya sendiri atau tengah berada di dalam ruang kamar virus al-wahnu (cinta dunia).
Pasalnya kenapa? Karena, yang namanya virus al-wahnu itu, kalau sudah ‘menguasai’ mata, hati dan pikiran seorang hamba, maka yang ada dalam kamus kehidupannya sehari-hari hanya ada satu hal. Yaitu, bagaimana caranya agar dunia dan seluruh isi yang ada di dalamnya ini, bisa dia ‘kuasai’ dan bisa menjadi miliknya sendiri.
Begitulah sifat virus al-wahnu. Kiprah virus al-wahnu ini makin sulit untuk dikendalikan, manakala ia telah berkolaborasi dengan hawa nafsu yang selalu mengajak manusia untuk berbuat ‘makar’ pada Allah. Karena itulah, Allah Rabbul ‘Alamin mengingatkan manusia, bahwa memperturutkan gerak nafsu dan membiarkan diri ‘dikuasai’ oleh virus al-wahnu itu adalah perbuatan yang sia-sia.
Sebab, kesenangan yang ditawarkan oleh nafsu dan virus al-wahnu itu, sifatnya tidak kekal alias hanya sementara. Perhatikan saja firmanNya dalam surat Ali-Imran ayat 197 berikut ini:


“Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.”

Karena kesenangan yang ada di dunia ini sifatnya hanya sementara, maka barangsiapa yang menyengaja untuk menggandrungi kesenangan yang sementara itu daripada kehidupan yang abadi, mereka itu adalah termasuk orang-orang yang merugi. Bahkan dalam surat Al-Baqarah ayat 16 dan 86, Allah menyebut perbuatan yang demikian itu sebagai perbuatan sesat lantaran telah menukar nikmatnya kehidupan akhirat dengan dunia.


“Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.” (Qs. 2: 16)


“Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong.” (Qs. 2: 86)

Bagaimana caranya agar kita bisa terbebas dari perangkap hawa nafsu dan virus al-wahnu yang selalu menyuntikkan serum kebohongan, kepura-puraan dan kepalsuan pada mata, hati dan pikiran kita? Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada satu hal yang perlu kita renungkan bersama. Yaitu, pada dasarnya, tak ada satu pun makhluk di muka bumi ini yang betul-betul bisa bebas dari perangkap hawa nafsu dan virus al-wahnu.
Kalau pun ada makhluk yang dapat bebas dari pengaruh hawa nafsu dan perangkap virus al-wahnu, maka hal itu tak lain karena mutlak adanya faktor kemurahan dan pertolongan dari Allah SWT. Tanpa adanya pertolongan dan kemurahan dari Allah, sesungguhnya, tak ada daya dan upaya pada diri manusia untuk bisa melakukan apapun di dunia ini, kecuali berasal dari Allah. Laahaula walaa quwwata illaa billahil ‘aliyyil ‘azhiim. Karena itu, dalam surat Al-Insaan ayat 30, Allah berfirman:


”Dan kamu tidak bakalan mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Terkait dengan pertanyaan di atas, ada beberapa jalan syari’at yang dapat kita tempuh --- sebagai langkah ikhtiar kita --- untuk ‘melemahkan’ virus cinta pada dunia menjadi cinta pada akhirat. Jalan yang dimaksud yakni dengan memperbanyak mengingat maut atau kematian. Sebab, hanya dengan cara seperti itu, segala kenikmatan dan kelezatan dunia akan hancur, seperti yang dikatakan oleh Rasulullah SAW:

Dari Abu Hurairah r.a., berkata Rasulullah SAW: “Banyak-banyaklah kamu mengingati kejadian yang akan menghancurkan segala kelezatan. Yaitu, maut.” (HR. Attirmidzy).

Allah sendiri telah mengingatkan manusia lewat surat Ali-Imran ayat 185:


“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”

Bahkan, dalam surat yang lain, yaitu surat Al-Munaafiquun ayat 9, Allah juga telah berfirman:


”Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.”

Saking besarnya perhatian Allah kepada manusia agar bisa selamat dari pengaruh virus al-wahnu ini, sampai-sampai Allah menyetarakan perbuatan seorang hamba yang hari-harinya diisi dengan kesibukan untuk mengurusi harta dan anak --- hingga membuatnya jadi lalai dari mengingat Allah itu --- sebagai golongan orang-orang yang merugi.
Selain mengingat maut atau kematian, ada juga cara yang lebih singkat untuk menghindar dari perangkap virus al-wahnu. Yaitu lewat cara berpuasa serta mengurangi makan dan minum dengan niat untuk melemahkan hawa nafsu. Berpuasa di sini bukanlah sekedar menahan lapar dan dahaga. Akan tetapi, yang lebih utama adalah, menahan hawa nafsu. Tidak makan dan tidak minum, adalah salah satu jalan terpendek yang bisa ditempuh oleh manusia untuk melemahkan hawa nafsunya. Bukan malah menambah tingginya kadar hawa nafsu seseorang.
Menahan nafsu amarah dan syahwat, termasuk menjadi bagian yang seyogyanya juga ikut dipuasakan. Akan lebih bagus lagi jika hal itu tidak sekedar dilaksanakan ketika di bulan Ramadhan saja. Melainkan, dalam kehidupan sehari-hari.
Dikisahkan dalam suatu riwayat, pada satu ketika, Nabi Yahya as bertemu dengan iblis. Kemudian ia melihat ada sesuatu yang digantung di sekitarnya. Nabi Yahya as bertanya: “Apakah ini?” Iblis menjawab: “Itu adalah nafsu syahwat, yang dengannya aku akan menghalangi anak cucu Adam dari mengingat Allah.”
Kemudian Nabi Yahya as bertanya lagi: “Apakah engkau ada menemukan dari semua nafsu itu ada padaku?” Iblis menjawab: “Tak ada. Kecuali jika engkau mengenyangkan perutmu pada malam hari. Maka kami akan memberatkanmu untuk melakukan salat.” Nabi Yahya pun berkata: “Sungguh, aku tak akan mengenyangkan perutku selama-lamanya.”
Dalam sebuah hadits disebutkan, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian mematikan hati dengan memperbanyak makan dan minum. Karena, hati itu bisa mati sebagaimana tanaman yang mati jika kebanyakan air.” Sebagian ulama menafsirkan hadits tersebut dengan menerangkan bahwa perut itu ibarat wadah yang berada di bawah hati.
Setiap perut diisi dengan makanan dan minuman, maka wadah itu akan bergejolak dan mengeluarkan gasnya berupa asap. Asap ini akan sampai pada hati yang berada di atasnya. Apabila asap itu banyak, karena banyaknya makanan dan minuman yang masuk, maka semakin menghitamlah hati tersebut.
Hati yang menghitam karena diselimuti asap dari perut tadi, akan mempengaruhi ilmu dan kepahaman serta kecerdasan seseorang. Alhasil, orang yang banyak makan dan minum, akan berkuranglah kandungan ilmu yang dapat diserapnya, mempersulit lahirnya kepahaman dan mengurangi kecerdasan.
Dalam hadits yang lain, Rasulullah SAW pernah bersabda:

“Sinarilah hatimu dengan lapar. Perangilah hawa nafsumu dengan lapar dan haus. Ketuklah pintu surga dengan lapar. Karena pahala dalam perbuatan itu seperti pahala orang yang berjihad di jalan Allah. Tak ada perbuatan yang lebih dicintai Allah daripada lapar dan haus. Penguasa langit tak akan melindungi orang yang memenuhi perutnya. Barangsiapa yang membuat penuh perutnya, berarti ia telah menghilangkan manisnya ibadah.”
Dari hadits tersebut menunjukkan bahwa, berpuasa, menahan hawa nafsu, mempersedikit makan dan minum itu merupakan jalan untuk kita bisa menerangi hati. Sehingga, hati kita dapat “melihat” Allah dengan sangat jelas dan dekat. Hati yang seperti itu, akan selalu berada dalam penjagaan Allah.
Sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah berkata: “Aku tidak pernah kenyang semenjak aku masuk Islam. Agar aku dapat merasakan manisnya ibadah kepada Tuhanku. Aku tidak pernah minum sampai kembung sejak aku masuk Islam. Karena aku berharap dapat bertemu Tuhanku. Orang yang banyak makan, akan mempersedikit ibadahnya. Sebab, jika banyak makan, maka akan memberatkan badan, mengalahkan mata dan melemahkan badan. Hingga kemudian tak bisa melakukan sesuatupun, meski ia telah berjuang keras, selain hanya tidur. Orang seperti itu, bagaikan mayat berjalan.”
Pengertian mengurangi makan dan minum tersebut bukanlah tidak makan dan minum sama sekali. Karena, jika tidak makan dan minum, itu artinya berpuasa. Puasa disunnahkan, tetapi tentu saja disertai dengan berbuka. Nabi SAW banyak melakukan puasa, tetapi juga makan dan minum. Diriwayatkan dari Anas ra, bahwa Rasulullah SAW terkadang tidak puasa dalam satu bulan, karena selalu tampak ketika beliau sedang makan. Sehingga, para sahabat mengira, beliau tidak pernah puasa dalam satu bulan itu. Akan tetapi, terkadang beliau berpuasa terus, hingga beliau dikira tidak pernah tak puasa (HR. Bukhari).
Jalan syari’at lainnya adalah ta’at kepada Allah dan RasulNya. Orang yang ta’at, berarti ia sudah mencapai taraf lebih tinggi daripada sekedar iman. Sebab, keta’atan merupakan suatu wujud nyata dari keimanan.
Orang yang berkeinginan untuk melemahkan hawa nafsunya, maka sesungguhnya hal itu terjadi mutlak karena pengaruh dari imannya yang kuat. Perhatikan saja firman Allah dalam surat An-Naazi’aat ayat 40 berikut ini:

“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya akan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya”

Orang yang ta’at kepada Allah dan RasulNya, akan melakukan apa saja yang diperintahkan untuknya. Pasalnya, yang dikejar dari keta’atan kepada Allah itu tidak lain adalah untuk dapat dekat dengan Tuhannya.
Sedang, orang yang masih memperturutkan hawa nafsunya, maka ia akan mengalami kesulitan untuk dapat dekat dengan Tuhannya. Sebab, hawa nafsu itu sendiri telah membentuk banyak hijab di sekeliling hati manusia, sehingga membuat ia jadi tak dapat mendekat kepada Tuhan. Perhatikan saja bagaimana Allah melukiskan tentang keadaan orang-orang yang hatinya telah terhijab di dalam surat Muhammad ayat 16 :


“Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah karena mengikuti hawa nafsu mereka.”

Hawa nafsu yang diperturutkan akan membuat manusia menjadi hamba dari hawa nafsunya sendiri. Terkait dengan hal ini, Allah SWT telah berfirman dalam surat Al-Furqaan ayat 43 :
“Pernahkah engkau melihat orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan?”

Orang-orang yang memperturutkan hawa nafsunya akan berakhir dengan kepedihan dan penderitaan. Sejarah telah membuktikan, bagaimana kisah orang-orang yang memperturutkan hawa nafsunya. Seperti kisah Qarun, Fir’aun, Zulaikha yang telah diperbudak oleh nafsunya kepada Nabi Yusuf as. Begitu pula kisah-kisah lainnya seperti kisah kaum Nabi Luth, kaum Nabi Nuh, dan kisah-kisah lainnya.
Adapun cara lain yang bisa ditempuh untuk mengendalikan hawa nafsu adalah, belajar untuk tidak banyak bicara. Apalagi berbicara tentang sesuatu yang tidak banyak membawa manfaat. Dalam salah satu hadits, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah banyak bicara, karena banyak bicara itu akan membuat hati menjadi keras dan beku.” Dalam hadits yang lainnya, beliau melarang orang banyak bicara selain hanya berzikir kepada Allah.
Lidah manusia merupakan wakil dari seluruh anggota tubuh. Apabila lidah mengeluarkan kata-kata yang buruk, maka boleh jadi ia akan membawa dampak yang buruk pada anggota badannya. Misalnya, orang kehilangan tangannya karena salah bicara, kehilangan penglihatan dan pendengaran, lantaran pembicaraannya telah menyakitkan hati orang yang mendengarnya. Atau orang bisa kehilangan nyawanya karena efek dari perkataan yang bernada hinaan kepada orang lain.
Rasulullah sendiri telah menjelaskan, bahwa pada kata-kata itu, terkadang ada perkataan yang dapat mempengaruhi seluruh hidup orang tersebut. Apabila perkataan itu diucapkan dan Allah ridha pada perkataan itu, maka orang tersebut akan memperoleh keridhaan Allah. Sebaliknya, jika perkataan itu diucapkan dan Allah murka, maka orang itu pun akan memperoleh murka Allah. Oleh karena itu, persedikitlah kata-kata. Atau, jangan terlalu banyak bicara. Sebab, aslinya, manusia itu cenderung tak dapat mengontrol kata-katanya, sehingga akan membuka peluang untuk keluarnya perkataan yang dimurkai Allah.
Selain itu, untuk bisa mengendalikan hawa nafsu agar tidak liar adalah dengan cara mempersedikit tidur. Dalam hal ini, mempersedikit tidur yang dimaksud di sini adalah mengurangi waktu untuk tidur --- terutama di malam hari --- dan dimanfaatkan untuk beribadah dan berzikir pada Allah.
Rasulullah SAW menganjurkan agar sepertiga dari waktu malam itu dipergunakan untuk mendirikan salat. Demikian pula nasihat Luqman Al-Hakim kepada anaknya: “Janganlah kamu memperbanyak tidur dan makan. Karena pada hari kiamat nanti, orang yang seperti itu akan datang dalam keadaan miskin dari amal perbuatan yang baik.”
Mudah-mudahan lewat kiat di atas, Allah akan memenangkan niat kita untuk bisa melemahkan hawa nafsu dan memerangi virus al-wahnu. Amin.



















16
Tidak Berlaku
Sombong

Dari Abdullah bin Mas’ud ra berkata: Bersabda Nabi saw :
”Tiada masuk ke surga, siapa yang di dalam hatinya ada seberat dzarrah (atom yang paling kecil) dari sombong.”
(HR. Muslim)


SOMBONG atau dalam bahasa arabnya dikenal dengan istilah takabbur, kata Rasulullah saw adalah perbuatan “menolak hak kebenaran dan merendahkan orang.” Virus ini biasanya akan tumbuh-subur manakala kita membiarkan hati kita dikuasai oleh nafsu ingin selalu menang dan merasa paling benar sendiri. Akibatnya, kita kelak akan mudah terjebak ke dalam sikap hidup suka menganggap remeh orang lain.
Apalagi jika orang lain tersebut, misalnya, secara ideologis, berbeda keyakinannya dengan diri kita. Akibatnya, orang yang telah terjangkiti virus penyakit hati sombong ini merasa jalan yang telah ia tempuh itu seolah-olah adalah jalan yang paling benar sendiri. Sedang jalan yang ditempuh oleh orang lain, sebagai jalan kesesatan. Karena itulah, dalam surat Luqman ayat 18 Allah berfirman:

”Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Qs. 31 : 18)

Apapun alasannya, yang jelas, penyakit hati merasa paling benar sendiri ini, jika dibiarkan hadir pada setiap gerak perilaku kita, bisa berakibat buruk. Yaitu, munculnya penyakit hati baru: fanatisme buta. Kalau sudah seperti itu, dialog dan musyawarah pun akan menjadi buntu. Muara dari jenis penyakit hati ini, gampang untuk ditebak. Yakni, terjadinya konflik fisik yang bernuansa SARA. Ujung-ujungnya, nanti akan saling menumpahkan darah. Akhirnya, bapak nanti akan kehilangan anak, suami kehilangan istri atau sebaliknya. Hubungan silaturahmi pun jadi tercabik-cabik.
Memelihara penyakit hati merasa paling benar sendiri ini, berarti sama halnya dengan menutup peluang bagi adanya keyakinan orang lain untuk tumbuh-kembang. Padahal, sangat boleh jadi, apa yang diyakini orang lain itu, belum tentu salah di hadapan Allah. Begitu pula sebaliknya, apa yang kita yakini terhadap keyakinan orang lain yang kita anggap sesat itu, belum tentu benar-benar sesat dalam penilaian Allah.
Resiko paling buruk dari dampak yang ditimbulkan oleh jenis penyakit hati merasa paling benar sendiri ini adalah: suka mengadili perjalanan ruhani orang lain. Seakan-akan, hanya diri kitalah makhluk yang paling berhak untuk menentukan apakah perjalanan ruhani yang ditempuh oleh orang lain itu benar atau tidak.
Yang jelas, penyakit hati merasa paling benar sendiri ini, biasanya, lebih sering dialami oleh orang yang bekal ilmunya sangat minim. Karena minimnya ilmu itulah, akhirnya ia cenderung berlaku tidak adil dalam memberikan berbagai penilaian. Baik-buruk atau benar-salah gerak makhluk, ditentukan oleh pertimbangan nafsunya. Bukan atas dasar sebuah penelitian atau pengkajian yang komprehensif.
Karena itu, tak heran jika banyak para pejalan ruhani mengatakan, bahwa perjalanan ruhani itu sangat licin. Demikian juga halnya dengan memotret babagan keyakinan orang lain apakah haq atau bathil, juga sangat tipis. Diperlukan kehati-hatian dalam meniti jalan yang sarat dengan berbagai jebakan hawa nafsu ini. Sebab, sedikit saja kita salah dalam meletakkan simpul olahan, maka dapat membuat kita jadi terjerumus ke dalam lubang kesesatan.
Lantaran itulah, para ahlul kasyaf menganjurkan, pejalan ruhani sejati itu sebaiknya tidak perlu repot-repot ngurusi perjalanan ruhani orang lain. Akan lebih baik jika ia menyibukkan diri untuk mengurus jatah perjalanan ruhaninya sendiri. Seorang pejalan ruhani sejati, kata ahlul kasyaf, tidak akan mau ikut campur dalam urusan yang bukan menjadi kewenangannya. Lebih-lebih dengan maksud untuk ‘mengambil peran’ atau ‘menguasai’. Kecuali jika ia telah mendapat amanah khusus dari Allah.
Pejalan ruhani sejati itu akan selalu sadar, bahwa perjalanannya sendiri sesungguhnya berada dalam status pengawasan dan kendali Allah. Karena itu, tidak pada tempatnya jika pejalan ruhani sampai berani mengambil peran Allah. Apalagi bermaksud hendak ‘menguasai’ Allah. Sebab, dirinya sendiri, sesungguhnya telah dan tengah ‘dikuasai’ Allah. Bagaimana mungkin makhluk yang statusnya tengah ‘dikuasai’, akan ‘menguasai’ makhluk lain?
Yang jelas, kata ahlul kasyaf, penyakit hati suka menyepelekan perjalanan orang lain itu seringkali membuat para pejalan ruhani jadi tergelincir. Adapun bentuk lahiriah dari jenis penyakit ini, misalnya, suka menganggap remeh keberadaan seorang makhluk. Atau bisa juga dalam bentuk, misalnya, menganggap amal ibadah yang dilakukan oleh orang lain itu tidak punya bobot di hadapan Allah, hanya karena materi dan aksentuasi ritualnya tidak persis sama dengan apa yang telah ia lakukan. Hampir sebagian besar pejalan ruhani yang fanatik, acapkali ‘tergoda’ untuk mempersoalkan materi, gaya dan gerak ritual yang dilakukan oleh orang lain.
Apalagi, misalnya, materi, gaya dan gerak ritual itu secara diametral nampak saling berseberangan dan agak sedikit tidak umum dalam wacana komunitas ruhani mereka. Penyakit tersebut akan bertambah parah, manakala diikuti dengan munculnya keinginan dalam diri sang pejalan ruhani tersebut untuk ‘memaksa’ atau ‘mewajibkan’ orang lain agar melakukan hal yang sama dengan dirinya. Padahal, orang lain yang ‘dipaksanya’ itu, punya jatah perjalanan ruhani sendiri. Dan oleh sebab itu, dia berhak untuk menolak ajakan atau paksaan orang lain.
Menyepelekan perjalanan orang lain itu, pada hakikatnya, sama dengan telah menyepelekan skenario Allah. Menyepelekan skenario Allah, berarti sama dengan tidak mau mengakui kekuasaan Allah. Resiko dari perbuatan menyepelekan ini sesungguhnya sangatlah berat. Sebab, hal itu sudah bersinggungan dengan masalah ‘hak’ dan ‘kewenangan’ Allah.
Wong Allah saja, menurut Al-Qur’an, tidak pernah menyepelekan makhluk ciptaanNya sendiri. Buktinya, lihat saja, misalnya, bagaimana sikap Allah dalam mengapresiasi setiap amal ibadah yang dilakukan hambaNya. Meski amal kebaikan yang dikerjakan hambaNya itu jika ditimbang hanya seberat biji zarrah, namun Allah tetap menghargainya. Perhatikan saja sabda Nabi saw berikut ini:
Dari Abdullah bin Mas’ud ra berkata: Bersabda Nabi saw : ”Tiada masuk ke surga, siapa yang di dalam hatinya ada seberat dzarrah (atom yang paling kecil) dari sombong.” Maka seorang berkata. Adakalanya seorang itu suka berpakaian bagus. Sabda Nabi saw : ”Sesunguhnya Allah indah dan suka keindahan. Sombong itu ialah menolak hak kebenaran dan merendahkan orang.” (HR. Muslim)
Atau perhatikan juga firman Allah dalam hadis Qudsi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra: Rasulullah saw bersabda : Allah telah berfirman : “Kemuliaan itu pakaikanKu, dan kebesaran itu selendangKu, maka siapa yang menyaingi Aku dalam salah satunya, tentu Aku siksa dia.” (HR. Muslim)
Lalu, pertanyaannya, bagaimana mungkin, kita berani-beraninya menyepelekan orang lain yang sama-sama tengah melakukan perjalanan? Yang jelas, penyakit hati menyepelekan perjalanan orang lain itu muncul karena masih adanya sifat sombong yang melekat dalam hati kita.
Sombong, karena merasa sudah paling baik, paling bagus, paling benar dan paling tahu sendiri. Penyakit sering merasa inilah yang acapkali menipu para pejalan ruhani yang ingin mencari Kebenaran Sejati. Karena itulah, kata ahlul kasyaf, pejalan ruhani sejati itu tidak akan memilih untuk bersikap sombong dalam mengarungi jalan cinta menuju Allah. Dia juga tidak akan memaksa orang lain agar ikut bersamanya. Sebab, dia akan meyakini dengan teguh, bahwa setiap makhluk yang bernyawa itu punya hak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.
Apakah orang lain itu akan beriman atau kafir, kita tidak punya hak untuk melarangnya. Termasuk, apakah ia mau jadi ulama, pastor, pendeta, perampok, pembunuh, pemerkosa atau mau jadi seorang koruptor sekali pun. Manusia bebas menentukan pilihannya sendiri. Pejalan ruhani sejati juga tidak akan mau terjebak atau menjebak dirinya sendiri ke dalam penyakit hati: menyepelekan perjalanan orang lain. Pejalan ruhani sejati justru selalu menghormati dan menghargai semua makhluk ciptaanNya, tanpa reserve.
Apalagi makhluk tersebut statusnya sama-sama tengah melakukan perjalanan ruhani. Karena itu, kita perlu berjuang ekstra keras untuk menghindari virus penyakit sombong ini. Sebab, menurut ahlul kasyaf, tak layak seorang makhluk untuk bersikap sombong kepada sesama makhluk. Apalagi berbuat sombong kepada Al-Khaliq. Apa istimewanya kita, sehingga menganggap pantas untuk berbuat sombong? Memangnya siapa diri kita sehingga merasa pantas untuk bersikap sombong?
Kanjeng Nabi saw sendiri pernah dhawuh, bahwa Allah telah berjanji, Dia tidak akan memberi tempat dan ruang di surga untuk orang yang di dalam hatinya ada kesombongan. Bayangkan, Gusti Allah tidak berkenan. Selain itu, ketika orang yang di dalam hatinya ada kesombongan itu telah menghadap Tuhan Yang Sebenarnya, kata Sayyidil Mursalin Rasulullah SAW, kelak Allah tidak mau melihatnya. Yang demikian itu adalah balasan untuk orang-orang yang memelihara virus penyakit sombong di hatinya. Apalagi Allah telah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 23 :
”Tidak diragukan lagi, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.”
Jika Allah dan RasulNya telah menegaskan sikap bahwa Ia tidak menyukai orang-orang yang berlaku sombong, lalu mengapa kita malah memilih untuk berlaku sombong kepada sesama dan kepadaNya? Tidak malukah kita kepadaNya?




17
Tidak
Tergesa-gesa

“Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. Kelak akan Aku perlihatkan kepadamu tanda-tanda azabKu. Maka janganlah kamu minta kepadaKu mendatangkannya dengan segera.”
(Qs. 21 : 37)


PADA dasarnya, tabiat manusia itu suka tergesa-gesa. Ada masalah sedikit saja, ia langsung panik dan lupa pada yang memberi masalah. Yaitu, Allah, Tuhan Yang Sebenarnya. Apalagi jika ia belum bisa menemukan jalan keluar dari masalah yang sedang dihadapinya, maka hidup di dunia pun akhirnya jadi serba tergopoh-gopoh. Seakan-akan, kehidupan di muka bumi ini bakal segera berakhir. Itulah tabiatnya manusia, seperti yang telah difirmankanNya dalam surat Al-Anbiyaa’ ayat 37:
“Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. Kelak akan Aku perlihatkan kepadamu tanda-tanda azabKu. Maka janganlah kamu minta kepadaKu mendatangkannya dengan segera.”
Demikian juga halnya di dalam surat Al-Israa’ ayat 11, Allah telah berfirman:


”Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.”

Berkaitan dengan tabiat manusia yang suka tergesa-gesa itu, Rasulullah saw juga pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah lunak, suka pada kelunakan dan memberi karena kelunakan dan ketenangan apa-apa yang tidak didapat dengan kekerasan dan tergesa-gesa.” (HR. Muslim)

Yang jelas, tergesa-gesa itu adalah pekerjaannya setan. Dan barang siapa yang hidupnya diliputi dengan ketergesa-gesaan, maka berarti ia telah berteman dengan setan. Karena memang begitulah pekerjaannya setan. Ia sangat senang sekali jika ada manusia hidup dalam ketergesa-gesaan. Pasalnya kenapa? Karena, di balik ketergesa-gesaan itu, sesungguhnya tersembunyi sebuah rencana licik dari setan yang mengarah ke upaya untuk melupakan Allah sebagai Zat yang menguasai kehidupan ini.
Mengapa ketergesa-gesaan itu bisa membuat kita menjadi lupa kepada Allah Azza wa Jalla? Karena, jika kita hidup serba tergesa-gesa, bisa membuat pikiran kita menjadi beku dan hati kita menjadi buntu. Akibatnya, kita jadi lupa bahwa sesungguhnya Allah adalah Zat yang menguasai hati dan pikiran kita. Bahkan yang menguasai hidup dan matinya kita di dunia ini.
Ujung-ujungnya, jika kita sudah terjangkiti penyakit hati tergesa-gesa ini, kita kelak akan menjadi gampang cemas, takut, was-was dan serba khawatir. Puncak dari virus penyakit hati tergesa-gesa ini adalah, munculnya penyakit prasangka buruk (su’uzh zhann) kepada Allah dan makhlukNya. Karena itulah, Allah SWT kemudian berfirman di dalam surat Al-A’raaf ayat 201:


“Sesungguhnya, orang-orang yang bertakwa itu, bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.”
Firman Allah dalam surat Al-A’raaf ayat 201 tersebut menggambarkan dengan jelas, bahwa bersikap tergesa-gesa dalam hidup itu bisa membuat kita jadi lupa kepada Allah. Jika kita sampai lupa pada Allah, maka otomatis kita nanti akan lupa pada kesalahan yang telah kita lakukan. Jika kita lupa pada Allah dan pada kesalahan yang pernah kita lakukan, maka itu berarti kita telah termasuk ke dalam golongan orang-orang yang merugi.
Lantaran itu jugalah, Allah mengingatkan manusia untuk selalu berhati-hati dalam menjalani kehidupan di muka bumi ini. Sebab, di balik kehati-hatian itu, ada tiga hal yang bakal kita peroleh. Yaitu, pertama, pengetahuan tentang apa yang akan dilakukan oleh manusia. Kedua, mendapat pengamalan dari apa yang diketahuinya. Dan ketiga, mendapat pengetahuan tentang apa yang tidak diketahuinya.
Jika ketiga hal tersebut sudah didapat oleh manusia, maka cepat atau lambat, ia akan mengetahui bahwa akar dari kehati-hatian itu terdapat pada rasa takutnya seseorang akan adanya akibat ketika ia mengetahui bahwa ia telah sepenuhnya mencapai pematangan pada awalnya. Yang jelas, bersikap hati-hati itu adalah ciri dari orang-orang yang mempunyai kesucian dan pengetahuan.
Lewat kesucian dan pengetahuannya itulah, manusia bisa melakukan penolakan untuk bersikap tergesa-gesa. Dengan pengetahuan, manusia bisa menyusun rencana dan melakukan amal kebajikan. Barang siapa yang bisa menggabungkan antara sikap hati-hati dan kesucian dengan pengetahuannya, maka insya Allah ia akan terbebas dari kecemasan, ketakutan dan kekhawatiran.















18
Suka Shadaqah

Dalam kitab Durratun Nasihin karya Syeikh ‘Utsman
bin Hasan bin Ahmad Asy-Syaakir Alkhaubawiyyi
diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Orang yang kikir itu, tidak akan masuk surga,
meskipun dia seorang zahid
(orang yang meninggalkan urusan dunia karena kesibukan beribadah)”


ASLINYA, memberi itu adalah sifatnya Allah Azza wa Jalla. Sebab, hanya Allah Yang Maha Kaya. Dia-lah yang memiliki semua asset kehidupan yang ada di jagad semesta ini. Dengan kekuasaan yang berada ditanganNya, Dia mengatur semua komponen kehidupan di alam jagad raya ini agar tidak saling bertabrakan. Dan dengan kemurahanNya, Dia mengaruniai berbagai kenikmatan untuk semua makhluk.
Dia-lah Allah, Tuhan Yang Sebenarnya. Tak ada satu pun makhluk yang bisa menandingi kekuasaan dan kemurahanNya. Termasuk, tak ada satu pun makhluk yang bisa berbuat sesuatu tanpa adanya pertolongan dan kemurahan dariNya. Cinta dan kasih sayangNya kepada semua makhluk, jauh lebih besar daripada kemarahanNya.
Karena itu, lewat surat surat Al-Baqarah ayat 115, Allah berfirman:


”Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Luas (rahmatNya) lagi Maha Mengetahui.”

Bahkan, dalam surat yang sama, pada ayat 255, Allah SWT kembali menegaskan eksistensinya pada manusia dengan berfirman:


”Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhlukNya); tidak mengantuk dan tidak tidur. KepunyaanNya apa yang ada di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izinNya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendakiNya. Kursi (ilmu dan kekuasaan) Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Qs. 2: 255)
Kedua ayat di atas menggambarkan dengan jelas, betapa besarnya kekuasaan Allah SWT atas kehidupan di jagad semesta ini. Karena itu, tidak pada tempatnya jika seorang makhluk memilih untuk bersikap kikir, pelit dan bakhil, sementara ia punya kedudukan dan jabatan yang tinggi, punya ilmu yang luas serta punya harta yang melimpah.
Sungguh menyedihkan sekali, jika manusia dengan apa-apa yang telah dimilikinya itu, tak mau berbagi dengan orang-orang yang tidak punya kemampuan. Sementara, mereka tahu, bahwa Nabi saw pernah bersabda:
”Barang siapa mempunyai harta, supaya bershadaqah dengan hartanya. Barang siapa mempunyai ilmu, supaya bershadaqah dengan ilmunya. Dan barang siapa mempunyai kekuatan, supaya bershadaqah dengan kekuatannya.” (HR. Jaami’ul Azhaari)
Apalagi dalam surat Al-Baqarah ayat 261, Allah SWT juga telah berfirman:


”Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui.”

Begitu tingginya perhatian Allah Azza wa Jalla terhadap orang-orang yang mau membelanjakan harta kekayaannya di jalan Allah. Sampai-sampai Allah berjanji akan melipat gandakan amal kebajikan hambaNya yang memilih jalan shadaqah hingga tujuh ratus kebajikan. Bahkan, dalam sebuah riwayat dari Anas ra, Rasulullah saw bersabda:

Ketika Allah telah menciptakan bumi, dan bumi selalu bergerak, maka Allah menciptakan gunung-gunung dan menancapkannya di atas bumi, sehingga menjadi berhentilah bumi itu (tidak bergerak-gerak lagi). Maka, kagumlah para malaikat serta berkata: “Ya Tuhanku, apakah ada dari makhlukMu yang lebih hebat dari gunung-gunung itu?” Allah menjawab: “Ya, ada. Yaitu besi.”

Para malaikat bertanya: “Apakah ada dari makhlukMu yang lebih hebat dari besi?” Allah menjawab: “Ya, ada. Yaitu api.” Para malaikat pun bertanya lagi: “Apakah ada dari makhlukMu yang lebih kuat dari api?” Allah menjawab: ”Ya, ada. Yaitu, air.” Para malaikat bertanya lagi: ”Apakah ada dari makhlukMu yang lebih hebat daripada air?” Allah menjawab: ”Ya, ada. Yaitu angin.”

Para malaikat kemudian bertanya lagi: ”Apakah ada dari makhlukMu yang lebih hebat daripada angin?” Allah menjawab: ”Ya, ada. Yaitu, anak keturunan Adam, yang memberi suatu derma (shadaqah) dengan tangan kanannya dan merahasiakan dermanya itu dari tangan kirinya. Maka, dia lebih hebat daripada angin.”

Hadis Nabi saw yang terdapat di dalam kitab Durratun Nasihin yang mengupas babagan tentang keutamaan memberikan shadaqah karya Syeikh ‘Utsman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syaakir Alkhaubawiyyi itu, mengisyaratkan pada kita, betapa dahsyatnya fadhal Allah untuk orang-orang yang melakukan amal shadaqah di jalanNya dengan ikhlas. Amal kebajikan itu digambarkan Allah bisa ’mengalahkan’ kecepatan angin.
Dalam kesempatan yang berbeda, Nabi saw juga pernah dhawuh:

”Derma itu, jika sudah keluar dari tangan pemiliknya, maka ia akan berkata dengan lima (5) kalimat: (1) Semula aku adalah kecil, maka engkau telah membesarkanku, (2) semula engkau adalah penjagaku, maka sekarang aku jadi penjagamu, (3) Semula aku adalah musuhmu, maka sekarang engkau mencintaiku, (4) Aku adalah sesuatu yang punah, maka engkau jadikan aku sesuatu yang kekal, (5) Aku adalah bilangan sedikit, maka engkau jadikan aku jumlah bilangan yang banyak.”

Yang jelas, kata Nabi saw, ”Orang yang dermawan itu, dekat dengan kebenaran dan dekat dengan sesama makhluk. Sedang orang yang kikir itu, jauh dari kebenaran dan jauh dari sesama makhluk.” Sabda Rasulullah saw ini mengisyaratkan dengan jelas, bagaimana kedudukan orang-orang yang suka bershadaqah di jalan Allah. Rasul menggambarkannya dekat dengan kebenaran dan dekat dengan sesama makhluk. Itu berarti, barang siapa yang memilih shadaqah di jalan Allah, maka insya Allah, ia kelak akan dekat dengan Allah SWT.
Sebaliknya, kata Rasul saw, “Orang yang kikir itu, tidak akan masuk surga, meskipun dia seorang zahid (orang yang meninggalkan urusan dunia karena kesibukan beribadah)” Sebegitu seriusnya persoalan shadaqah ini, sampai-sampai Rasul saw mengatakan, seorang yang zahid sekalipun, jika ia kikir, maka ia nanti akan ditolak untuk masuk surgaNya.






















19
Berbakti Pada
Kedua Orangtua

Rasulullah saw telah bersabda:
” ... amal yang lebih disukai Allah adalah berbakti pada orangtua,
dan jihad fii sabiilillaah.” (HR. Bukhari – Muslim)


BERBAKTI kepada kedua orangtua, bukanlah perkara yang mudah. Apalagi bagi seorang anak yang hidup di abad yang lebih banyak mengandalkan akal dan nafsunya daripada hati nuraninya. Sungguh, bukanlah perkara yang ringan. Di tengah kesibukannya sehari-hari dalam mengarungi kehidupan di muka bumi, manusia diperintah untuk tetap berbakti kepada kedua orangtuanya.
Tidak peduli bagaimana kondisi sang anak pada saat itu, yang jelas, dalam setiap kesempatan dan keadan, Allah dan RasulNya tetap memerintahkan manusia untuk selalu berbakti kepada kedua orangtuanya. Sebab, tanpa kedua orangtuanya, tidak mungkin seorang anak bisa lahir di muka bumi ini. Karena itu, berbakti pada orangtua dalam agama Islam merupakan masalah serius.
Apalagi di dalam surat Al-Israa’ ayat 23, Allah sendiri telah berfirman:


“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia. Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah". Dan janganlah kamu membentak mereka. Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”

Firman Allah dalam surat Al-Israa’ ayat 23 tersebut, merupakan pedoman pokok tentang amal kebajikan seorang anak terhadap orangtuanya. Jika amal kebajikan itu dilaksanakan dengan baik, maka insya Allah akan mendatangkan kesenangan Allah SWT.
Amal perbuatan yang dimaksud, yaitu: (1) Jangan menyembah selain Dia; (2) Berbuat baik pada orangtua dengan sungguh-sungguh, lahir dan batin, hingga usianya lanjut; (3) Jangan mengatakan sesuatu (”ah”) yang dapat membuat hati orangtua jadi terluka; (4) Jangan membentak dan (5) Berbicaralah yang sopan. Karena Allah memang sangat senang pada hambaNya yang tahu sopan-santun (adab).
Sebegitu pentingnya soal berbakti kepada orangtua ini, sampai-sampai Rasulullah saw bersabda: ”Barang siapa yang menjadikan kedua orangtuanya rela, maka dia telah menjadikan Allah rela pula. Dan barang siapa yang menjadikan kedua orangtuanya marah, maka dia telah menjadikan Allah murka pula.”
Bahkan, di dalam kitab At-Tanbiihi disebutkan, bahwa Nabi saw pernah ditanya oleh sahabat: ”Amal apakah yang paling utama?” Nabi saw menjawab: “Salat pada waktunya, berbuat baik kepada kedua orangtua, dan kemudian berjihad di jalan Allah.”
Kemudian diterangkan juga perihal tiga ayat yang diturunkan berangkai dengan tiga persoalan pada manusia, yang tidak diterima satu perkara dengan mengesampingkan perkara yang lain. Yaitu:

Pertama, aqiimush shalaata wa aatuz zakaata, ”kerjakan salat dan tunaikanlah zakat.” Barang siapa mengerjakan salat dan tidak menunaikan zakat, maka salatnya tidak diterima.

Kedua, athii’ullaaha wa athii’ur rasuula, ”ta’atlah kamu sekalian kepada Allah dan RasulNya.” Barang siapa ta’at kepada Allah dan tidak ta’at kepada RasulNya, maka keta’atannya kepada Allah tidak diterima.

Ketiga, anisy kur lii wa liwaalidaika, ”hendaklah engkau bersyukur kepadaKu dan kepada kedua orangtuamu.” Barang siapa bersyukur kepada Allah dan tidak bersyukur kepada kedua orangtuanya, maka Allah tidak menerima kesyukurannya.
Berikut ada sebuah kisah yang cukup menarik untuk kita renungkan tentang sikap seorang anak pada ibunya dan bagaimana sikap sang ibu kepada anaknya. Kisah ini kami temukan dalam sebuah lembaran dakwah di salah satu rumah Allah. Judulnya, Gratis Sepanjang Masa.
Suatu sore, seorang anak menghampiri ibunya di dapur. Kemudian, anak tersebut menyerahkan selembar kertas yang telah ditulisinya. Setelah sang ibu mengeringkan tangannya dengan celemek, lalu ia membaca isi tulisan itu. Dan inilah isinya:

Untuk memotong rumput, dua ribu rupiah;
Untuk membersihkan kamar tidur, seribu rupiah;
Untuk pergi ke toko disuruh ibu belanja, lima ratus rupiah;
Untuk menjaga adik waktu ibu belanja, lima ratus rupiah;
Untuk membuang sampah, seribu rupiah;
Untuk nilai raport yang bagus, tiga ribu rupiah;
Untuk membersihkan dan menyapu halaman, lima ratus.
Jadi, jumlah UTANG IBU = DELAPAN RIBU LIMA RATUS RUPIAH.

Sang ibu memandangi anaknya dengan penuh harap. Berbagai kenangan terlintas dalam benak sang ibu. Kemudian ia mengambil pulpen dan membalikkan kertasnya. Lalu ia menulis:

Untuk sembilan bulan ibu mengandung kamu, Gratis;
Untuk semua malam ibu menemani kamu, Gratis;
Untuk mengobati kamu dan mendo’akan kamu, Gratis;
Untuk semua saat susah dan air mata dalam mengurusmu, Gratis;
Untuk seluruh jumlah harga cinta ibu adalah Gratis;
Anakku … seandainya kamu menjumlahkan semuanya, akan kamu dapati, bahwa seluruhnya adalah GRATIS.

Seusai membaca apa yang ditulis ibunya, sang anak pun berlinang air mata. Kemudian sang anak menatap wajah ibunya. Ia berkata: “Bu, aku sayang sekali sama ibu.” Lalu anak itu mengambil pulpen dan menulis sebuah kata dengan huruf capital. “LUNAS”

Dari kisah di atas, kita bisa melihat bagaimana besarnya kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Lebih dari itu, kita juga bisa melihat bagaimana besarnya kasih sayang Allah kepada sang ibu dan anaknya. Dengan hanya menggerakkan sang ibu untuk menulis kata GRATIS di atas secarik kertas, bisa membuat hati sang anak menjadi luluh. Subhanallaah.
Pertanyaannya sekarang ialah, bagaimana caranya supaya kita tetap bisa berbakti kepada kedua orangtua dalam segala keadaan? Menurut para ahlul kasyaf, jika kita ingin berbakti pada orangtua dalam setiap keadaan, maka ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan. Yaitu:
Pertama, kita harus selalu mengingat tentang kedudukan orangtua kita sebagai ’jembatan’ bagi turunnya ridha Allah. Dengan selalu ingat tentang ’kedudukan’ tersebut, insya Allah, bisa menjadi ’rem’ yang baik untuk kita bersikap hati-hati kepada kedua orangtua. Kedua, kita harus selalu mengenang kebaikan dan kasih sayang orangtua pada diri kita. Di mana, dari sejak kecil hingga dewasa --- bahkan sampai kita sudah punya anak --- kebaikan dan kasih sayang orangtua pada diri kita masih terus mengalir. Pantaskah jika kita bersikap tidak baik kepada orangtua?
Ketiga, kita harus selalu mengingat-ingat bagaimana besarnya perhatian orangtua ketika kita dalam kondisi sakit dan tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya karena ingin membuat kita (sang anak) menjadi tenang hidupnya, orangtua rela tidak tidur dan tidak makan demi kita. Sampai hatikah kita bersikap kurangajar kepada orangtua yang telah melahirkan kita? Keempat, kita harus mau belajar mensyukuri terpilihnya kita menjadi anak dari orangtua kita yang ada sekarang ini. Tanpa mereka berdua, tidak mungkin kita bisa ujug-ujug lahir di muka bumi ini.
Kelima, kita harus selalu berusaha belajar mencari senangnya hati orangtua. Artinya, setiap kali kita akan melakukan perbuatan, yang harus kita jadikan sebagai pedomannya adalah, apakah perbuatan tersebut akan mendatangkan rasa senang pada hati orangtua kita atau sebaliknya, bakal membuat mereka jadi sedih?
Barangsiapa yang bisa mengamalkan lima (5) langkah tersebut, ujar ahlul kasyaf, maka insya Allah, ia akan selamat dari perbuatan durhaka kepada kedua orangtuanya. Yang jelas, menurut salah seorang ahli fiqih, yaitu Abu Laitsi, sebagaimana dikutip oleh Syeikh ‘Utsman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syaakir Alkhaubawiyyi di dalam kitabnya yang berjudul Durratun Nasihin, mengatakan:
”Sesungguhnya, Allah telah menyebutkan di dalam kitab Taurat, Injil, Zabur dan kitab Furqan/Al-Qur’an dan di dalam semua kitabNya, bahwa Dia telah memerintahkan di dalam kesemuanya, dan telah memberi wahyu kepada semua utusanNya, bahwa kerelaanNya itu tergantung dengan kerelaan dua orangtua dan murkaNya tergantung kepada kemarahan kedua orangtua.”
Lantaran sangat pentingnya bagi seorang anak berbakti kepada kedua orangtuanya itulah, Rasulullah saw kemudian bersabda: ” ... amal yang lebih disukai Allah adalah berbakti pada orangtua, dan jihad fii sabiilillaah” (HR. Bukhari – Muslim). Pertanyaannya sekarang ialah, tidak inginkah kita disukai dan disenangi oleh Allah SWT? Semoga, dengan sebab kemurahanNya, kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang menerima kenikmatan besar seperti yang telah Dia firmankan dalam surat Al-Muthaffifin ayat 22:
“Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar (surga)”















20
Tidak Menghardik
Anak Yatim & Fakir Miskin

”Dan kamu tidak bakalan mampu (menempuh jalan itu),
kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(Qs. Al-Insaan : 30)


MENGHARDIK adalah membentak atau mencaci-maki. Perbuatan membentak atau mencaci-maki ini, biasanya muncul karena adanya sesuatu perbuatan atau perilaku yang tidak kita senangi pada orang lain yang telah membuat kita akhirnya menjadi tidak suka. Terlepas apakah orang lain yang melakukan perbuatan atau perilaku tersebut dalam kondisi sedang senang atau lagi susah.
Yang jelas, perbuatan menghardik itu biasanya lebih banyak muncul pada orang yang melihat gerak orang lain. Di mana, orang yang melihat, acapkali menganggap perbuatan tersebut adalah perbuatan yang tidak menyenangkan, sehingga karenanya ia lalu menghardik orang yang telah membuatnya menjadi tidak netral itu.
Aslinya, jika kita betul-betul bisa meresapi dan menghayati kalimat laahaula walaa quwwata illaa billahil ‘aliyyil ‘azhiim, (sesungguhnya tak ada daya dan upaya pada diri manusia untuk bisa melakukan apapun di dunia ini, kecuali berasal dari Allah), maka seharusnya kita tidak perlu muring-muring atau menghardik orang lain, jika misalnya ia melakukan sesuatu perbuatan yang ‘tidak menyenangkan’ di hadapan kita. Pasalnya kenapa?
Karena, orang yang --- kita anggap telah melakukan --- perbuatan ’tidak menyenangkan’ itu, aslinya, ketika ia melakukan perbuatan tersebut, ia sepenuhnya berada dalam kekuasaan Allah. Sehingga, tidak pada tempatnya jika kita harus muring-muring pada orang lain. Lebih-lebih untuk membentak atau menghardiknya. Sebab, kita bentak atau tidak kita bentak sekalipun, jika Allah SWT menghendakinya untuk berbuat seperti itu, maka tidak ada satu makhluk pun yang dapat menghentikannya.
Karena itu, dalam surat Al-Insaan ayat 30, Allah Azza wa Jalla telah berfirman:


”Dan kamu tidak bakalan mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Kata ‘dikehendaki’ Allah dalam ayat di atas, lebih dari cukup untuk menunjukkan kepada kita tentang betapa sangat tegasnya posisi Allah Rabbul ’Izzati atas kehidupan ini. Lewat kekuasaan dan kehendakNya-lah, Allah mengijinkan dan menggerakkan makhlukNya untuk berbuat apa saja yang Dia inginkan. Karena itu, sungguh merugilah orang-orang yang tidak terima jika ada makhluk lain berbuat sesuatu, sedang Allah justru menghendakiNya untuk melakukan perbuatan tersebut.
Mengapa disebut merugi? Karena, orang yang suka menghardik itu, berarti ia tidak kenal dengan Zat yang telah menggerakkan dan menguasai makhluk tersebut. Sebab, kalau ia betul-betul kenal dengan Zat yang telah menggerakkan makhluk lain itu untuk melakukan sesuatu perbuatan, maka niscaya ia tidak akan berani untuk menghardik. Pasalnya kenapa? Karena, jika kita menghardik orang lain, berarti sama halnya dengan kita telah menghardik Zat yang telah menguasai dan menggerakkan makhluk tersebut. Yaitu Tuhan Yang Sebenarnya.
Karena perbuatan menghardik makhluk itu sama artinya dengan menghardik Allah SWT, maka para ahlul kasyaf mengingatkan kita agar berhati-hati dalam menyikapi situasi yang tengah terjadi di sekitar kita. Apalagi dalam menyikap anak yatim dan fakir miskin. Perlu ekstra hati-hati, kata ahlul kasyaf. Sebab, perbuatan menghardik anak yatim dan fakir miskin itu, termasuk ke dalam kategori mendustakan agama, sebagaimana yang telah difirmankanNya dalam surat Al-Maa’uun ayat 1-3:

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.“

Peringatan yang keras juga disampaikan Allah dalam surat Adh-Dhuhaa ayat 9-10:


“Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya.”

Pertanyaannya sekarang ialah, mengapa Allah melarang hambaNya menghardik anak yatim dan fakir miskin? Karena, menurut ahlul kasyaf, perbuatan menghardik itu adalah cermin dari sikap sombong. Jadi, jika kita menghardik anak yatim dan fakir miskin, berarti saat itu kita telah bersikap sombong. Sementara kita tahu, dalam berbagai riwayat disebutkan, bahwa Allah SWT sangat tidak suka pada orang-orang yang berlaku sombong. Simak saja firman Allah dalam surat An-Nisaa’ ayat 36-37 berikut ini:


”Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. Yaitu, orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikanNya kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan.”

Bahkan, Rasulullah saw sendiri telah mengingatkan umatnya agar jangan berbuat jahat kepada sesama makhluk Allah. Perhatikan saja bagaimana isi hadis dari Abu Hurairah ra berikut: Rasulullah saw bersabda: ”Cukup bagi seseorang menjadi jahat, jika ia menghina saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim)
Mudah-mudahan, dengan sebab kemurahanNya, kita diselamatkan dari perbuatan yang tercela. Yaitu, menghardik anak yatim dan fakir miskin. Allahumma amin.
















21
Memuliakan Tamu

Rasulullah saw bersabda:
” ... Siapa yang iman kepada Allah dan hari kiamat,
hendaklah ia menghormati tamunya ...”
(HR. Bukhari – Muslim)


HANYA orang mulia yang bisa memuliakan tamu, dan hanya orang yang pernah mendapat kemuliaan sajalah yang bisa memuliakan makhluk lain. Mengapa demikian? Karena, untuk memuliakan tamu itu bukanlah perkara yang gampang. Apalagi memuliakan tamu dalam arti yang sebenarnya. Yaitu menghormati tamu yang datang ke rumah kita tanpa membeda-bedakan. Sungguh, yang demikian itu tidaklah mudah.
Karena itulah, Sayyidul Mursalin Sayyidina Rasulullah saw menganjurkan kita untuk bersungguh-sungguh dalam memuliakan tamu yang datang ke rumah kita. Sebab, memuliakan tamu itu merupakan salah satu amal kebajikan yang sangat disenangi oleh Allah SWT dan RasulNya. Sehingga, siapa saja yang melakukan amal kebajikan itu dengan tulus-ikhlas, maka ia kelak akan mendapat hadiah kemuliaan dari Allah dan RasulNya.
Perhatikan saja sabda Rasulullah saw berikut ini: ”Barang siapa menghormati tamu, maka sungguh dia telah menghormati saya. Dan barang siapa menghormati saya, maka sungguh dia telah menghormati/memuliakan Allah. Dan barang siapa telah menjadikan kemarahan tamu, maka sungguh dia telah menjadikan kemarahan saya. Dan barang siapa menjadikan kemarahan saya, sesungguhnya dia telah menjadikan murka Allah.”
Begitu tingginya derajat memuliakan tamu, sampai-sampai orang yang melakukan amal kebajikan itu, dikatakan oleh Nabi saw, kedudukannya sama saja dengan telah memuliakan Nabi saw. Begitu pula sebaliknya, ujar Nabi saw, barang siapa telah menjadikan kemarahan tamu, maka sungguh dia telah menjadikan kemarahan saya.
Pertanyaannya ialah, mengapa kita harus memuliakan tamu? Ada beberapa pertimbangan secara ’aqli yang dapat kita jadikan sebagai acuan bagi kita dalam memahami anjuran untuk memuliakan tamu. Pertama, sebab tamu itu adalah makhluk Allah. Karena makhluk Allah itulah, maka sudah seharusnyalah jika setiap umat manusia berlomba-lomba untuk menghormati dan memuliakan sesama makhluk Allah.
Kedua, karena tamu itu telah menempuh perjalanan, dan dengan izin Allah ia menuju ke rumah kita. Terlepas dari apa alasan dan tujuannya datang ke rumah kita, yang jelas, ia telah meluangkan waktunya untuk menuju ke rumah kita. Hal itu sudah cukup menjadi alasan sehingga kita perlu memuliakannya.
Ketiga, karena kedatangan tamu itu adalah atas kehendak Allah. Perbuatan memuliakan tamu pada dasarnya merupakan tanda keikhlasan kita dalam menerima kehendak Allah tersebut. Tanpa memperdulikan apapun motif dan maksud dari kedatangan sang tamu ke rumah kita.
Oleh karena itu, tak heran jika di kalangan dunia sufi, dikenal ada kisah seorang ahli sufi yang rumahnya dimasuki oleh pencuri. Namun, sang pencuri tidak menemukan apapun di dalam rumah itu. Tatkala ia akan beranjak keluar dari rumah sang ahli sufi, tuan rumah memanggilnya dan memberinya sekerat roti. Sang pencuri bingung. Namun sang tuan rumah membuyarkan kebingungannya seraya berkata, ”Siapapun yang datang bertamu ke rumah ini, tak boleh pergi tanpa membawa sesuatu apapun.”
Kisah tersebut merupakan pelajaran bagi kita semua tentang pentingnya menghormati tamu. Kita tidak perlu terpaku pada niat atau maksud kedatangan sang tamu. Melainkan kita hanya diwajibkan untuk menghormati dan memuliakan sang tamu tersebut sebagai sesama makhluk Allah.
Di samping alasan secara ’aqli, Rasulullah saw sendiri pernah memberikan alasan yang cukup kuat, sehingga kita perlu menghormati tamu (alasan secara naqli). Yaitu bahwa, tamu itu datang ke rumah kita dengan membawa berkah dan rahmat Allah yang banyak. Sebagaimana sabda beliau saw: ”Sesungguhnya, tamu itu, bilamana masuk ke rumah seorang mukmin, maka dia bersama dengan seribu berkah dan seribu rahmat.”
Bahkan dalam kitab Kanzul Akhbaari disebutkan, bahwa Rasulullah saw telah bersabda:

”Malaikat Jibril memberitahu kepada saya: Sesungguhnya tamu itu bilamana mengunjungi saudaranya muslim, maka dia datang dengan membawa seribu berkah dan seribu rahmat. Dan Allah mengampuni dosa-dosa penghuni rumah itu, meskipun dosa-dosanya lebih banyak daripada buih yang ada di laut dan lebih banyak dari daun pohon-pohonan. Allah memberi kepadanya pahala seribu orang yang mati syahid. Dan Allah mencatat baginya tiap-tiap suapan yang dimakan oleh tamu akan pahala haji yang mabrur dan umrah yang diterima. Bahkan Allah membangunkan baginya sebuah kota di dalam surga. Dan barang siapa memuliakan tamu, maka seakan-akan dia telah memuliakan tujuh puluh nabi.”
Subhanallaah, Maha Suci Allah. Begitu Maha Pemurahnya Allah, sehingga barang siapa yang memuliakan tamu karena mengharap ridhanya, maka dosa-dosanya bakal diampuni Allah dan ia bakal mendapat ganjaran pahala berupa seribu orang yang mati syahid. Bahkan, Allah tak segan-segan untuk mencatat perbuatan orang yang memuliakan tamu itu tak ubahnya seperti orang yang ibadah haji dan umrahnya diterima Allah.
Pendek kata, di akhirat kelak, Allah akan membalas kebaikan bagi orang yang memuliakan tamu yang datang ke rumahnya itu dengan membangunkan sebuah kota di dalam surga. Bayangkan, Allah akan membangunkan sebuah kota di dalam surga. Yang demikian itu dilakukan oleh Allah, tidak lain adalah, sebagai bentuk balasan dari Allah untuk orang-orang yang memuliakan tamu. Sebab, orang yang memuliakan tamu itu, kata Rasulullah saw, kedudukannya sama saja ia telah memuliakan tujuh puluh orang nabi.
Lantaran itulah, dalam sebuah kesempatan, Rasulullah saw bersabda kepada para sahabatnya: ”Tidak seorang pun yang dikunjungi oleh tamu, kemudian dia memuliakannya, kecuali Allah membukakan baginya sebuah pintu surga.” Atau dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Bukhari – Muslim, Rasulullah saw juga pernah bersabda: ” ... Siapa yang iman kepada Allah dan hari kiamat, hendaklah ia menghormati tamunya ...” (HR. Bukhari – Muslim).
Dari hadis tersebut di atas, mengisyaratkan dengan tegas pada kita, bahwa barang siapa yang tidak mau memuliakan tamu yang datang ke rumahnya, maka berarti ia tidak punya iman kepada Allah dan hari akhir. Dan orang yang tidak punya iman kepada Allah dan hari akhir itu, maka ia kelak mendapat siksa yang pedih, seperti yang disabdakan Nabi saw berikut ini:

”Tiada seorangpun yang kedatangan tamu, maka dia menghormatinya dan menghidangkan makanan dari apa yang ada, kecuali dibukakan oleh Allah baginya sebuah pintu di dalam surga. Dan barang siapa meramaikan tempat tempat yang kosong, yakni memberikan makan kepada orang yang lapar, maka pastilah baginya jaminan surga. Barang siapa enggan memberikan makan kepada orang yang lapar, maka Allah menjauhkan fadhal dari padanya besok di hari kiamat. Bahkan akan menyiksanya di dalam neraka. Barang siapa memberi makan kepada orang yang lapar dengan ikhlas karena Allah, maka pastilah baginya jaminan surga.”







22
Berdo’a Secara
Sembunyi-sembunyi

Rasulullah saw bersabda:
”Do’a seorang muslim untuk saudaranya di luar pengetahuan yang dido’akan, itu adalah do’a yang mustajab. Di atas kepala orang yang berdo’a itu, ada malaikat yang ditugaskan supaya tiap ia berdo’a baik untuk saudaranya itu supaya disambut: amin walaka bimitslin
(semoga diterima dan untukmu sendiri seperti itu).”
(HR. Muslim)


MENDO’AKAN baik untuk orang yang pernah berbuat baik kepada diri kita, itu sudah sewajarnya dilakukan. Tapi, mendo’akan kebaikan untuk orang yang pernah berbuat jahat kepada diri kita, itulah yang disebut dengan akhlaqul karimah. Disebut sebagai akhlaqul karimah karena, perbuatan yang demikian itu, sungguh sangat sulit untuk dilakukan. Apalagi terhadap orang yang pernah berbuat jahat kepada diri kita.
Hanya orang-orang yang punya hati bersih sajalah yang bisa melakukannya. Pasalnya kenapa? Karena, orang yang hatinya bersih, tidak akan pernah melihat kejelekan orang lain itu sebagai kejelekan an-sich. Tapi, dia akan melihat dan memaknai kejelekan yang dilakukan oleh orang lain pada dirinya itu sebagai sebuah cermin untuk berkaca diri (introspeksi). Ada apakah pada diri saya, sehingga Allah menggerakkan makhlukNya untuk berbuat tidak baik pada diri saya?
Yang jelas, ajaran mendo’akan kebaikan untuk makhluk yang pernah berbuat tidak baik kepada diri kita itu, merupakan aplikasi dari ajaran Sayyidul Mursalin Sayyidina Rasulullah SAW --- semoga Allah tak pernah melepaskan kemanjaanNya untuk beliau, keluarga, kerabat, sahabat dan umatnya hingga akhir zaman nanti --- ketika pada awal-awal beliau menyebarkan agama Islam. Meskipun beliau pernah disakiti dan dilukai oleh umatnya yang bermaksud hendak menghalang-halangi aktivitas dakwahnya, namun beliau tidak pernah memusuhi umatnya. Justru sebaliknya, beliau malah mendo’akan dan mencintai umatnya yang telah menyakiti dan melukai diri beliau.
Terhadap orang-orang yang suka mendo’akan keselamatan untuk makhluk lain dengan cara sembunyi-sembunyi (sirr) ini, Nabi saw mengatakan, insya Allah do’anya akan didengar dan dikabulkan oleh Allah SWT seperti do’anya orang-orang yang teraniaya atau do’anya orang-orang yang mengerjakan puasa karena mengharap ridha Allah. Perhatikan saja hadis beliau dari Abu Darda’ ra. Rasulullah saw telah bersabda:
”Do’a seorang muslim untuk saudaranya di luar pengetahuan yang dido’akan, itu adalah do’a yang mustajab. Di atas kepala orang yang berdo’a itu, ada malaikat yang ditugaskan supaya tiap ia berdo’a baik untuk saudaranya itu supaya disambut: amin walaka bimitslin (semoga diterima dan untukmu sendiri seperti itu). (HR. Muslim)
Tapi anehnya, kebanyakan di antara manusia, jika ia merasa kecewa atau pernah merasa sakit hati pada seseorang, maka ia biasanya justru akan lebih senang jika melihat orang yang pernah menyakiti hatinya itu terkena musibah. Bahkan tak jarang, secara diam-diam ia berdo’a kepada Allah minta agar orang yang menjadi ’musuhnya’ itu celaka atau terkena musibah. Permintaan itu ia lakukan, karena ia ingin agar Allah ’menghukum’ orang yang pernah berbuat jelek pada dirinya itu dengan hukuman yang setimpal.
Kesannya, seakan-akan, orang yang pernah atau telah berbuat jelek pada dirinya itu, murni sebagai orang jahat. Mereka terkadang tidak mau berusaha untuk memahami latar belakang mengapa ada makhluk lain yang berbuat jelek pada dirinya. Padahal mereka tahu, bahwa makhluk yang berbuat jelek pada dirinya itu, aslinya, dibawah kekuasaan Allah SWT.
Sekiranya Allah Azza wa Jalla membuat sang makhluk yang ingin berbuat jelek itu tidak bisa berdiri, bicara dan berbuat sesuatu, maka niscaya sang makhluk itu pun tidak akan mungkin bisa mewujudkan keinginannya untuk berbuat jelek kepada siapa pun. Persoalan inilah yang terkadang jarang diperhatikan oleh orang yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari orang lain. Yang mereka lihat hanya sebatas masalah hitam-putihnya masalah.
Mereka hanya menyoroti bentuk dzahir dari tindakan yang dilakukan oleh orang lain. Mereka tidak berusaha melihat dan memperhatikan tentang mengapa Allah SWT mengijinkan dan menggerakkan makhlukNya untuk berbuat sesuatu pada dirinya. Akibat cara pandang yang demikian itu, akhirnya membuat mereka acapkali terjebak dalam prasangka buruk pada orang lain yang berbuat jelek pada dirinya. Ujung-ujungnya, mereka akan saling mengadili satu sama lain.
Terkait dengan persoalan itulah, ahlul kasyaf mengatakan, tidaklah seorang makhluk itu digerakkan atau diijinkan oleh Allah SWT untuk melakukan sesuatu tindakan pada orang lain, melainkan pastilah karena ada sesuatu tindakan yang salah pada orang lain itu. Sehingga karenanya, lewat gerak makhluk lain tersebut, Allah sesungguhnya bermaksud untuk menegur sang makhluk agar ingat pada kesalahan yang telah ia lakukan.
Oleh sebab itulah, ahlul kasyaf menyarankan, jika ada orang lain melakukan kejelekan pada diri kita, maka jangan cepat-cepat ’mengadili’ tindakan yang dilakukan oleh orang lain tersebut. Sebaliknya, kata ahlul kasyaf, cobalah belajar memahami, mengapa orang lain itu sampai berbuat jelek pada diri kita. Ada kesalahan apa pada diri kita? Kalau pun, misalnya, saat itu kita tidak bisa melihat babagan kesalahan pada diri kita sendiri, ujar ahlul kasyaf, maka cobalah untuk mencari tahu, ada pesan apa yang ingin disampaikan oleh Allah pada diri kita lewat gerak makhlukNya itu?
Yang jelas, lanjut ahlul kasyaf, meski tidak mudah untuk dilakukan, Allah SWT dan RasulNya sangat senang kepada orang yang suka mendo’akan orang lain agar selamat iman-Islamnya secara diam-diam. Apalagi jika ia mendo’akan keselamatan untuk orang yang pernah berbuat jelek pada dirinya. Allah sungguh sangat senang. Bahkan, saking senangnya Allah, sampai-sampai Dia mengirim malaikat yang ditugaskan untuk mengamini setiap do’a kebaikan yang dipanjatkan untuk saudaranya itu seraya menyambutnya dengan kalimat: amin walaka bimitslin (semoga diterima dan untukmu sendiri seperti itu).
Pertanyaannya sekarang ialah, bagaimana caranya agar kita bisa mendo’akan keselamatan untuk orang yang pernah berbuat jahat kepada kita itu tanpa diikuti oleh rasa mangkel, kecewa dan dendam di dalam hati? Menurut ahlul kasyaf, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan sebelum kita berdo’a untuk keselamatan orang lain. Yaitu:
Pertama, bangun prasangka baik dulu, sebelum berdo’a. Artinya, kita diminta untuk berprasangka baik kepada Allah, bahwa Dia pasti mendengar dan akan mengabulkan do’a yang kita ajukan kepadaNya, karena sebab kemurahanNya. Kedua, jangan pernah melihat kejelekan dan kesalahan pada orang yang ingin kita do’akan itu. Sebab, pandangan kita yang jelek tentang orang yang ingin kita do’akan itu, nanti bisa menjadi hijab bagi do’a yang akan kita ajukan kepadaNya.
Ketiga, hapuslah catatan tentang semua jenis kesalahan yang pernah dilakukan oleh orang yang ingin kita do’akan tersebut. Sebab, menghapus kesalahan orang lain pada diri kita itu, merupakan pintu masuk bagi munculnya rasa cinta dan kasih sayang. Artinya, sebelum kita berdo’a untuk orang yang ’memusuhi’ kita itu, maka kita harus mau memaafkan terlebih dahulu semua kesalahan --- baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja --- yang pernah dilakukan oleh yang ingin kita do’akan itu. Sebab, jika kita masih menyimpan dan menaruh kebencian kepada orang yang ingin kita do’akan tersebut, maka do’a kita akan terhijab oleh masalah kebencian kita pada orang yang ingin kita do’akan itu.
Keempat, jangan berdo’a ketika kita masih menyimpan rasa dendam dan marah kepada orang yang pernah berbuat jelek pada diri kita. Sebab, kalau rasa dendam dan marah itu masih bercokol dalam hati kita, maka yang bakal sampai kepada orang yang ingin kita do’akan itu adalah, rasa dendam dan marah yang ada pada diri kita. Akibatnya, orang yang kita do’akan itu justru akan berubah menjadi dendam dan marah pada diri kita.
Kelima, jangan pernah mendo’akan kejelekan bagi orang lain. Sebab, setiap do’a yang diajukan oleh seorang hamba kepada Allah itu, aslinya, akan kembali kepada orang yang berdo’a itu sendiri. Karena itu, tukas ahlul kasyaf, bersungguh-sungguhlah dalam berdo’a kepada Allah. Mintalah yang terbaik kepadaNya, sebab Dia Maha Baik lagi Maha Penyayang.
















23
Bersikap Lunak

Rasulullah saw pernah bersabda:
“Sesungguhnya Allah lunak dan tenang, suka pada
ketenangan dalam semua urusan.”
(HR. Bukhari – Muslim)


BERSIKAP lunak, kerap kali dimaknai sebagai sebuah sikap yang lembek, tidak tegas dan mudah diombang-ambingkan. Pemahaman terhadap istilah lunak yang seperti ini, sudah barang tentu, bukan seperti itu yang dimaksudkan dalam tulisan ini. Lunak yang dimaksudkan di sini adalah, upaya untuk memahami perbedaan yang terjadi dengan orang lain, baik itu perbedaan dalam cara pandang terhadap suatu masalah, termasuk dalam menyikapi sebuah persoalan, maupun dalam perbuatan sehari-hari.
Dalam upaya memahami perbedaan yang terjadi dengan orang lain tersebut, sudah barang tentu, mengandung beberapa resiko atau konsekuensi. Adapun konsekuensi terbesar yang bakal muncul adalah, melemahkan ego kita sendiri yang lahir dari keinginan hawa nafsu kita untuk selalu berada di tiang kendali. Di ranah inilah, jika kita bersikap lunak, maka hawa nafsu kita jadi merasa tidak dihormati, dipandang sebelah mata dan tidak punya power atau kekuasaan.
Memang demikianlah konsekuensinya jika kita ingin bersikap lunak dalam menghadapi dinamika kehidupan di muka bumi ini. Terlepas suka atau tidak suka. Yang jelas, bersikap lunak bukan berarti kita saat itu tidak punya pendirian. Malah sebaliknya, justru karena kita punya pendirian itulah, maka kita ’dituntut’ untuk harus mau belajar bersikap lunak. Sikap yang demikian itu, sangat dianjurkan oleh agama Islam.
Bahkan Rasulullah saw sendiri seringkali memberi contoh tentang bagaimana pentingnya bersikap lunak pada semua makhlukNya. Termasuk kepada umat yang ’memusuhi’ beliau. Tatkala beliau membuat perjanjian dengan kaum Yahudi, misalnya, beliau selalu bersikap lunak dan menyetujui setiap point-point perjanjian yang diajukan oleh kaum Yahudi. Akan tetapi, akhirnya toh kaum Yahudi juga yang kemudian melanggar perjanjian tersebut. Begitu pula, ketika umat Islam mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengandung perbedaan pandangan di antara mereka, beliau selalu berkata, ”laa kharaaj”, tidak apa-apa kalian berbuat seperti itu.
Sikap Nabi saw yang demikian itu, jelas menunjukkan betapa sangat lunaknya beliau kepada umatnya. Lebih dari itu, di balik sikap lunak Nabi saw pada umatnya tersebut, sesungguhnya terkandung sebuah pesan ilahiah yang sangat mendasar. Yaitu, memperbesar ruang prasangka baik kepada Allah SWT dan pada gerak makhlukNya.
Di dalam sebuah hadits yang bersumber dari Sayyidah ’Aisyah ra disebutkan, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah lunak dan tenang, suka pada ketenangan dalam semua urusan.” (HR. Bukhari – Muslim)
Yang jelas, dari sikap lunak yang dicontohkan Rasulullah saw pada umatnya itu, kita bisa mengambil sebuah pelajaran, betapa pentingnya memperbesar pintu cinta dan kasih sayang antara sesama makhluk ciptaan Allah. Sebab, lewat pintu saling mencintai dan menyayangi sesama makhluk ciptaanNya itulah, insya Allah kita akan dihindarkan Allah SWT dari ’gesekan’ dan ’benturan’ yang lahir karena adanya faktor perbedaan cara dalam memandang sebuah persoalan.
Memang tidak mudah untuk bersikap lunak kepada sesama makhluk. Apalagi terhadap orang yang sering melakukan kerusakan. Tapi, jika kita betul-betul ingin mempraktikkan apa yang telah diajarkan Nabi saw dalam kehidupan kita sehari-hari, insya Allah, Tuhan Yang Sebenarnya pasti akan menunjukkan jalannya.
Sejarah telah mencatat. Sikap keras kepala dan tidak mau mengalah, acapkali melahirkan adanya sikap anarkhis. Sebaliknya, sikap lemah lembut yang dilandasi oleh semangat untuk saling mencintai dan menyayangi antar sesama makhluk ciptaan Allah, justru seringkali melahirkan sebuah kekuatan dan keberanian untuk berkorban yang tak disangka-sangka.






24
Baik Budi

”Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah)
orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati
dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan
kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”
(Qs. Al-Furqan : 63)


MENURUT ahlul kasyaf, orang yang mendapat fadhal Allah itu, bukanlah orang yang dalam hitungan detik bisa salat ke Mekkah atau berjalan di atas air. Bukan pula orang yang dalam waktu satu detik bisa pergi ke luar negeri dan berdiri di atas pelepah daun pisang. Orang yang mendapat fadhal Allah itu adalah, orang yang dulunya berakhlak sayyi’ah (jelek), berubah menjadi berakhlaqul karimah. Yakni, akhlak yang terpuji.
Orang yang demikian itulah, kata para ahlul kasyaf, adalah orang-orang yang beruntung. Sebab, ia telah mewarisi akhlaknya Rasulullah saw. Sehingga, meskipun mereka punya karamah --- lantaran telah mendapat fadhal dari Allah ---, tapi mereka tidak sombong. Bahkan mereka memilih untuk tetap merendah di hadapan makhluk lainnya.
Mereka tidak congkak, lantaran bisa salat ke Mekkah, bisa berjalan di atas air, bisa berdiri di atas pelepah daun pisang dan bisa pergi ke luar negeri dalam hitungan detik. Mereka juga tidak merasa istimewa dan minta dimuliakan, meskipun ia telah mendapat kemuliaan dari Allah Yang Maha Mulia. Justru malah sebaliknya, dengan karunia kemuliaan yang diberikan oleh Allah SWT pada dirinya itu, ia malah memuliakan setiap makhluk yang bertemu dan ditemuinya. Subhannallaah. Alangkah indahnya akhlak Nabi saw.
Lantaran itu jugalah, dalam sejumlah riwayat disebutkan, bahwa tidaklah Allah mengutus Sayyidil Mursalin Sayyidina Rasulullah saw ke muka bumi ini, melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta. Bahkan, kata para ahlul kasyaf, tidaklah Rasulullah saw di utus, melainkan untuk menyempurnakan akhlak manusia dari yang jelek menjadi baik.
Karena itu, barang siapa yang mengaku telah beriman kepada Allah dan hari akhir, tapi dalam praktik kehidupan sehari-harinya ia tidak mau meneladani akhlaknya Rasulullah saw, maka itu berarti ia belum kenal dengan baik tentang misi mengapa Nabi saw diutus Allah SWT ke muka bumi ini. ”Tidak kenal Nabi saw, berarti tidak kenal dengan Zat yang telah mengutus beliau. Tidak kenal dengan Zat yang mengutus beliau, berarti tidak punya iman,” kata kaum ma’rifat billah.
Sebaliknya, ujar kaum ma’rifat billah, kenal Nabi saw, tapi tidak mau meneladani segala sesuatu yang ada pada diri beliau, berarti sama saja tidak kenal beliau. Sungguh beruntunglah orang-orang yang kenal dengan Nabi saw dan kenal dengan kehendak Zat yang mengutus beliau. Selain iman-Islamnya akan dijaga oleh Allah, ia juga bakal mendapat kemurahan dan pertolongan dari Allah agar bisa meneladani akhlaknya Nabi saw.
Orang-orang yang demikian itulah, kata Allah seperti yang terdapat di dalam surat Al-Furqaan ayat 63, adalah orang-orang yang akan berjalan di muka bumi dengan rendah hati dan selalu mengajak pada manusia menuju jalan keselamatan.


”Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”

Meskipun ia dihujat, dicaci-maki dan disakiti oleh orang-orang yang memusuhinya, namun hamba Allah yang meneladani akhlak Nabi saw, tetap akan bersikap baik dan selalu mendo’akan keselamatan untuk mereka. Sikap seperti itulah yang pernah dicontohkan oleh Nabi saw ketika beliau dilempari oleh orang-orang yang menolak seruannya untuk beriman kepada Allah SWT. Nabi saw tidak marah, meski darah segar mengalir deras di wajah beliau karena terkena lemparan batu dari kaum musyrikin yang mencegatnya pada waktu itu.
Bahkan, ketika malaikat Jibril menawarkan bantuan untuk membalik bukit yang ada di sekitar beliau, Nabi saw tetap tidak bergeming. Beliau malah mengangkat tangan untuk mendo’akan orang-orang yang telah berbuat aniaya itu seraya berkata: ”Ya Allah, ampunilah kaumku. Sesungguhnya, mereka adalah orang-orang yang tidak tahu. Aku berharap agar Engkau mau memberikan keimanan untuk generasi penerus mereka.”
Dalam tarikh dikemukakan pula bagaimana perilaku dan ketinggian budi pekerti Nabi saw. Tatkala dalam peristiwa perang Uhud yang langsung dipimpin Nabi saw sendiri, beliau bersabda kepada para sahabat yang meminta Nabi saw agar mendo’akan celaka untuk orang-orang yang memerangi umat Islam waktu itu:
”Aku sekali-kali tidak diutus untuk melaknat seseorang pun. Tetapi, aku diutus untuk mengajak kepada kebaikan dan sebagai rahmat.”
Karena budi baik beliau yang agung itulah, tak heran jika Allah SWT kemudian memilih beliau sebagai contoh sempurna bagi umat manusia di muka bumi ini. Oleh sebab itu, siapa saja yang mau meneladani akhlak beliau, maka insya Allah ia akan disenangi oleh Allah. Dan jika Allah senang pada hambaNya, maka apa pun yang diinginkan oleh sang hamba, insya Allah akan segera dikabulkanNya.











25
Bermanfaat Bagi
Makhluk Lain

“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan
begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?”
(Qsd. 75: 36)


SETIAP makhluk yang diciptakan Allah SWT di muka bumi ini, pasti ada manfaatnya. Tak ada satu pun makhluk yang diciptakan Allah tanpa membawa manfaat. Bahkan, untuk seekor lalat sekalipun, Allah tak sungkan-sungkan memberinya karunia manfaat bagi manusia. Demikian juga halnya dengan makhluk-makhluk kecil yang berada di dalam tubuh manusia. Keberadaannya, pasti punya nilai manfaat bagi manusia.
Persoalannya, apakah manusia itu mengetahui atau tidak tentang nilai manfaat dari makhluk-makhluk yang telah diciptakan oleh Allah Rabbul ’Izzati tersebut? Di ranah inilah, nilai manfaat keberadaan manusia ikut dipertaruhkan. Lewat penjelajahan dan semangat untuk mencari ilmu, manusia bisa melakukan sejumlah terobosan penting guna mengungkap rahasia di balik penciptaan makhluk Allah SWT yang ada di muka bumi ini.
Melalui hasil temuan dan penelitian itulah --- yang kemudian berubah menjadi ilmu pengetahuan ---, manusia dituntun oleh Allah untuk mengekspresikan nilai manfaat dirinya dalam percaturan makhluk hidup di jagad semesta ini. Dari arena percaturan semacam itulah, manusia bisa terus mengasah keterampilan dirinya hingga melahirkan kepahaman yang utuh tentang nilai kemanfaatan dari setiap ciptaan Allah yang ada di planet kehidupan ini.
Pendek kata, yang jelas, semua makhluk yang diciptakan oleh Allah di muka bumi ini, pasti punya manfaat bagi makhluk lainnya. Soal besar-kecilnya nilai manfaat makhluk itu bagi makhluk lainnya, tinggal tergantung bagaimana sang makhluk itu sendiri dalam mengejawantahkan amanah Allah atas dirinya. Itulah hebatnya Allah, Tuhan Yang Sebenarnya. CiptaanNya tidak ada yang sia-sia.
Terkait dengan pengejawantahan nilai manfaat itulah, menurut para ahlul kasyaf, jika sang makhluk yang telah dikaruniai nilai manfaat oleh Allah tersebut tidak mau mengekspresikan nilai kemanfaatannya bagi makhluk lainnya, maka cepat atau lambat, ia akan diambil kembali oleh Zat yang telah menciptakannya dari ’tidak ada’ menjadi ’ada’. Pasalnya kenapa? Karena, orang tersebut, ujar para ahlul kasyaf, tidak kenal dengan Allah SWT.
Sebab, kalau memang dia betul-betul kenal dengan Allah, maka mestinya dia malah bersyukur karena telah ’diutus’ Allah untuk hidup di muka bumi ini. Sebab, aslinya, menurut ahlul kasyaf, tujuan ‘diutusnya’ manusia hidup di muka bumi ini tidak lain adalah untuk belajar menunaikan amanah yang telah dikaruniakanNya. Salah satu amanahNya itu adalah, perintah untuk mengejawantahkan nilai manfaat dari eksistensi dirinya bagi makhluk lainnya.
Sesungguhnya, kata ahlul kasyaf, salah satu tujuan Allah ’mengutus’ manusia ke muka bumi ini, karena Allah Azza wa Jalla ingin memuliakan manusia lewat sebuah proses pengejawantahan nilai kemanfaatan dirinya bagi makhluk lainnya. Jadi, kalau ada orang yang tidak mau berkarya, berbuat dan berikhtiar (baca: beribadah dan beramal) ketika berada di muka bumi ini, maka berarti orang tersebut telah menutup dirinya sendiri dari masuknya jalan karunia Allah atas dirinya. Dengan kata lain, orang tersebut memilih untuk tidak mau dimuliakan oleh Allah.
Padahal Allah telah berfirman dalam surat Al-Qiyaamah ayat 36 :


“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?”

Bahkan, ujar ahlul kasyaf, dari berbagai riwayat disebutkan bahwa, Rasulullah saw pernah mengatakan: “Orang yang beruntung itu adalah orang bermanfaat bagi makhluk yang ada di sekitarnya.”
Selain itu, Nabi saw juga pernah dhawuh: “Sungguh beruntung orang yang diberi usia panjang, tapi bermanfaat bagi makhluk yang ada di sekitarnya.” Sebab, dengan umur yang panjang itu, ia bisa beribadah kepada Allah dengan baik. “Sebaliknya,” kata beliau, “sungguh merugilah orang-orang yang diberi umur panjang oleh Allah, tapi tidak membawa manfaat bagi dirinya sendiri. Apalagi untuk makhluk lain.”
Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa, sungguh beruntunglah orang-orang yang diberi umur panjang, tapi bermanfaat bagi makhluk lainnya. Dan merugilah orang-orang yang diberi umur panjang, tapi tidak membawa manfaat apa pun bagi dirinya sendiri. Apalagi untuk makhluk lainnya.
Yang jelas, tidaklah Allah Rabbul ‘Izzati menciptakan dan ‘mengutus’ manusia hidup di muka bumi ini, melainkan pastilah karena Allah ingin memberi kesempatan bagi manusia untuk menggapai kemuliaan melalui peran aktifnya dalam melakukan amal ibadah lewat jalan mengekspresikan manfaat keberadaannya bagi makhluk lainnya. Semakin besar nilai manfaat seorang hamba bagi makhluk lainnya, maka semakin besarlah karunia kecintaan dan kasih sayang Allah yang bakal ia terima.







26
Jihad
Fii sabiilillaah

Rasulullah saw bersabda:
” ... amal yang lebih disukai Allah adalah berbakti
pada orangtua, dan jihad fii sabiilillaah.”
(HR. Bukhari – Muslim)

JIHAD adalah berjuang dengan sungguh-sungguh. Jika dilihat melalui kacamata yang lebih luas dari makna jihad tersebut, sebetulnya, banyak orang yang telah melakukan sebuah perjuangan yang sungguh-sungguh. Misalnya, berjuang untuk mengajarkan pemahaman keislaman yang benar, berjuang untuk memperoleh keridhaan Allah dalam segala aktivitas kehidupan sehari-hari, berjuang untuk mengamalkan syari’at Islam dengan benar.
Pada zaman kenabian, istilah jihad hanya dimaknai sebagai berjuang dengan cara mengangkat senjata berperang melawan kaum kafir yang mengganggu tugas Rasulullah saw dalam menegakkan agama Allah (ad-diinul Islam). Namun, seiring dengan perkembangan waktu, di mana agama Islam telah berkembang luas --- sehingga seorang muslim merasa aman untuk melakukan perjalanan ke berbagai daerah --- makna jihad pun akhirnya mengalami pergeseran. Yakni, dimaknai sebagai sebuah perjuangan untuk menegakkan agama Allah dan untuk mencari keridhaanNya.
Keinginan yang kuat untuk berjuang di jalan Allah itulah, yang kemudian membuat banyak orang akhirnya rela meninggalkan anak-istri, harta dan jabatan yang disandangnya. Mereka saling berlomba-lomba untuk berjuang guna menegakkan agama Allah dengan segala kemampuan yang ada pada diri mereka masing-masing. Yang demikian itu mereka lakukan, karena mereka ingin meraih kecintaan dan keridhaan Allah.
Apalagi Nabi Muhammad saw sendiri pernah bersabda, sebagaimana diriwayatkan dalam kitab Daqaa-iqul Akhbaari: ”Amal perbuatan yang paling utama di permukaan bumi ini ada tiga (3). Yaitu, menuntut ilmu, berjuang dan berusaha mencari yang halal. Orang yang menuntut ilmu itu dicintai Allah, orang yang berjuang itu menjadi kekasih Allah dan orang yang berusaha mencari yang halal itu dimuliakan oleh Allah”
Lantaran Allah sangat menyukai orang-orang yang melakukan jihad karena Allah itulah, maka tak heran jika perbuatan jihad fii sabiilillaah itu, oleh Nabi saw digolongkan sebagai salah satu amal yang paling utama di dunia ini. Di samping itu, Nabi saw juga telah bersabda, bahwa di antara amal yang disenangi oleh Allah adalah jihad fiisabiilillaah. ” ... amal yang lebih disukai Allah adalah berbakti pada orangtua, dan jihad fii sabiilillaah.” (HR. Bukhari – Muslim)
Yang jelas, orang-orang yang berjihad di jalan Allah itu, jika ia wafat di dalam jihadnya, maka ia akan langsung diletakkan oleh Allah SWT di surga. Di dalam sebuah hadis Qudsi, Allah mengisahkan, bahwa mereka yang wafat dalam berjihad di jalan Allah itu, ruh mereka akan langsung ditempatkan di surga, dan mereka dapat memasuki ’Arsy Allah sesuka mereka. Sedangkan bagi mereka yang masih tetap hidup, maka mereka akan diberi pahala dan keberuntungan yang banyak oleh Allah.
Alangkah manisnya nikmat yang diberikan Allah untuk mereka yang mau berjuang fii sabiilillaah. Namun, untuk bisa berjuang fii sabiilillaah itu pun, semuanya adalah karena kemurahan Allah semata. Ada orang-orang yang tampaknya melakukan jihad fi sabiilillaah, namun belum tentu yang dilakukannya itu adalah untuk memperoleh keridhaan Allah.
Suatu ketika, ada seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw: ”Ya Rasulullah, ada orang yang berjihad karena marah, balas dendam dan untuk kepentingan dirinya atau kaumnya. Yang manakah disebut sebagai jihad fii sabiilillaah itu?” Rasulullah menjawab: ”Jihad fii sabiilillaah itu adalah untuk mencari keridhaan Allah.”
Walhasil, jika kita berjihad karena amarah, balas dendam, dengki, iri hati dan berbagai penyakit hati yang memicu keinginan untuk berjihad, maka sia-sialah jihad yang kita lakukan itu. Sebab, jihad fii sabiilillaah yang sebenarnya adalah bertujuan untuk memperoleh keridhaan Allah semata.
Pada zaman sekarang, kerap kali jihad diartikan sebagai ’memerangi’ mereka yang tidak berakidah Islam. Bahkan, ada pula yang ’memerangi’ orang-orang yang jelas-jelas telah mengucapkan kalimat laa ilaaha illallaah, dengan anggapan bahwa mereka telah keluar dari ajaran Islam yang benar menurut pemahaman mereka.
Perbuatan jihad yang seperti itu, jika dilakukan karena merasa dirinya sebagai yang paling benar, kebencian dan kedengkian, maka boleh jadi, pahala jihad yang ingin dicapai justru tidak bisa diperoleh. Sebab, jihad fii sabiilillaah itu bukan untuk memperturutkan hawa nafsu kita sendiri. Melainkan untuk memperoleh keridhaan Allah.
Oleh karena itu, berjihad tidak harus mengangkat senjata. Berjihad juga bisa lewat cara berjuang dengan sungguh-sungguh dalam menjalani kehidupan ini demi untuk memperoleh keridhaan Allah. Termasuk bersungguh-sungguh dalam berjuang melemahkan musuh kita yang paling besar. Yaitu, hawa nafsu kita sendiri.
Bukankah Rasulullah saw pernah mengatakan kepada para sahabat beliau yang baru pulang dari berjihad (berperang) bahwa: ”Kita akan menghadapi jihad yang lebih besar (jihad akbar), yaitu berjihad melawan hawa nafsu kita sendiri.” Pada saat itu, bulan Ramadhan segera menjelang, sehingga umat Islam diwajibkan berpuasa selama sebulan untuk melemahkan hawa nafsunya.
Dalam tataran inilah, Rasulullah saw pernah mengatakan, ”Mohonlah kepada Allah agar engkau memperoleh kesyahidan (mati dalam jihad fii sabiilillaah), sehingga Allah mengabulkan permohonanmu itu, meski engkau mati di atas tempat tidurmu.”
Hadis tersebut menyadarkan pada kita, bahwa hidup dalam kedamaian tanpa peperangan adalah juga sebuah proses jihad. Zaman selalu berubah dan berkembang seiring dengan perkembangan manusia yang hidup di zamannya. Pada zaman peperangan, boleh jadi, jihad yang dilakukan adalah dalam bentuk mengangkat senjata.
Sedang dalam zaman pasca peperangan, tentu jihad yang perlu kita lakukan adalah dalam bentuk berjuang dengan sungguh-sungguh menjalani kehidupan ini sesuai tuntunan syari’at, sehingga dapat bermanfaat bagi makhluk lain dengan niat untuk memperoleh keridhaan Allah SWT. Termasuk memilih jalan untuk bersungguh-sungguh dalam melemahkan hawa nafsu. Yaitu, ‘musuh’ terberat yang selalu menghadang jalan pengabdian manusia kepada Tuhan Yang Sebenarnya.




















27
Tawakal

Allah SWT berfirman:
” … apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertawakkal kepadaNya.” (Qs. 3: 159)

TAWAKAL berasal dari kata wakalah, yang berarti mewakilkan dan menyerahkan segala urusan kepada orang lain. Dalam tulisan ini, tawakal yang dimaksud adalah keteguhan hati seorang hamba dalam menyerahkan segala urusannya kepada Allah SWT, Tuhan Yang Sebenarnya. Menurut Imam Ghazali, hakikat tawakal itu adalah keadaan jiwa seorang hamba yang lahir dari keyakinannya dalam bertauhid.
Sedang menurut para ahlul kasyaf, sikap tawakal seorang hamba itu tidak lahir secara tiba-tiba. Ia lahir dari sebuah proses yang panjang dan melalui tahapan demi tahapan. Lewat proses yang panjang dan berulang-ulang itulah, seorang hamba bisa mencapai derajat tawakal. Sebab, di dalam proses menuju tawakal itu, ada banyak pelajaran dan ilmu yang bisa dipergunakan oleh sang hamba untuk merajut bangunan keyakinan dan kepahamannya tentang esensi dari tawakal itu sendiri.
Sementara itu, menurut Sahl bin Abdullah Tusturi, permulaan maqam tawakal manusia kepada Tuhannya itu, laksana seorang mayit yang berada di hadapan orang yang memandikannya. Ia menerima apa yang diinginkan oleh yang memandikannya. Ia tidak bergerak dan tidak pula berusaha untuk menolak.
Yang jelas, ujar Sahl, tanda-tanda orang yang bertawakal itu ada tiga (3), yaitu: tidak pernah meminta, tidak pernah menolak dan tidak pernah menyimpan untuk hari lainnya. Jika kita masih sering meminta, menolak dan menyimpan sesuatu dengan maksud untuk jaga-jaga atau persiapan, maka perbuatan yang demikian itu belum termasuk dalam kategori bertawakal.
Sebabnya kenapa? Karena, orang yang sering meminta itu berarti tidak yakin kalau Allah SWT sebetulnya telah mencukupi semua keperluannya. Sedang orang yang menolak, berarti ia tidak menghormati yang memberi. Tidak menghormati yang memberi, berarti sama saja dengan tidak menghormati Zat yang telah menggerakkan seorang makhluk untuk memberi.
Adapun menyimpan sesuatu dengan maksud untuk jaga-jaga atau persiapan, berarti orang tersebut tidak yakin kepada Tuhan Yang Sebenarnya. Sebab, kalau memang ia yakin kepada Tuhan Yang Sebenarnya, maka ia tidak perlu harus menyimpan sesuatu.
Pasalnya mengapa? Karena, menyimpan sesuatu itu sama artinya kita masih lebih mengandalkan kemampuan diri kita sendiri daripada bersandar pada sebab kemurahan dan pertolongan Allah. Seolah-olah kita merasa bisa, merasa mampu dan merasa kuasa untuk menentukan sendiri bagaimana jalan hidup kita. Termasuk soal rezeki kita di masa yang akan datang. Buntutnya, kita lebih percaya pada aksi yang kita tempuh daripada percaya kepada Allah.
Dalam persoalan bertawakal kepada Allah inilah, tidak sedikit manusia yang sering tergelincir lantaran disibukkan dengan bujuk rayu hawa nafsunya sendiri. Lewat hembusan rasa cemas, takut dan khawatir yang dibawa oleh hawa nafsu, membuat manusia jadi kalang-kabut. Ujung-ujungnya, ’tunduk’ pada bisikan hawa nafsu dan lupa pada Allah.
Karena itulah, dalam surat Ali-Imran ayat 159, Allah berfirman:

”… Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya.”

Terkait dengan soal tawakal ini, Rasulullah saw juga telah mengingatkan umatnya, sebagaimana yang terdapat di dalam hadis yang disampaikan oleh sahabat ‘Umar ra: : ”Andaikan kamu bertawakal (menyerah) kepada Allah dengan sungguh-sungguh, nicaya Allah akan memberi rizki kepadamu, sebagaimana burung yang keluar pagi hari dengan perut kosong (lapar) dan kembali pada senja hari dalam kondisi sudah kenyang.” (HR. Attirmidzy ra)






28
Ikhlas

”Ikhlas adalah satu rahasia dari rahasiaKu yang Kuletakkan
ke dalam hati orang yang Kucintai dari hambaKu.”
(Hadis Qudsi)


SALAH satu kunci amal ibadah agar bisa diterima oleh Allah SWT adalah, kita harus melakukannya dengan cara ikhlas. Yaitu, mengkhususkan amal ibadah tersebut hanya untuk Allah ‘Azza wa Jalla semata. Sedang ikhlas itu sendiri adalah melakukan amal ibadah karena didorong oleh adanya rasa senang kepada Allah SWT dan RasulNya.
Allah sendiri pun sangat senang terhadap orang-orang yang berbuat ikhlas dan menyeru kepada hambaNya untuk beramal dengan ikhlas. Sebab, Dia tidak akan melihat jasmani atau bentuk fisik hambaNya, melainkan pada keikhlasannya. Sedang rasa ikhlas itu sendiri letaknya di dalam hati. Oleh sebab itu, jauh-jauh hari Rasulullah saw pernah mengingatkan di dalam sabdanya: “Sesungguhnya, Allah tidak melihat bentuk badan dan rupamu. Tetapi, langsung melihat/memperhatikan niat dan keikhlasan dalam hatimu.” (HR. Muslim yang bersumber dari Abu Hurairah ra)
Amal kebajikan yang dilakukan dengan hati yang ikhlas, menurut para salafus shalih, akan membuat seorang pejalan ruhani atau ahli ibadah jadi tidak mau memikirkan tentang masalah ganjaran. Sebab, amal kebajikan yang dilakukan itu dilandasi oleh rasa senang kepada Allah dan RasulNya. Sedang amal kebajikan yang dilakukan karena merasa senang kepada Allah dan RasulNya itu, merupakan ibadah yang tidak memikirkan tentang masalah apakah bakal mendapat ganjaran atau tidak. Ia melakukan ibadah itu karena ia ingin berterima kasih kepadaNya. Itulah ibadahnya Nabi, Rasul dan para kekasihNya.
Jika keikhlasan itu merupakan manifestasi dari rasa senang kepada Allah dan RasulNya, maka bagaimanakah ukurannya? Tak ada seorang pun yang mengetahui ukuran keikhlasan seseorang. Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa ada salah seorang sahabat bertanya pada Nabi saw tentang masalah ikhlas. Namanya Huzaifah bin Yaman ra. “Apakah yang dimaksud dengan ikhlas itu, ya Rasulullah saw?”
Nabi saw tidak langsung menjawab. Beliau kemudian bertanya kepada malaikat Jibril asw. Seperti halnya Nabi saw, malaikat Jibril asw pun tidak langsung menjawab. Malaikat Jibril asw kemudian bertanya kepada Allah Yang Maha Mulia tentang ikhlas yang ditanyakan oleh Rasulullah saw. Allah Azza wa Jalla pun berfirman:
”Ikhlas adalah satu rahasia dari rahasiaKu yang Kuletakkan ke dalam hati orang yang Kucintai dari hambaKu.”
Menilik hadis Qudsi di atas, tampak bahwa ikhlas itu tidak bisa direkayasa oleh hati manusia. Melainkan mutlak karena anugerah Allah untuk hambaNya. Maka, bersyukurlah jika kita bisa ikhlas karena Allah dalam beramal. Bersyukur karena hati kita bisa ikhlas tersebut, juga merupakan salah satu cara untuk memupuk keikhlasan hati kita.
Dengan kata lain, kita tidak merasa bisa beramal dengan ikhlas karena kehebatan hati kita. Melainkan kita kembalikan semuanya itu kepada Allah sebagai Zat Yang Maha Menggenggam hati setiap insan. Sebab, untuk bisa ikhlas, kita tidak mungkin bisa memaksa hati kita seraya berkata, ”Hai hati, kamu harus ikhlas”.
Apalagi hanya dengan mengandalkan lisan yang berkata, ”saya ikhlas karena Allah”. Pernahkah Anda merasakan bahwa di dalam hati kita ingin sekali berbuat sesuatu itu dengan ikhlas? Akan tetapi, manakala kita tidak memperoleh imbalan seperti yang kita harapkan, justru hati kita menjadi marah atau dongkol?
Misalnya saja, ketika kita telah memberikan sesuatu barang atau uang kepada seseorang. Pada saat kita memberi, barangkali kita merasa sudah ikhlas. Namun, tatkala orang tersebut berbuat buruk atau melakukan sesuatu hal yang tidak simpatik kepada kita, hati kita pun jadi marah dan mulai mengenang berbagai pemberian yang pernah kita lakukan terhadap orang tersebut, seraya menggerutu bahwa orang itu sungguh tak tahu berterima kasih?
Jika kita pernah mengalami hal yang demikian, seribu kata kita ucapkan untuk mengungkapkan rasa ikhlas kita, tetaplah tidak berarti. Sebab, mengungkit-ungkit kebaikan yang pernah kita lakukan terhadap seseorang (meski itu baru sebatas di dalam hati sekalipun), tetaplah merupakan bagian dari tanda ketidak-ikhlasan kita dalam beramal.
Apalagi jika mengungkit-ungkit pemberian di hadapan orang yang pernah diberi. Sudah barang tentu, hal itu akan menyakitkan hati orang lain. Oleh karena itulah, maka Allah secara tegas mengatakan, bahwa orang yang berbuat seperti itu kelak akan dihapus pahala amal kebajikannya. Perhatikan saja firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 264:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Qs. 2: 264)
Demikian pula ketika kita menghadapi berbagai kesulitan di dalam hidup. Kita kerapkali berhitung dengan Allah seraya mengatakan misalnya: ”Rasa-rasanya saya sudah melakukan banyak sedekah, namun mengapa rezeki saya tidak kunjung lancar juga? Bukankah disebutkan di dalam hadis bahwa sedekah itu dapat melancarkan rezeki?” Manakala kita berhitung seperti itu dengan Allah, maka tingkat keikhlasan kita pun perlu dipertanyakan.
Menurut Abu Zakariya Anshari, orang yang benar-benar ikhlas itu adalah orang yang tidak lagi mengharap apa-apa dari perbuatannya. Kalau ia masih mengharapkan imbalan dari perbuatannya itu, maka itu berarti keikhlasannya masih belum sempurna. Bahkan, menurut kaum sufi, perbuatan yang demikian itu sudah termasuk sebagai perbuatan riya’.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan, bahwa ikhlas itu adalah rasa senang terhadap suatu amal kebajikan yang kita lakukan, karena mengingat bahwa Allah senang dengan perbuatan seperti itu. Sebagaimana halnya orang yang senang, yakni tidak memikirkan akibat (baca: imbalan) yang diterimanya, maka demikian pula dengan orang yang beramal secara ikhlas.
Adapun tanda-tanda keikhlasan itu, bisa dirasakan oleh hati yang sudah terasah dengan baik. Namun, tanda-tanda keikhlasan itu hanya bisa dirasakan oleh masing-masing individu yang bersangkutan. Bukankah Allah sudah mengatakan bahwa ikhlas itu adalah rahasia?
Karenanya, kita sekali-kali tidak bisa menilai tingkat keikhlasan ibadah orang lain, kecuali hanya keikhlasan diri kita sendiri. Yang jelas, menurut Zu Nun Al-Misri, ada tiga tanda orang yang ikhlas. Yaitu, seimbang dalam menerima pujian dan celaan orang, lupa melihat perbuatan itu dari dirinya, dan lupa pula menuntut balasan pahala di akhirat nanti.






29
Beribadah
Secara Istiqamah

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka, dan mereka tiada (pula) berduka cita.
Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan”
(Qs. 46: 13-14)


PRINSIP ibadah dalam agama Islam itu adalah, diawali dengan niat dan diakhiri dengan istiqamah. Sedang istiqamah itu sendiri adalah, sikap teguh dan tidak berubah-ubahnya pendirian dan keyakinan seorang hamba dalam melakukan amal kebajikan. Jadi, meskipun, misalnya, saat itu ia tengah berada dalam kondisi yang kurang kondusif sekalipun, ia tetap melakukan amal kebajikan tersebut dengan senang hati.
Teguhnya pendirian hati seorang hamba untuk melakukan amal kebajikan itu, biasanya timbul dari kecintaannya kepada Allah dan RasulNya. Besarnya rasa cinta kepada Allah dan RasulNya itulah yang kemudian melahirkan keputusan pada diri sang hamba untuk tidak lagi memilih mengerjakan amal kebajikan dengan berorientasi pada masalah wajib-sunnah dan ada fadhal atau tidak ada fadhal.
Baginya, yang penting, ia akan tetap melakukan amal kebajikan itu, meskipun tidak ada fadhalnya. Mengapa bisa demikian? Karena ia ingin berterima kasih kepada Allah, Tuhan Yang Sebenarnya, yang telah melimpahkan anugerah nikmat pada dirinya. Orang yang demikian itulah, ujar salafus shalih, orang yang beruntung.
Pasalnya kenapa? Karena, Allah Azza wa Jalla sangat senang pada seorang hamba yang melakukan amal kebajikan dengan istiqamah. Sebab, bagi Allah SWT, bukan soal banyak-sedikitnya atau besar-kecilnya amal kebajikan yang dilakukan. Tapi, yang terpenting adalah, apakah sang hamba itu istiqamah atau tidak dalam melakukan amal kebajikannya tersebut. Karena itulah, dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda: ”Allah lebih menyukai amal kebajikan yang sedikit tapi terus-menerus (istiqamah), daripada banyak tapi tidak terus-menerus.”
Bahkan, Allah SWT sendiri telah berfirman di dalam surat Fushshilat ayat 30 - 31:


“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu."


“Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.”

Luar biasa ‘hadiah’ yang bakal diterima oleh orang-orang yang memilih untuk bersikap istiqamah dalam kebajikan. Allah SWT telah menjanjikan untuk mereka ‘hadiah istimewa’. Yaitu, Allah akan mengutus dan memerintahkan malaikatNya untuk menemani perjalanan hambaNya yang memilih untuk istiqamah dalam kebajikan. Bahkan, Allah sendiri tak sungkan-sungkan akan menjadi pelindung --- baik dalam urusan di dunia maupun di akhirat kelak --- bagi sang hamba yang memilih beribadah secara istiqamah.




30
Senang dengan
KesenanganNya

“Menghilangkan hadats kecil, hadats besar, najis kecil, najis besar dan sebagainya beserta syarat rukunnya itu, adalah syarat rukunnya
mendapat pahala. Sedangkan menghilangkan sifat iri, dengki,
takabur dan sebagainya itu, adalah syarat
rukunnya pahala diterima.”


PADA dasarnya, berurusan dengan Allah tidak hanya sekedar memenuhi syarat sahnya sebuah amal perbuatan. Bukan juga hanya yang penting gugurnya kewajiban seorang hamba terhadap Allah. Melainkan, lebih dari sekedar terpenuhinya syarat rukun untuk bisa mendapat pahala. Yaitu, bagaimana caranya agar kita bisa memenuhi syarat sahnya rukun pahala supaya amal kebajikan yang kita lakukan bisa diterima oleh Allah.
Terkait dengan persoalan itu, salah seorang kekasih Allah pernah berkata:

“Menghilangkan hadats kecil, hadats besar, najis kecil, najis besar dan sebagainya beserta syarat rukunnya itu, adalah syarat rukunnya mendapat pahala. Sedangkan menghilangkan sifat iri, dengki, takabur dan sebagainya itu, adalah syarat rukunnya pahala diterima.”

Artinya, untuk bisa mendapat pahala, setelah terpenuhinya syarat rukun, maka kondisi diri kita saat itu harus betul-betul telah bebas dari hadats kecil, hadats besar, najis kecil dan najis besar. Pertanyaannya, bisakah kita menjamin, bahwa amal kebajikan yang kita lakukan itu, betul-betul telah memenuhi syarat rukun, dan diri kita betul-betul telah bebas dari hal-hal yang dapat menggugurkan pahala yang bakal kita peroleh dari Allah?
Kalau syarat rukun untuk mendapat pahala saja kita belum bisa memenuhinya, lalu mengapa kita menganggap remeh untuk urusan itu? Pada tataran inilah, pentingnya kita meluruskan niat dan memenuhi syarat sahnya sebuah amal kebajikan. Itu hukum syari’atnya. Mampukah kita untuk melakukannya?
Jawabnya, tentulah tidak mudah. Sebab, pada level syarat rukun saja, kita masih belum sempurna. Apalagi sampai harus memenuhi semua syarat rukun dalam beribadah agar bisa mendapat pahala. Jika demikian, lalu bagaimana jalan keluarnya agar amal kebajikan kita bisa diterima Allah?
Jawabnya, mari kita bersandar pada sebab kemurahanNya. Yaitu, memohon dipérnahkan Allah agar diberi kemampuan untuk menata hati, meluruskan niat dan belajar memenuhi syarat rukun agar amal kebajikan yang kita kerjakan itu bisa mendapat kemurahan dariNya. Setelah itu, mari kita belajar merasakan adanya penyakit hati seperti sifat iri, dengki dan takabur. Yang terasa ditobati, dan yang tak terasa, kita pasrahkan kepada Allah mohon diampuni.
Kemudian, langkah berikutnya adalah, mari kita belajar menumbuhkan rasa senang kepada Allah tatkala kita akan dan tengah melakukan amal kebajikan. Sebab, menurut orang-orang shalih, seseorang yang beribadah karena ia merasa senang kepada Allah, maka insya Allah, amal ibadahnya tidak akan dihisab oleh Allah. Pasalnya kenapa? Karena Allah senang kepada hambaNya yang senang kepadaNya.
Jadi, jika ada seorang hamba yang beribadah karena ia merasa senang kepada Allah, maka Allah akan membalas rasa senang hambaNya itu, melebihi dari rasa senangnya sang hamba itu sendiri kepada Allah. Sebaliknya, jika kita beribadah karena berharap pahala, maka jangan kaget kalau kita kelak akan dihisab terlebih dahulu oleh Allah.












Munajadnya Nabi Daud as:

Abu Darda’ ra berkata: Rasulullah saw bersabda: Di antara do’a Nabi Daud as :

Allaahumma innii asaluka hubbaka, wahubba man yuhibbuka, wal ‘amalal ladzii yuballighunii hubbaka. Allaahummaj’al hubbaka ahabba ilayya min nafsii wa ahlii wa minal maa-il baarad.

Ya Allah, aku mohon kepadaMu agar cinta kepadaMu, dan cinta kepada orang yang cinta kepadaMu, dan amal perbuatan yang dapat menyampaikan aku agar cinta kepadaMu. Ya Allah, jadikanlah cintaku kepadaMu melebihi cintaku pada diriku, keluargaku dan air yang dingin. (HR. Attirmidzy)
***

Keutamaan Bertemu Kaum Ma’rifat Billah

“Barang siapa duduk di sisi orang alim dua jam, atau makan bersamanya dua suapan, atau mendengarkan dari padanya dua kata, atau berjalan bersama dengan dia dua langkah, maka Allah SWT akan memberikan kepadanya dua surga, yang tiap-tiap surga seperti dua kali dunia.”
***
“Barang siapa yang selama hidupnya pernah bertemu, melihat, berbicara dan duduk bersama, makan bersama, jalan bersama, mendengarkan ketika berbicara kepadanya, serta pernah berkunjung dan tinggal di tempat orang yang ma’rifat billah, maka di akhirat nanti, Allah akan membangkitan dan mengumpulkannya bersama orang yang ma’rifat billah tersebut.”
***
“Barang siapa yang dalam perjalanan hidupnya pernah mencium tangan (dengan maksud untuk tabaarruk) meskipun hanya satu kali, memakan sisa makanan yang dimakan, meminum air sisa minuman yang diminum, atau meminum air yang dipergunakan untuk mencuci tangan orang yang ma’rifat billah, maka di akhirat nanti, Allah akan menyelamatkannya dari siksa api neraka.”
***
“Barang siapa yang selama hidupnya belum pernah bertemu, melihat, berbicara dan duduk bersama, makan bersama, jalan bersama, serta mendengarkan orang yang ma’rifat billah ketika berbicara kepadanya, meskipun hanya satu kali, maka orang tersebut di akhirat nanti akan dibangkitan dan dikumpulkan bersama orang-orang yang merugi.”
***
“Barang siapa yang selama hidupnya belum pernah bertemu, melihat, berbicara dan duduk bersama, makan bersama, jalan bersama, mendengarkan ketika berbicara kepadanya, serta pernah berkunjung dan tinggal di tempat orang yang ma’rifat billah, meskipun hanya satu kali, tapi dia pernah bertemu dan senang kepada orang yang pernah bertemu, melihat, berbicara dan duduk bersama, makan bersama, jalan bersama, mendengarkan ketika berbicara kepadanya, serta pernah berkunjung dan tinggal di tempat orang yang ma’rifat billah, pernah mencium tangan (dengan maksud untuk tabaarruk) meskipun hanya satu kali, pernah memakan sisa makanan yang dimakan, pernah meminum air sisa minuman yang diminum, atau pernah meminum air yang dipergunakan untuk mencuci tangan orang yang ma’rifat billah, maka orang tersebut di akhirat nanti akan dibangkitan dan dikumpulkan bersama orang-orang yang ma’rifat billah.”
***
Ibarat orang shalih, bulan Ramadhan itu, sesungguhnya adalah kekasih Allah yang telah dipilih dan terpilih untuk menemani perjalanan kita agar bisa bertemu Allah. Karena Ramadhan itu adalah ‘utusan’ Allah, dan setiap waktu ia bisa dengan mudah bertemu Allah, maka kalau kita memilih untuk mau mepet bergabung bersamanya, maka insya Allah kita pun kelak akan tertulari derajatnya yang agung lagi luhur itu.
Seperti yang pernah dikatakan oleh Syekh Nawawi Al-Bantani, “Sesungguhnya, mengeluarga (ikut bergabung dan nderek) dengan makhluk pilihan Allah yang terbaik (baca: ‘kaum ma’rifat billah’) itu, maka akan tertulari derajatnya yang luhur.”
Hal senada juga pernah disampaikan oleh KH Hamim Jazuli, atau yang akrab disapa dengan sebutan Gus Miek (1940-1993). “Cedek-o karo Gusti Allah (kun ma’a Allah). Nek ora iso, cedek-o wong sing cedek karo Gusti Allah (kun ma’a man ma’a Allah).” Dekatlah kepada Allah. Kalau tidak bisa, dekatilah dengan orang yang dekat denganNya ((2007: 10).
Bulan Ramadhan sesungguhnya adalah jalan suluk yang paling singkat, paling murah dan paling cepat yang diberikan oleh Allah SWT sebagai ‘hadiah’ istimewa pada kaum muslimin. Hal itu Dia lakukan, karena Allah tahu betul, bahwa aslinya, kita tidak akan mungkin bisa menggapai derajat taqwa dengan hanya mengandalkan amalan shalat, puasa, zakat dan haji.
***