Rabu, 25 Maret 2009

Milih (Politik) Milih?


[ 20 ]
Milih Sing Paling Bener

SEKELOMPOK petinggi kampung beserta beberapa warga datang menemui wan Ali di padepokan hikmahnya. Mereka mau meminta fatwa dari wan Ali terkait dengan masalah pemilu tahun ini. Terutama tentang partai apa dan siapa caleg yang sebaiknya harus mereka pilih.
Sebab, mereka bingung dalam menentukan pilihan. Apalagi faktanya, jumlah parpol dan jumlah calegnya banyak sekali. Tak heran jika kemudian masyarakat banyak yang bingung. Mana teknis pemilihannya lain daripada yang lain. Yaitu dicontreng.
”Bagaimana saenya menurut sampeyan, wan Ali? Apa yang sebaiknya dipilih atau dicontreng oleh warga?” tanya wan Syamsul setelah menjelaskan tentang maksud kedatangan mereka sore itu.
”Wah, kalau soal apa yang harus dipilih, ya terserah sampeyan sedaya. Wong pemilu itu sifatnya langsung, bebas dan rahasia. Jadi, tak ada satu pun orang yang boleh mencampuri dan memaksakan kehendaknya kepada para pemilih,” jawab wan Ali seraya mempersilahkan para tamunya untuk menyantap kue yang telah dihidangkan di meja tamu.
“Tapi, jika sampeyan meminta pendapat saya tentang bagaimana caranya untuk memilih, maka menurut pendapat saya, pilihlah yang paling bener. Ukurannya, silahkan tanyakan pada hati kecil sampeyan sendiri. Tapi ingat, mboten pareng rumongso bener dewe. Ciri-cirine, saged nrimo pendapat tiyang sanes,” lanjut wan Ali.
Pada dasarnya, sambung wan Ali, semua peserta pemilu dan para calegnya itu, punya keistimewaannya masing-masing. Persoalannya kembali ke pribadi kita masing-masing. Apakah kita mengenalinya atau tidak? ”Pedomannya, lihat bagaimana akhlaknya ketika melakukan kampanye terbuka. Apakah caleg tersebut suka mengadili perjalanan orang lain atau tidak? Tapi menilainya dengan hati, jangan pakai emosi,” kata wan Ali.
”Yang jelas,” tandas wan Ali, ”apa saja yang sampeyan pilih dalam pemilu kali ini, pasti akan ada pelajarannya masing-masing. Apa pelajarannya? Ya kita tunggu saja perkembangannya setelah pemilu usai nanti.” (Firman)


[ 21 ]
Kena Penyakit Rumongso

SEJAK kampanye terbuka digelar, banyak warga yang datang ke pondok hikmah milik wan Ali. Selain meminta fatwa tentang persoalan politik, mereka juga terkadang ikut dalam pengajian rutin setiap ba’da salat Isya.
Adapun materi yang dikupas tentu saja adalah tentang babagan penyakit hati. Sedang pembicaranya, selain wan Ali, juga terkadang mendatangkan para pembicara dari luar padepokan. Terutama kalau wan Ali sedang berhalangan hadir karena ada acara lain di luar padepokan.
”Saudaraku, hati-hati. Sekarang ini sedang beredar sebuah virus penyakit hati yang sangat berbahaya bagi masyarakat kita. Yaitu virus penyakit hati rumongso bisa (merasa bisa). Virus ini, meski tidak nampak, tapi bisa dirasakan kehadirannya dalam diri kita masing-masing,” ujar wan Ali.
”Mengapa kita perlu hati-hati terhadap virus penyakit hati rumongso bisa tersebut? Karena, kalau virus itu telah berhasil menguasai isi hati dan pikiran manusia, maka tak ada manusia yang bisa selamat. Sebab, sistem kerja virus itu dalam mempengaruhi manusia, terbilang super halus,” imbuh wan Ali.
Dari berbagai pengalaman yang pernah dilalui oleh para pejalan rohani, lanjut wan Ali, hampir sebagian besar orang yang telah dikuasai virus itu mengaku, tak bisa berbuat banyak. ”Meskipun para korban itu mengetahui secara teori tentang bagaimana efek negatif dari virus tersebut, tapi mereka mengaku tak mampu untuk melawannya. Jangankan untuk melawan, sekedar menahan geraknya saja agar tidak muncul, banyak yang mengaku kewalahan,” ungkap wan Ali.
”Maka itu,” tukasnya, ”untuk menghadapi pemilu kali ini, kita perlu waspada. Terutama bagi caleg dan para jurkamnya. Sebab, sekarang ini, virus rumongso bisa itu sedang mengincar para caleg dan jurkamnya. Mereka menjadi sasaran, karena mereka merupakan lahan yang empuk bagi peluang virus tersebut untuk bisa tumbuh kembang.”
”Yang jelas, virus tersebut saat ini sedang berusaha memompakan pengaruhnya kepada para caleg dan jurkamnya lewat janji-janji kosong dan trik bagi-bagi uang. Tentu saja, yang menjalani lakon itu tidak akan sadar kalau dirinya sedang diprovokasi oleh virus rumongso bisa,” tandas wan Ali. (Firman)

[ 22 ]
Kebanjiran Tamu

WAN Ali kebanjiran tamu. Apalagi menjelang pemilu tahun ini. Setiap hari, mulai ba’da salat Subuh sampai larut malam, tamu yang datang ke padepokan hikmahnya, silih berganti. Saking banyaknya tamu yang datang, sampai-sampai wan Ali tak bisa beranjak dari tempat duduknya.
Bahkan, menurut wan Sofian, sekretaris pribadinya, untuk keperluan mengimami salat jama’ah di padepokannya, wan Ali hanya punya waktu sedikit sekali. ”Beliau terkadang tidak sempat makan dan tak sempat berkumpul dengan keluarganya. Hal itu beliau lakukan, karena beliau tidak ingin membuat para tamunya terlalu lama menunggu. Karena itu, selesai ngimami salat jama’ah, beliau langsung menemui para tamunya,” ujar wan Sofian.
Maklum, sebagai salah satu guru hikmah yang dikenal selalu bersikap netral kepada siapapun, tak heran jika wan Ali sering dijadikan sebagai tempat jujugan orang-orang yang sedang dalam masalah. Baik untuk keperluan musyawarah atau untuk keperluan meminta fatwa. Begitulah resiko jadi guru hikmah. Harus selalu siap melayani umat tanpa pilih kasih dan tanpa membeda-bedakan.
Terkait dengan tamu yang selalu datang silih berganti itulah, wan Ali sering jadi sorotan anggota keluarga. Mereka setengahnya protes, karena merasa tidak diperhatikan. ”Kenapa Aba sekarang ndak pernah kumpul lagi dengan keluarga? Memangnya Aba sekarang sudah tidak sayang lagi ya dengan keluarga?” tanya cik Nikmah, putri sulung wan Ali.
”Bukan begitu, Nak. Aslinya, Aba pingin sekali bisa kumpul dengan keluarga seperti dulu. Tapi, Aba tidak punya kuasa apa-apa. Aba mohon maaf dan mohon pengertian kalian. Insya Allah, kalau masanya sudah berakhir, kita pasti bisa kumpul lagi seperti dulu,” kata wan Ali sembari meneteskan air mata.
”Nak, ketahuilah, sekiranya Aba bisa menghentikan keinginan para tamu itu untuk datang ke tempat kita ini, insya Allah akan Aba lakukan. Tapi, ternyata, Aba tidak bisa. Karena yang menggerakkan para tamu itu adalah Allah, dan Aba sendiri dalam kekuasaannya Allah, maka Aba mohon permakluman dari kalian. Aba yakin, dibalik peristiwa ini, pasti ada hikmahnya untuk kita. Ya doakan aja agar kita tetap bisa nyatu meski jarang ketemu,” tukas wan Ali. (Firman)

[ 23 ]
Belajar Menentukan Pilihan

JAUH-JAUH hari, wan Ali sudah mengingatkan teman-temannya. Termasuk keluarga, sahabat dan para jama’ah pengajiannya. ”Hidup itu pada akhirnya harus memilih. Memilih sesuatu yang terbaik di antara yang baik. Terlepas apakah kita suka atau tidak suka. Sebab, begitulah konsekuensi hidup,” ujar wan Ali.
”Maaf, wan Ali, mumpung ingat, saya mau tanya. Bagaimana caranya agar pilihan yang akan kita pilih itu, tidak membuat kita jadi celaka?” kata wan Abu.
”Pertanyaan brillian,” jawab wan Ali. “Tapi, maaf, mungkin jawaban saya ini kurang pas. Sebab, jujur saja, saya tidak tahu harus menjawab apa. Pasalnya, sampai dengan saat ini, saya sendiri masih terus belajar menemukan jawaban yang tepat dari pertanyan wan Abu tadi.”
Diakui wan Ali, bahwa dirinya sendiri, terkadang selalu bertanya-tanya tentang persoalan yang sama. Bahkan, kata wan Ali, dalam posisi ketika dia telah membuat sebuah pilihan atau keputusan sekalipun, dia mengaku masih sering diterpa rasa ragu.
”Sehubungan dengan pertanyaan wan Abu tadi, saya jadi ingat pesan dari guru saya dulu. Menurut beliau, sebelum kita mengambil sebuah keputusan, sebaiknya kita harus punya prinsip terlebih dahulu. Prinsip itulah yang kelak akan menjadi pedomannya atau pathokan. Seperti halnya sebuah kompas, yang dijadikan pedomannya adalah utara. Kalau ndak mau manut, ya bisa kesasar,” ujar wan Ali mengutip dhawuh gurunya.
Karena itu, lanjutnya, dalam mengambil keputusan, wan Ali mengaku, yang dijadikan sebagai pedomannya adalah, milih yang paling bener. Tapi tidak boleh merasa benar.
”Kalau yang selama ini saya lakukan, sebelum memilih, saya biasanya berusaha belajar memfungsikan rasa yang ada di dalam hati kecil saya. Jika hati kecil saya merasa ringan, tenang dan santai, misalnya, maka biasanya hati saya langsung menuntun akal saya untuk memilih apa yang sebaiknya harus saya pilih. Insya Allah, itulah yang terbaik. Tapi, sampeyan tidak harus seperti saya. Silahkan tanya pada hati kecil sampeyan sendiri,” tandas wan Ali. (Firman)

[ 24 ]
Belajar Dari Pemilu

”ASLINYA, dalam pemilu, yang namanya jadi pemilih itu, sebetulnya merupakan jabatan terhormat. Pasalnya kenapa? Karena, hanya pemilih yang bisa dan punya hak untuk memilih siapa saja yang dia sukai. Sedang yang dipilih, biasanya, hanya bisa memilih untuk dirinya sendiri. Tidak mungkin orang yang akan dipilih itu, memilih orang lain. Lebih-lebih memilih rival politiknya,” kata wan Ali ketika menyampaikan orasi politiknya di hadapan para jama’ah tetapnya setelah salat Isya’.
”Karena itu,” ujar bapak dua anak tersebut, ”suara sampeyan sedaya sangat menentukan. Tanpa suara sampeyan sedaya, tak akan ada orang yang bisa duduk di parlemen. Dan, tentu saja, tak akan ada pula partai politik yang bisa memperoleh suara terbanyak di parlemen.”
”Oleh sebab itulah,” imbuh wan Ali, ”saya mengajak sampeyan sedaya untuk menunaikan hak pilih sampeyan pada saat pemilu mendatang. Sebab, di tangan sampeyanlah nasib dan masa depan demokrasi negeri ini akan ditentukan. Jika sampeyan memilih golput (tidak mau memilih), ya itu hak sampeyan. Yang penting, jangan menghalangi dan mempengaruhi orang yang ingin memilih. Dan jangan pula mengadili orang yang tidak mau memilih pas pencoblosan nanti.”
“Mari, lewat pemilu tahun ini, kita mencoba bareng-bareng belajar untuk saling menghormati dan saling menghargai pilihan yang diambil oleh orang lain. Karena, di situlah letak intinya dari demokrasi. Tanpa adanya penghormatan dan saling menghargai satu sama lain, apalah artinya berdemokrasi. Termasuk pilihan untuk tidak mau memilih,” kata wan Ali.
”Tanya wan Ali. Bagaimana kalau, misalnya, ada caleg yang datang memberi uang pada masyarakat, apakah uangnya kita tolak atau kita terima? Terus, apakah suara kita diberikan kepada orang yang memberi uang tersebut?” ujar wan Dirja.
“Wah, kalau soal seperti itu, saya serahkan pada sampeyan sedaya. Saya tidak punya hak untuk mengarahkan. Yang jelas, jika kita mengacu pada undang-undang pemilu, jelas bahwa melakukan money politic itu adalah perbuatan yang tidak diperbolehkan,” tandas wan Ali. (Firman)

[ 25 ]
Belajar Berjiwa Besar

PROSES pemilihan legislatif akhirnya selesai dilakukan. Kini, semua partai politik peserta pemilu, sport jantung. Terutama para calon legislatif alias calon wakil rakyat. Degub jantung para caleg dan parpol pun akhirnya berdetak kencang. Mirip seperti suara derap kaki kuda ketika berada di arena pacuan. Dag-dig-dug, dag-dig-dug.
”Wah, suhu politik di tempat kita makin memanas, ya wan Ali?” ujar wan Thalib, membuka pembicaraan di padepokan hikmah milik wan Ali.
”Ooo ... ya to? Maaf, saya kurang begitu memperhatikan. Memangnya kenapa kok sampai memanas, wan Thalib?” sahut wan Ali seraya menyodorkan segelas kopi hangat.
”Ya, karena sebentar lagi, proses penentuan siapa saja yang bakal menjadi wakil rakyat di parlemen akan dilakukan. Semua caleg yang saya temui mengaku, setelah proses pencontrengan berakhir, jantung mereka jadi deg-degan terus. Tensi darah pun gampang sekali naik. Termasuk saya,” kata wan Thalib.
”Ooo ... begitu. Terus sampeyan sendiri bagaimana?” selidik wan Ali.
”Ya ... tinggal menunggu waktu. Kalau perolehan suaranya memadai, berarti saya harus siap-siap untuk dilantik jadi anggota dewan. Jika sebaliknya, ya mau bagaimana lagi? Toh ... saya ikhtiar,” jawab wan Thalib.
”Ya ... disyukuri saja, wan Thalib. Menang-kalah dalam sebuah kompetisi itu, biasa. Jangan takut jika ditakdirkan kalah, dan jangan rumongso hebat jika ternyata bisa lolos jadi anggota dewan. Toh semua itu adalah sebuah proses dalam kita belajar memanggul amanah dan mengenal hakikat kekuasaan,” komentar wan Ali.
”Kalau selama kampanye terbuka kemarin itu, semua caleg sudah berusaha tampil maksimal, maka sekarang adalah waktu yang tepat bagi para caleg untuk belajar mengukur seberapa kuat ia bisa mengendalikan emosinya. Inilah momentum yang pas untuk belajar berjiwa besar,” tandas wan Ali.
“Ndak perlu berkecil hati, jika suara yang sampeyan peroleh tidak cukup untuk dipakai sebagai kendaraan bagi sampeyan duduk di parlemen. Wong tanpa duduk di kursi dewan pun, aslinya, sampeyan masih tetap bisa mengabdi dan beribadah dengan tenang. Ya to?” kata wan Ali. (Firman)

[ 26 ]
Menghitung Kekuatan Emosi

”KALAH menang itu biasa. Ya, begitulah konsekuensi sebuah pertarungan dalam kehidupan. Tidak perlu digetuni jika kalah, dan tak perlu semangkean lantaran bisa memenangkan sebuah pertarungan,” ujar wan Ali ketika memberi siraman rohani kepada para pendukung parpol dan para caleg, beberapa saat sebelum penghitungan suara dimulai.
Suasana di Tempat Pemungutan Suara (TPS) memang terlihat tegang. Apalagi para pendukung parpol, para pemilih dan para caleg, setelah mencontreng tidak langsung pulang. Mereka masih berkumpul di balai desa. Maklumlah, mereka mungkin ingin menjadi saksi bagi proses perjalanan demokrasi di negeri ini.
Meski suasananya saat itu tidak begitu mencekam, tapi situasi tersebut, sewaktu-waktu bisa berubah. Apalagi banyak orang-orang yang berteriak sembari mengeluarkan kata-kata yang kurang sedap. Baik itu berupa cacian dan olokan yang ditujukan kepada para petugas yang menghitung suara.
”Wah, situasi seperti ini, jika dibiarkan berlarut-larut, bisa berpotensi bakal terjadinya konflik antar pendukung parpol atau caleg. Pripun saene, wan Ali?” tanya wan Juned dengan mimik wajah sedikit cemas.
”Lho ... memangnya ada apa? Bukankah di sekeliling kita sudah banyak para petugas Kepolisian dan TNI? Kenapa sampeyan jadi cemas, wan Juned? Toh, kalau nanti ada apa-apa, saya yakin, para petugas dari Kepolisian dan TNI sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Jadi, santai saja, wan Juned. Kita nikmati saja. Ya, hitung-hitung, kita bisa belajar untuk mengetahui seberapa besar kita mampu mengendalikan dan menahan emosi kita masing-masing,” tukas wan Ali.
”Tapi, kalau misalnya sampeyan merasa tidak kuat netral, ya silahkan ngalih. Jangan berada di kawasan ini, supaya sampeyan tidak main hati. Sebaliknya, jika sampeyan bisa netral, ya kesempatan bagi sampeyan untuk belajar mendoakan semua makhluk yang ada di kawasan ini agar selamat iman-Islamnya dan terhindar dari marabahaya akibat tidak bisa mengendalikan emosinya,” nasihat wan Ali seraya mengajak wan Juned mencari posisi untuk duduk. (Firman)

[ 27 ]
Motif Dibalik Kemenangan

“TAK ada yang gratis dalam hidup ini. Semua ada harganya. Kalau memang mau menang dan mau memperoleh suara terbanyak, gampang. Semua bisa diatur. Yang penting, asal uba rampainya dipenuhi, ditanggung beres,” ujar wan Munib dengan suara lantang saat bertemu dengan salah satu caleg, sehari sebelum proses pencontrengan dilakukan.
Menurut rumor yang beredar di masyarakat, jika wan Munib berhasil menghimpun suara untuk keperluan memuluskan jalan bagi sang caleg agar bisa duduk di kursi dewan, maka sang caleg menjanjikan akan memberi uang bonus, khusus untuk wan Munib. Jumlahnya pun cukup menggiurkan, yaitu 150 juta.
Luar biasa, bukan? Hanya dengan cara menggalang suara, wan Munib bisa dapat uang dalam jumlah yang besar. Padahal, jauh sebelumnya, wan Munib yang dikenal warga sebagai ‘makelar politik’ itu, telah berulangkali menunjukkan kesuksesannya dalam menggalang massa agar mau menghadiri setiap jadwal kampanye yang dilakukan oleh sang caleg. Dan, tentu saja, setiap keberhasilan yang dia lakukan itu, wan Munib selalu memperoleh uang bonus dari sang caleg.
“Yang jelas, uang 150 juta itu, diluar dari uang saku untuk para pemilih. Yang penting, prosesnya cantik dan aman. Adapun uang saku untuk para pemilih, akan saya berikan setelah proses penghitungan suara selesai dilakukan. Supaya jelas, berapa banyak jumlah suara yang harus saya bayar. Terserah sampeyan bagaimana mengaturnya agar saya bisa jadi caleg dari dapil sini. Bagaimana, wan Munib, apa sampeyan sanggup?” tanya sang caleg mantab.
”Ooo ... tidak masalah. Yang penting, sampeyan komit dengan janji sampeyan sendiri. Kalau sampeyan ingkar, ya sampeyan bakal digantung oleh konstituen sampeyan sendiri,” ujar wan Munib, beberapa saat setelah ia menandatangani surat kontrak suara dengan sang caleg.
Mungkin karena itulah, wan Munib dan massanya tidak langsung pulang setelah melakukan pencontrengan. Mereka berkumpul di tempat penghitungan suara itu, tidak lain adalah, untuk memantau perolehan suara sang caleg. Untunglah, perolehan suara sang caleg ternyata melebihi target. Wan Munib pun akhirnya bisa tersenyum lepas. ”Wah ... tercapai sudah cita-citaku,” katanya lirih. (Firman)

[ 28 ]
Lakon Apus-apusan

”PERJUANGAN masih panjang. Bisa meraih kemenangan dalam pemilu, bukanlah akhir dari sebuah perjuangan. Ini baru permulaan. Masih banyak pekerjaan yang telah menunggu di depan kita. Jadi, jangan mabuk kemenangan dulu,” nasihat wan Ali pada wan Thalib, caleg partai angin ribut, beberapa saat setelah tim penghitungan suara selesai menyampaikan hasil perolehan suara untuk para kontestan pemilu.
Alhamdulillah, meski proses penghitungan suara sempat berjalan cukup alot, tapi akhirnya selesai juga. Ribuan pendukung parpol dan caleg yang berhasil meraih suara mayoritas, bersorak-sorai. Bahkan beberapa di antara mereka itu, ada pula yang berjingkrak-jingkrak karena gembira melihat partai dan calegnya bisa lolos dalam pemilu tahun ini.
“Wah … partai saya kalah, wan Ali. Perolehan suara dari konstituen saya, ternyata tidak bisa memenuhi kuota yang telah ditetapkan oleh KPU. Itu artinya, saya gagal jadi anggota dewan, wan Ali,” ungkap Kang Somad dengan mimik wajah yang sedih. Matanya berbinar-binar.
”Alah, ndak apa-apa, Kang Somad. Kalah-menang dalam sebuah kompetisi itu, biasa. Jangan nglokro kayak gitu to. Kabeh iku mesti ono pelajarane dewe-dewe. Wis, saiki coba atine ditata. Bangun syukur marang Gusti Allah, amargi pesta demokrasi tahun niki mpun terlaksana dengan baik. Mboten enten kegaduhan. Niku mawon mang olah,” ujar wan Ali menanggapi keluhan Kang Somad.
”Angel, wan Ali. Atiku saiki lagek ajor amoh. Sirahku lagek mumet, dadi ndak iso mikir. Piye apik-e?” sahut Kang Somad.
”Mulane, ra sah dipikir. Nek mikir, sampeyan malah dadi mumet. Mending saiki bolo-bolo sampeyan dijak muleh wae, bek ora kepancing emosine. Nek wis tekan omah, coba sampeyan salat, nyuwun dipernahne Gusti Allah. Sing penting kan sampeyan wis ikhtiar. Perkara saiki sampeyan urung kepilih, iku mung soal waktu. Sopo ngerti pas pemilu ngarep, sampeyan malah kepilih, Kang Somad,” kata wan Ali sambil menepuk-nepuk pundak Kang Somad.
”Wong kabeh iku asline mung lakon kok, Kang Somad. Mulane, sampeyan ra sah sedih. Saiki sampeyan urung diwe-i lakon, ya ra popo. Ra sah digetuni. Disyukuri mawon. Wong asline, kabeh iku mung lakon apus-apusan kok. Ketok e apik, jan-jane asline urung mesti apik. Ketok e elek, ya asline urung mesti elek tenanan, Kang Somad,” tandas wan Ali. (Firman)

[ 29 ]
Susah Berbuah Nikmat

SUSAH, sedih, sakit, luka dan derita adalah lawan dari nikmat, senang, indah, bahagia dan gembira. Dua keadaan yang sering dialami manusia dalam kehidupan tersebut, jika disikapi secara arif dan bijaksana, akan membuahkan ilmu tentang rasa --- sebuah ilmu yang tak mudah untuk dipelajari, dihayati dan diresapi.
Pasalnya kenapa? Karena, kebanyakan manusia, cenderung lebih menyukai sesuatu yang bisa menimbulkan kesenangan, ketenangan, ketenteraman, kebahagiaan dan kegembiraan daripada sebaliknya. Padahal, aslinya, di balik setiap keadaan yang menghampiri manusia itu, biasanya selalu disertai oleh keadaan sebaliknya.
Misalnya, rasa senang. Di balik hadirnya rasa senang itu, sesungguhnya tersembunyi rasa susah. Persoalannya tinggal bergantung bagaimana cara orang yang sedang menerima keadaan itu dalam menangkap pengrasa lainnya yang menyertai keadaan sebelumnya.
Kondisi itulah yang sedang dialami oleh Kang Somad. Saat dia merasakan adanya rasa sedih yang amat sangat di dalam hatinya --- lantaran mengetahui bahwa perolehan suara untuk partai dan dirinya tidak bisa memenuhi quota yang telah ditetapkan oleh KPU --- tiba-tiba, dalam waktu yang bersamaan, dia bisa merasakan kebahagiaan yang tak terkirakan. Melebihi rasa bahagia jika ia terpilih menjadi anggota dewan.
”Gusti Allah memang Maha Kasih lagi Maha Penyayang, ya wan Ali?” ujar Kang Somad dengan mimik wajah yang bersinar terang bak bulan purnama.
”Lho, sampeyan baru tahu to Kang kalau Gusti Allah itu Maha Kasih lagi Maha Penyayang? Memangnya selama ini sampeyan belum bisa merasakannya? Apa yang telah menutup penglihatan dan pengrasa sampeyan sehingga tidak bisa merasakan kasih sayang Gusti Allah?” selidik wan Ali.
”Ya, mungkin karena saya selama ini masih dikuasai hawa nafsu, wan Ali. Akibatnya, penglihatan dan pengrasa saya jadi tidak bisa berfungsi secara maksimal. Untunglah, kejatuhan saya di dunia politik ini, malah membuahkan sadar dan bisa merasakan kenikmatan secara rohani bagi saya dan keluarga. Inilah yang disebut susah berbuah nikmat,” kata Kang Somad. (Firman)

Meniti Karir Politik Secara Elegan


[ 17 ]
Jadi Politikus Handal

MENJADI seorang politikus yang handal itu tidak mudah. Sebab, banyak hal yang harus dipenuhi. Diantaranya: Satu, calon politikus harus punya keterampilan khusus dalam berpolitik. Dua, ia harus cerdas dalam membaca situasi politik yang sedang berkembang.
Tiga, ia harus cekatan dalam mengambil keputusan dan membaca peluang yang ada di hadapannya. Selain itu, empat, calon politikus harus tahan banting. Termasuk, ia harus pula punya jiwa besar untuk menerima kritik dan saran dari lawan politik maupun dari konstituennya.
”Tapi ingat,” ujar wan Arif, salah seorang pengamat politik yang lagi naik daun, ”bisa punya keempat syarat itu, tidak otomatis dapat dijadikan sebagai jaminan, bahwa orang tersebut bakal lancar perjalanannya untuk menjadi wakil rakyat yang mumpuni. Masih perlu tambahan syarat lainnya. Yakni, harus kuat gondhelannya kepada Tuhan Yang Sebenarnya dan harus siap pula untuk kalah. Dua hal yang disebut terakhir ini, kedudukannya saling melengkapi satu sama lain.”
Berbicara di hadapan ratusan para caleg, wan Arif mengatakan, ”Sejak pertumbuhan parpol yang kian marak seperti sekarang ini, saya melihat, di negeri ini makin banyak orang yang nekad. Nekad ingin menjadi wakil rakyat. Padahal, sebetulnya, dia tidak punya kemampuan apa-apa. Modalnya, ya nekad itu tadi.”
”Gilanya lagi,” imbuh wan Arif, ”dalam kondisi yang serba terbatas itu tadi, makin dirumitkan dengan masalah tak berfungsinya akal sehat mereka yang tengah bermimpi ingin menjadi wakil rakyat tersebut. Akibatnya, mereka pun akhirnya mengumbar hawa nafsu yang seharusnya mereka kendalikan.”
”Wah, ngeri ya wan Ali? Jika analisis wan Arif itu benar, maka berarti setelah pemilu nanti selesai, bakal banyak orang yang jadi stress hidupnya, ya wan Ali?” ujar wan Thalib sambil berbisik-bisik.
“Ya mau bagaimana lagi, wan Thalib? Begitulah resiko hidup. Ada yang waras dan ada yang tidak waras. Tapi, jika kita mau belajar dari semua kejadian itu tadi, insya Allah nanti akan membuka rasa butuh kita kepada Sang Pencipta. Kita doakan saja,” tukas wan Ali. (Firman)

[ 18 ]
Trik Merebut Suara

caleg, selebritis dan dukun, adalah tiga profesi yang sedang menjadi sorotan oleh banyak pihak. Pasalnya, ketiga profesi tersebut, ibarat setali tiga uang. Terutama selama menjelang pemilu. Selebritis dan dukun jadi laku keras.
Ada yang secara terang-terangan minta dukungan dari para selebritis dan dukun, ada pula yang melakukannya dengan cara sembunyi-sembunyi. Termasuk minta dukungan para tokoh agama. Semua itu mereka lakukan, karena mereka ingin berebut suara.
”Maklumlah, pemilu kali ini kan, tidak sama seperti pemilu-pemilu sebelumnya. Sekarang itu, siapa yang dapat suara banyak, maka dia berpeluang untuk menjadi anggota legislatif,” ujar wan Thalib, caleg dari partai angin ribut, ketika dimintai komentarnya oleh wartawan mengenai fenomena poster caleg yang dipasang bersama foto para selebritis.
”Anda sendiri kenapa tidak melakukan hal yang sama, wan Thalib?” tanya para wartawan.
”Saya? Ha ... ha ... ha ... Kalau saya sih punya cara sendiri dalam merebut suara dari konstituen saya. Jadi saya tidak perlu harus ikut-ikutan seperti yang dilakukan para caleg lainnya,” jawab wan Thalib.
”Bisa Anda ceritakan bagaimana trik yang akan Anda terapkan dalam pemilu tahun ini?” cecar wartawan media elektronik.
”Wah ... kalau tentang hal itu, sebetulnya, rahasia. Tapi, karena Anda ingin tahu, ya terpaksa saya ceritakan. Trik saya sih sederhana saja. Yaitu, bangun yakin kalau Tuhan Yang Sebenarnya telah mencukupi dan memenuhi semua keinginan saya. Jadi, saya tidak ingin mengandalkan gerak lahir. Kalaupun saya melakukan sesuatu, ya hal itu tak lebih hanya sebagai syarat untuk adanya ikhtiar. Selebihnya, saya pasrah pada kehendak Tuhan,” ungkap wan Thalib.
”Bagaimana jika trik Anda itu ternyata tidak membuahkan hasil? Misalnya, suara yang Anda peroleh tidak mencukupi dan Anda akhirnya tidak terpilih jadi anggota legislatif. Apa yang akan Anda lakukan?” gantian wartawan media cetak yang bertanya.
”Ya tetap bangun syukur. Wong jadi caleg itu adalah ujian, bukan tujuan. Terpilih, ya syukur. Tidak terpilih, ya tidak apa-apa. Yang penting, saya berusaha untuk meyakini kejadian itu adalah ’hadiah’ terbaik dari Gusti Allah,” tandas wan Thalib. (Firman)

[ 19 ]
Belajar Menghormati

DALAM kampanye terbuka, banyak caleg yang sering tergoda untuk menyoal dan menyoroti lawan politiknya yang berkampanye di daerah pemilihannya. Mulai dari cara berkampanye, media kampanye yang dipergunakan sampai isi kampanye dari para lawan politiknya.
Akibat adanya pengadilan politik semacam itu, tensi hawa negatif yang ada di dalam diri para konstituen pun akhirnya mengalami peningkatan. Suhunya bisa menembus batas kewajaran. Jika hal itu dibiarkan berlarut-larut dan terus dikompor-kompori, bisa jadi akan menimbulkan adanya konflik fisik di tingkat arus bawah.
Untuk mencegah agar hal tersebut tidak sampai terjadi, wan Ali mengambil inisiatif untuk mengundang para juru kampanye (jurkam) dan para caleg yang akan berkampanye terbuka di wilayahnya. Mereka diajak kumpul di padepokan hikmah milik wan Ali untuk musyawarah bersama guna menjaga agar kondisi di wilayahnya tetap kondusif.
”Para sederek, matur nuwun, panjenengan sedaya saget rawuh teng gubuk kulo. Enggeh, mugi-mugi, pertemuan dinten niki saget dadi alat kagem nguatake tali silaturahmi di antara kita sedaya. Amin,” ujar wan Ali membuka acara, seraya menjelaskan tentang maksud dari pertemuan tersebut.
”Sebetulnya, lewat pertemuan ini, saya ingin mengajak panjenengan sedaya untuk bareng-bareng memikirkan tentang bagaimana caranya agar masyarakat di dapil ini, meskipun ikut dalam pesta demokrasi, tapi bisa tetap rukun. Sebab, beberapa hari belakangan ini, saya merasakan ada tanda-tanda bakal akan adanya gesekan di masyarakat. Karena itu, panjenengan sedaya saya minta bantuannya untuk menemukan bagaimana jalan keluarnya agar tidak terjadi konflik di wilayah ini,” imbuh wan Ali.
Pada kesempatan itu wan Ali juga mengingatkan para caleg dan jurkam, bahwa terpilih atau tidaknya para caleg setelah pemilu nanti, masyarakat di dapilnya itu, tetap akan menjadi warga. Jika sebelum pemilu saja kondisinya sudah tercabik-cabik, bagaimana setelah pemilu nanti? Toh yang bakal repot, ya para caleg yang terpilih itu sendiri. Termasuk yang tidak terpilih, juga bakal kena getahnya.
”Karena itu, mari kita jadikan ajang kampanye terbuka kali ini sebagai media untuk kita bisa belajar saling menghormati dan belajar menjaga ketenangan bersama,” ajak wan Ali. (Firman)

Mengumbar Wajah Dalam Politik


[ 13 ]
Politik ’Jual’ Muka?

WAN Aziz bingung menyaksikan banyak wajah para caleg yang bertebaran di sepanjang jalan, gang dan lorong. Ndak laki, ndak perempuan, sama saja. Semua ingin menonjolkan dirinya masing-masing. Ada yang sendirian dan ada juga yang berbarengan.
“Edan tenan pemilu zaman saiki. Kabeh caleg do kepingin ngetop. Asline iki kampanye opo arep ‘jual’ muka? Mosok wajah sing kepingin dadi caleg kok dipampang gede-gede. Sak arat-arat jumlah-e,” komentar wan Aziz dengan nada rada sinis.
”Lho ... kok muring-muring, ono opo wan Aziz? Opo sampeyan keabotan nek para caleg niku do nampang teng prapatan?” tanya wan Ali.
“Bukan begitu, wan Ali,” jawab wan Aziz. “Saya itu hanya menyoal tentang maksud mereka ‘menjual’ mukanya itu lho. Kalau memang mereka pingin kampanye, mbok yao, sing genah ngono lho. Dengan ‘menjual’ muka seperti itu, jan-jane apane to sing arep dewek e kampanyekan iku?”
”Ya tentu mukane to, wan Aziz. Lha opo maneh?” wan Juned ikut nimbrung.
”Aku ngerti, wan Juned. Ning bukan iku sing tak karepke,” sahut wan Aziz.
“Lha … opo?”
“Ya … kudune, sing didol iku program kerjane. Dudu rai-ne. Coba sampeyan amati, opo ono caleg-caleg sing nampang iku dodol program kerjane? Lha ora ono to? Kabeh dodol rail an jeneng. Opo ya pantes?” ujar wan Aziz dengan nada sedikit tinggi.
“Wah … ya jangan begitu, wan Aziz. Sampeyan boleh tidak setuju. Tapi, jangan sampai nesu. Nek sampeyan nesu, isu mara-i tekor lho?” sahut wan Ali.
”Maksudnya pripun, wan Ali?” selidik wan Aziz.
”Ya, nek sampeyan nesu, iku berarti sampeyan bakal kesel dewe. Nek wis kesel, biasane iso mara-i pegel lan sumpek. Akhir-e, malah dadi gampang su’udzan. Wah iso mara-i kesikso lho urip koyo ngono kuwi,” kata wan Ali.
“Terus, pripun sae-ne, wan Ali?” tanya wan Aziz.
”Ya nek cara kulo, mending milih ndungoake sing sae kagem sedaya caleg niku. Mbok menawa, lewat dodol rai lan jeneng iku, iso datangke keselametan tiyang katah,” tandas wan Ali sambil pamit pulang ke rumahnya. (Firman)

[ 14 ]
Menuju Politik Bersih

GARA-gara terpengaruh rumor yang sedang beredar, wan Thalib, salah satu caleg dari partai angin ribut, jadi seperti orang sedang kebakaran jenggotnya. Pasalnya, dia bingung dan tak mengira bakal bersaing dengan wan Ismail, caleg dari partai meteor, dalam satu wilayah pemilihan.
“Wis … bisa-bisa saya gagal jadi caleg dalam pemilu kali ini,” ujar wan Thalib pada istrinya, cik Nissa.
“Lho … memangnya ada apa, Bang? Dari nadanya, sepertinya Abang sedang kehilangan semangat dan keberanian untuk maju jadi caleg,” cik Nissa berusaha menganalisis kondisi psikologis suaminya, wan Thalib.
“Saya juga tidak tahu, mengapa tiba-tiba saya tidak berselera untuk jadi caleg,” jawab wan Thalib, berusaha menyembunyikan perasaan cemasnya.
“Apa ada hubungannya dengan masalah wan Mail yang kebetulan daerah pemilihannya sama dengan Abang?” selidik cik Nissa.
Mendengar pertanyaan tersebut, wan Thalib sempat kaget. Dia tidak mengira istrinya bisa punya feeling politik yang cukup tajam. Buktinya, istrinya bisa menangkap kegelisahan hatinya dalam menghadapi wan Mail. Sebab, wan Mail, teman dekat suaminya itu, dari dulu hingga sekarang terkenal suka berlaku curang.
“Sudahlah Bang, ndak usah dipikir serius. Kalau memang ada jatah bagi Abang untuk jadi wakil rakyat dalam pemilu kali ini, Tuhan pasti akan memberi jalan. Kalau ndak ada, ya ndak apa-apa. Yang penting, Abang jangan berburuk sangka dulu. Yang namanya jatah itu, tak akan lari dan tak ada satu pun makhluk yang dapat menghilangkannya,” saran cik Nissa.
Dalam hati, wan Thalib tersenyum. Sepertinya, ia sepakat dengan saran yang baru saja disampaikan oleh istrinya. ”Benar saran Dinda itu. Abang tidak perlu khawatir. Sebab, semua sudah diatur oleh Yang Maha Mengatur. Jadi, enjoy aja ya Dinda?” komentar wan Thalib.
“Ya, Abang tidak usah cemas. Kalau memang wan Mail ingin menempuh jalan politik kotor, ya biarkan saja. Yang penting Abang tidak melakukannya. Abang harus tetap belajar istiqamah. Berpolitik secara sehat dan bersih. Dan jangan lupa mendoakan keselamatan untuk orang lain. Mudah-mudahan, Tuhan menyelamatkan jalan hidup kita,” tandas cik Nissa. (Firman)

[ 15 ]
Ketik Reg Spasi, Kirim ke ....

MIRIP sebuah iklan yang sedang marak ditayangkan di televisi, gambar wan Ismail terpampang besar sekali di perempatan jalan utama kampung. Di bagian atas dari spanduk itu tertulis: ”Mohon doa restu dan dukungannya. Wan Ismail, calon DPRD Tingkat I, Dapil 5 nomor urut 1. Jangan lupa lho, dicontreng yo?”
Lewat spanduk besar itu, wan Mail, begitu dia biasa dipanggil, juga meminta konstituennya untuk mendaftarkan dukungannya dengan cara mengirim sms (short message service) ke nomor handphone yang selalu on time di markasnya. “Ketik Reg Spasi, kirim ke nomor …., dukungan Anda, akan kami perhatikan,” begitu isi iklannya.
”Wah ... nek ngono carane, berarti wan Mail bakal main money politic. Ndak bener nek ngono carane,” komentar wan Juned ketika bertemu wan Thalib dan wan Ali di padepokan hikmah wan Ali.
“Waduh ... serius temen tuduhan sampeyan niku, wan Juned. Wis nduwe bukti po? Gek-gek mung jarene. Ojo waton ngomong lho. Mengko dadi dowo urusanne,” sergah wan Ali.
“Lho … saya ndak ngomong sembarangan, wan Ali. Saya punya bukti kalau wan Mail berencana mau main money politic,” wan Juned membela diri.
“Mana buktine? Nek sampeyan pancen nduwe bukti, ayo saiki tak kancani nemoni panitia pemilu. Dilaporne mawon, ben jelas duduk perkarane. Ning, nek ora nduwe alat bukti yang akurat, ojo pisan-pisan niat arep nyebar fitnah. Iki perkara serius. Sebab, menyangkut nama baik orang lain,” nasihat wan Ali.
”Lha ... isi iklane wan Mail iku kan mpun cukup to wan Ali kagem bukti untuk menunjukkan bahwa wan Mail jan-jane wis ancang-ancang arep tuku swara,” kilah wan Thalib.
”Wah ... ya jangan begitu, wan Thalib. Kalau yang dijadikan sebagai dalilnya adalah soal Reg Spasi, itu sama saja kita telah menuduh wan Mail telah berlaku curang. Padahal, tulisan iklan seperti itu, belum bisa dijadikan sebagai alat bukti. Kecuali jelas-jelas wan Mail sedang bagi-bagi uang ke konstituennya dengan maksud untuk beli suaranya,” tandas wan Ali.
Mendengar keterangan wan Ali itu, sontak membuat wan Juned dan wan Thalib jadi ndak enak hati. Mukanya mendadak berubah jadi pucat pasi. Tak lama setelah itu, mereka pun pamit pulang. (Firman)

[ 16 ]
Siap Untuk Kalah

SUHU politik makin memanas. Apalagi pemilu tinggal beberapa hari lagi. Karena itulah, hampir setiap hari, selalu saja ada pembahasan tentang babagan politik muncul di padepokan hikmah milik wan Ali.
Mulai dari bejibunnya nama para caleg sampai soal nama parpol yang tak mudah untuk diingat. Termasuk tentang masalah teknis pemilihan yang dianggap bakal menjadi batu sandungan bagi para caleg dan konstituennya.
”Pemilu kali ini, betul-betul bikin pusing banyak orang. Terutama bagi para caleg dan konstituennya,” ungkap wan Thalib, caleg dari partai berlambang angin ribut nomor urut 3.
“Ya, betul wan Thalib. Terus terang, saya itu, kasihan dengan para pemilih yang tidak bisa membaca kertas suara. Bisa-bisa, suaranya nanti jadi rusak atau lari ke tempat yang salah,” sahut wan Juned sambil mengepulkan asap rokoknya.
“Bagaimana menurut sampeyan, wan Ali?” tanya wan Aziz dengan nada sedikit menyelidik.
”Kalau saya sih, selaku pemilih, ya enjoy aja. Ngapain saya pusing-pusing mikirin masalah tersebut. Wong tinggal nyontreng aja kok repot,” jawab wan Ali seraya menyuguhkan secangkir teh hangat ke para tamunya.
“Kalau pun ada yang saya khawatirkan saat ini adalah,” lanjut wan Ali, ”soal kesiapan para caleg dalam menerima kekalahannya. Hanya itu. Tapi, setelah saya renungkan lagi, saya jadi tertawa sendiri. Ngapain saya cemas, wong semua itu sudah ada yang ngurus.”
”Karena itu,” imbuh dia, ”saya hanya bisa mengingatkan sampeyan, sebagai pelaku politik, tolong siapkanlah diri sampeyan agar tidak kecewa. Apalagi jika ternyata, suara yang bakal sampeyan peroleh itu nanti tidak memadahi. Kalau sampeyan tidak mempersiapkannya dari sekarang, bisa-bisa sampeyan nanti jadi gampang su’uzhann pada Gusti Allah.”
”Boleh-boleh saja punya cita-cita, tapi kalau bisa, jangan memaksa Allah. Jalani saja apa adanya. Ndak usah ngayawara. Kalau memang tidak terpilih, ya sudah. Disyukuri saja. Jangan kecewa. Yakinlah, yang demikian itu adalah ’hadiah’ terbaik dari Gusti Allah untuk sampeyan,” tandas wan Ali. (Firman)

Menata Pesta Demokrasi


[ 9 ]
Pemilu = Pestanya Hawa Nafsu?

WAN Ali mengingatkan jama’ah pengajian rutin yang hadir setiap malam Jum’at di kampungnya. Mereka diminta untuk mewaspadai hawa negatif yang menyertai perkembangan situasi politik yang makin memanas. Terutama setelah KPU mengeluarkan secara resmi daftar nama-nama calon tetap anggota legislatif untuk tingkat I, II dan pusat.
”Saudaraku, situasi politik di negeri kita akhir-akhir ini, panasnya terasa semakin menyengat. Hawa negatif yang ikut serta dalam kendaraan masing-masing bakal calon anggota dewan, mulai menebarkan aroma yang kurang bersahabat. Karena itu, sampeyan sedaya harus kuat pegangannya pada tali Allah. Sebab, sekarang ini, banyak orang yang sudah lupa dengan tujuan hidup di dunia,” ujar wan Ali.
”Apa sebabnya sehingga manusia banyak yang sudah lupa dengan tujuan hidup di dunia ini? Karena kebanyakan di antara manusia itu, memberi ruang yang lebar untuk bangkitnya hawa nafsu di dalam diri mereka sendiri. Akibatnya, mereka jadi kehilangan kendali untuk bisa mengontrol gerak hawa nafsu mereka sendiri,” lanjut wan Ali.
”Satu-satunya cara yang bisa kita lakukan sekarang ini adalah,” imbuhnya, ”mari kita belajar menahan diri. Belajar melemahkan kehendak hawa nafsu. Sebab, yang namanya kehendak hawa nafsu itu, bisanya, selalu cenderung mengajak tuannya untuk menuju ke arah negatif daripada positif. Jika hal itu sampai terjadi, yang bakal rugi adalah diri kita sendiri.”
***
PADA kesempatan itu, wan Ali juga mengingatkan para jama’ahnya agar tidak mudah terprovokasi oleh bujuk rayu dan iming-iming dari para politik yang haus akan kekuasaan. Sebab, bujuk rayu dan iming-iming itu, aslinya adalah, bentuk lain dari hawa nafsu yang didzahirkan.
”Kalau memang sampeyan sedaya ingin memberi suara, maka pilihlah calon yang memang sampeyan kenal dan telah terbukti amanah. Jangan sembarang pilih atau memilih asal-asalan. Apalagi memilih karena pengaruh selembar uang. Itu namanya jual-beli suara,” kata wan Ali.
”Negeri ini tidak akan pernah bisa bersih, kalau kita masih memberi ruang untuk berkiprah bagi para politikus yang haus akan kekuasaan. Apapun alasannya, jual-beli suara itu, bukanlah jalan keluar yang tepat untuk bisa mengubah nasib negeri ini di masa datang. Kalau memang kita ingin merubah negeri ini, mari kita rubah sifat buruk yang masih mendekam di dalam diri kita masing-masing,” tukas wan Ali dengan nada yang agak bergetar.
”Yang tak kalah pentingnya lagi untuk kita perhatikan adalah,” tandasnya, ”apakah pesta demokrasi kali ini mau kita jadikan sebagai sarana untuk belajar hidup beragama, atau malah sebaliknya? Yaitu, kita jadikan sebagai ajang untuk bisa menyalurkan keinginan hawa nafsu yang selama ini masih terpendam di dalam diri kita masing-masing?” (Firman)


[ 10 ]
Menata Kampanye di Ruang Publik

”GAWAT! Diam-diam, ternyata, di negeri ini, masih cukup banyak orang yang ’gila’ pada kekuasaan. Lihat saja gambar-gambar yang dipasang di setiap ruang kosong milik publik. Mereka berebut tampil di tempat-tempat yang strategis agar bisa dikenal dan diingat oleh banyak orang. Semua itu, merupakan bukti nyata dari betapa banyaknya orang-orang yang gila pada kekuasaan,” ujar wan Juned dengan nada sinis ketika mengomentari foto-foto para caleg yang ada di sepanjang jalan utama menuju ke kampungnya.
“Huuussssst … jangan bicara seperti itu. Nanti bisa-bisa ada orang yang tersinggung,” tegur wan Ali sembari menuangkan air hangat ke dalam cangkir kopi dan kemudian mengaduk-aduknya.
”Lho ... ini fakta, wan Ali. Saya bicara bukan asal ngomong. Kalau tidak percaya, silahkan saja sampeyan lihat sendiri foto-foto yang terpampang di sepanjang jalan menuju ke kampung kita ini,” sergah wan Juned.
”Iya, saya tahu. Tapi, jangan terlalu frontal seperti itu. Kurang bagus dalam situasi seperti sekarang ini. Kalau sampeyan tidak setuju, ya jangan dilahirkan seperti itu. Cukup disimpan dalam hati saja,” imbuh wan Ali.
”Kurang bagus bagaimana maksud sampeyan? Apa sampeyan tidak merasa ‘risih’ menyaksikan kondisi kampung kita sekarang ini? Dulu rapi, indah dan asri. Sekarang, malah kesannya sangat kumuh. Pasalnya kenapa? Karena, banyak foto, bendera, spanduk dan baliho yang dipasang di sepanjang jalan menuju ke arah kampung kita ini,” sahut wan Juned.
“Memangnya salah mereka melakukan hal itu, wan Juned?” tanya wan Abu.
”Ini bukan perkara salah benar, wan Abu. Ini soal estetika dalam berpolitik. Masak masang foto, spanduk, bendera dan baliho sak enak-e dewe. Mbok ya-o, ditata sing apik ngono lho. Ben kesan asri-ne tetep kethok. Ojo waton lan sembrono. Iku jeneng-e, ngawur,” jawab wan Juned.
“Kok sampeyan malah jadi sewot to, wan Juned? Wong sing berwenang ngurusi masalah itu, meneng saja. Ngapain kita malah pusing ngurusi perkara yang kayak begituan,” ujar wan Ali.
“Saya itu bukannya sewot, wan Ali. Saya itu tidak setuju dengan cara berpolitik seperti itu. Kalau memang ingin berpolitik tenanan, mbok ya-o, main-ne sing apik. Buat apa berpolitik kalau hanya untuk membuat masyarakat menjadi sumpek dan jibek.,” jawab wan Juned.
“Ooo … itu to yang sampeyan inginkan. Ya, sudah. Kalau begitu, nanti, jika saya ketemu dengan pihak KPU dan Panwaslu, insya Allah akan saya sampaikan uneg-unegnya sampeyan. Mudah-mudahan mereka mau memperhatikan saran yang sampeyan usulkan tadi,” tandas wan Ali.
Sejurus kemudian, suasana di mimbar cakruk pun akhirnya menjadi hening. Mereka sungkan untuk melanjutkan perdebatan malam itu. Yang terdengar hanyalah suara jangkrik, kodok, nyamuk dan tokek. Mirip seperti sebuah orkestra simfony. (Firman)

[ 11 ]
Berpolitik: Tujuan atau Alat Mepet?

”POLITIK itu licik, sadis dan kotor. Disebut licik, karena tujuan berpolitik itu adalah untuk bisa meraih kemenangan. Sedang disebut sadis, karena dalam dunia politik, biasanya tidak mengenal adanya belas kasih. Adapun disebut kotor, karena pada umumnya, untuk bisa merealisasikan tujuan politiknya, para politikus terkadang melakukannya dengan cara-cara yang kotor,” ujar wan Abu, ketika menjawab pertanyaan Kang Bahrun tentang alasan wan Abu tidak mau terjun ke dunia politik. Padahal, menurut Kang Bahrun, wan Abu punya potensi dan punya peluang yang besar untuk bisa sukses di dunia politik.
”Apa orang yang berpolitik itu selalu identik dengan perbuatan kotor, wan Abu?” tanya Kang Bahrun yang merasa masih penasaran dengan sikap wan Abu yang seringkali terkesan sinis dengan para politikus.
”Biasanya sih seperti itu. Sebab, pada umumnya, tak ada ruang yang kosong untuk kebajikan di dalam dunia politik. Yang ada hanyalah ruang kotor dan kotor. Karena itulah, saya tak mau terjun ke dunia politik. Pasalnya, sebelum terjun ke dunia politik saja, aslinya saya sudah bergelimang dengan kotoran. Apalagi jika saya sampai berada di ruang tersebut,” ungkap wan Abu, seraya menceritakan tentang segudang pengalaman pahitnya ketika masih aktif menjadi mahasiswa fakultas ilmu politik. Termasuk tentang kekecewaannya kepada teman-teman sesama mahasiswa di kampusnya yang sering bermain politik praktis dengan cara-cara yang kotor.
***
”PENGALAMAN hidup itu adalah guru terbaik bagi orang-orang yang mau belajar meningkatkan kualitas rohaninya. Syaratnya, yang menjalani harus mau belajar nrima dan belajar mensyukuri kisah perjalanan hidupnya sendiri. Sebaliknya, pengalaman hidup juga terkadang bisa jadi kuburan yang sangat menakutkan, jika yang menjalani tidak mau membuka diri,” sindir wan Ali, tak lama setelah wan Abu menceritakan tentang kisah memilukan yang pernah dialaminya ketika masih jadi mahasiswa dulu.
”Karena itu,” imbuh wan Ali, ”jika sampeyan pernah punya pengalaman hidup yang kurang menyenangkan, sebaiknya jangan terlalu lama dipendam dalam hati dan ingatan. Sebab, perbuatan tersebut bisa merugikan diri sampeyan sendiri.”
”Wong zaman saja bisa berubah, masak situasi tak ikut berubah? Boleh jadi, berpolitik itu kotor, sadis dan licik. Tapi tidak berarti, selamanya politik itu kotor, sadis dan licik. Adakalanya, berpolitik itu juga indah dan menyenangkan. Tergantung bagaimana akhlak orang-orang yang berkiprah di arena tersebut. Kalau politik dijadikan sebagai tujuan, tentu akan sulit untuk bisa steeril dari sifat kotor. Tapi sebaliknya, jika berpolitik dijadikan sebagai alat untuk berjuang mengajak orang agar bisa mepet lan eling marang Sing Maha Kuasa, insya Allah akan menyenangkan,” ujar wan Ali seraya mengepulkan asap rokok kretek kesukaannya. (Firman)

[ 12 ]
Politik Prasangka atau Prasangka Politik?

PADA dasarnya, manusia suka pada keindahan dan suka dengan situasi yang bersih. Siapapun orangnya, ketika melihat sesuatu keadaan itu dalam kondisi bersih, rapi, indah dan asri, maka pastilah hatinya akan merasa senang. Begitu pula sebaliknya, ketika kondisi yang dilihatnya itu dalam keadaan kotor, kumuh dan lusuh, maka pastilah hatinya akan ikut-ikutan jadi sumpek.
”Manusia itu memang tidak tahu diri. Diutus untuk resik-resik penyakit hati, malah sibuk mengotori hatinya dengan melakukan banyak pelanggaran. Edan tenan manungso niku,” ujar wan Aziz ketika ngomong-ngomong santai di depan teras rumahnya bersama wan Abu, wan Amin dan wan Ali.
”Lho ... kok sampeyan punya kesimpulan semacam itu, wan Aziz? Memangnya ada apa?” tanya wan Ali seraya nyeruput kopi hangat yang telah dihidangkan oleh wan Aziz.
Sejurus kemudian, wan Aziz pun menceritakan berbagai kisah tentang pengalaman yang kurang menyenangkan yang pernah dialaminya pada pemilu lima tahun yang lalu. Dia mengaku pernah dibuat kecewa oleh para politikus yang telah membuat ekonomi keluarganya menjadi terpuruk.
”Katanya, kalau sudah terpilih jadi anggota dewan akan memberi proyek. Faktanya, nol besar. Jangankan memberi proyek, ditemui saja susah. Alasannya macam-macam. Rapatlah, meetinglah. Akh, saya sudah tidak percaya lagi dengan para politikus,” imbuh wan Aziz dengan nada kesal.
***
”SALAH satu ujian paling berat yang dihadapi manusia ketika hidup di dunia ini adalah, menjaga prasangka baik kepada sesama makhluk Allah. Apalagi berprasangka baik kepada Allah. Lebih sulit lagi. Tapi, yang namanya pelajaran bangun prasangka baik, ya tetap saja akan dilalui oleh manusia. Terlepas apakah dia suka atau tidak suka, dan siap atau tidak siap,” ujar wan Ali ketika menyampaikan ’pidato politiknya’ di rumah wan Aziz.
”Oleh karena itu,” lanjutnya, ”kita perlu ekstra hati-hati. Terutama dalam menyikapi sebuah persoalan yang ada di hadapan kita. Jangan cepat-cepat mengambil kesimpulan sebelum kita tahu duduk persoalan yang sebenarnya.”
”Kenapa harus seperti itu, wan Ali?” wan Abu tergoda untuk bertanya.
”Karena, kesimpulan yang kita ambil itu, boleh jadi, bukanlah yang sebenarnya. Ibarat kita ingin pergi ke sebuah tempat yang belum kita kenal. Kesimpulan yang tergesa-gesa itu, tak ubahnya seperti sebuah terminal antara. Sedang terminal yang sebenarnya, belum sampai,” jawab wan Ali.
”Benar, boleh jadi, sikap seorang politikus itu --- berdasarkan kaca mata syari’at --- kelihatannya salah. Tapi, apa betul dia benar-benar salah? Kalau, misalnya, lewat perbuatan yang salah itu ia kemudian mendapat ‘hadiah’ hidayah dari Gusti Allah, bagaimana? Apa ndak malah kewirangan kita kepada Gusti Allah? Karena itu, jangan gampang berprasangka buruk,” tandas wan Ali. (Firman)

Berebut Suara Yang Menentukan


Tak ubahnya seperti seorang dukun yang tengah mencari pengikutnya, para bakal calon anggota legislatif (caleg) berusaha mencari simpati dan dukungan dari masyarakat. Berbagai cara untuk bisa merebut simpati rakyat, telah dipersiapkan dan ditempuh oleh para caleg --- lewat tim suksesnya --- agar bisa memperoleh dukungan suara dari masyarakat.
Mulai dari cara-cara yang halus sampai yang superhalus. Mulai dari cara-cara yang santun sampai dengan cara-cara yang berbau intimidasi. Semua itu mereka lakukan semata-mata karena mereka ingin meraih suara sebanyak-banyaknya dari para pemilihnya.
”Sekarang, rakyat betul-betul sedang naik daun. Posisi mereka seperti raja. Suara mereka sangat berharga. Sampeyan tahu pasalnya kenapa? Karena, suara mereka sangat dibutuhkan oleh para caleg. Tanpa suara mereka, tak mungkin seorang caleg bisa duduk di rumah dewan,” ujar wan Abu ketika membuka sidang rohani di cakruk.
”Oleh karena itu,” lanjut wan Abu, ”sebelum pesta demokrasi dimulai, sebaiknya rakyat harus sudah punya sikap yang jelas. Terutama berkaitan dengan hak suara yang akan mereka berikan. Jangan sampai memberi suara kepada orang yang tak jelas asal-usulnya. Dumeh diiming-imingi akan diberi uang, njur langsung dipilih. Itu sama saja dengan telah membodohi rakyat. Masak untuk urusan selama lima tahun sekali, kalah hanya soal selembar uang.”
***
”APAPUN alasannya, jangan pilih caleg yang suka ngobral janji dan suka bagi-bagi uang. Lebih-lebih terhadap caleg yang haus akan kekuasaan, kedudukan dan derajat. Sebab, caleg seperti itu, kalau sudah jadi, biasanya bakal lupa dengan janjinya sendiri. Mereka tak ubahnya seperti duri dalam daging. Kalau ada yang seperti itu, lupakan saja,” wan Juned pun ndak mau kalah saingan, ikut menyampaikan pidato politiknya dengan nada yang menggebu-gebu di mimbar cakruk.
”Ya, saya setuju! Mari kita ’sikat’ para caleg yang suka ngobral janji dan suka menebar uang di masyarakat. Belum jadi saja perilakunya sudah seperti itu, bagaimana kalau nanti sudah jadi anggota dewan? Bisa-bisa, suara rakyat bakal ’dimanipulasi’ oleh mereka,” timpal wan Abu dengan nada sedikit kesal.
”Tidak setuju dengan cara berpolitik yang dilakukan oleh para caleg, boleh-boleh saja. Tapi, ingat, jangan sampai kebablasan. Sebab, setiap caleg yang maju itu, pasti ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Karena itu, jangan digeneralisir. Itu tidak adil namanya. Kalau memang tidak setuju, ya ndak usah didzahirkan, supaya tidak terjadi ’gesekan’. Toh sudah ada lembaga yang berwenang untuk mengurus babagan tersebut,” komentar wan Ali.
Tak lama setelah wan Ali berkomentar, sontak membuat orang-orang yang hadir di cakruk malam itu pun menjadi diam seribu bahasa. “Saya setuju dengan usul wan Ali. Serahkan saja pada pihak berwenang,” kata wan Amin. (Firman)

Demam Kekuasaan


KANG Somad, calon tetap anggota legislatif dengan nomor urut lima dari partai berlambang angin puting beliung, mengundang wan Ali untuk menjadi pembicara dalam sebuah pengajian di kampung tetangga. Acara tersebut digelar oleh tim suksesnya dalam rangka untuk mohon doa restu dan dukungan dari warga, sehubungan dengan akan majunya Kang Somad jadi anggota dewan di tingkat dua.
Sebelum acara dimulai, Kang Bejo, asisten pribadinya Kang Somad, membisikkan sebuah permintaan kepada wan Ali. ”Wan Ali, nanti ketika mengisi pengajian, kalau bisa, tolong jangan lupa sampeyan mempromosikan Kang Somad ya? Syukur jika sampeyan berkenan mengarahkan para audience agar memilih Kang Somad dalam pemilu mendatang,” ujar Kang Bejo.
Untuk beberapa saat, wan Ali sempat terperanjat. Tadinya dia ingin mengomentari permintaan Kang Bejo, tapi niat itu dia urungkan. Sejurus kemudian, wan Ali hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tidak jelas apa maksudnya.
***
”MANUSIA itu sukanya berkeluh kesah. Mulai terbitnya matahari hingga tenggelamnya, manusia tak pernah luput dari keluh kesah. Diberi nikmat yang berlimpah, mengeluh. Nikmatnya ditunda, ya tetap mengeluh. Tidak diberi nikmat apalagi,” kata wan Ali.
Kalau setiap satuan waktu dalam kehidupan manusia selalu diisi dan diwarnai dengan keluh kesah, lanjut wan Ali, maka punya rumah yang mewah, harta yang berlimpah dan punya jabatan setinggi langit sekalipun, tak akan bisa membuat manusia menjadi senang. ”Bagaimana mungkin bisa senang, kalau setiap satuan waktu isinya hanya untuk mengeluh?” ujar wan Ali.
Buntut dari penyakit suka mengeluh itu, imbuhnya, manusia pun akhirnya gampang menjadi stress dan depresi. Kecemasan, ketakutan dan kekhawatiran akan menjadi lahan yang subur untuk tumbuhnya bibit prasangka buruk dan haus kekuasaan.
”Jika manusia sudah ’dikuasai’ oleh bibit penyakit hati suka berprasangka buruk dan haus akan kekuasaan, maka tak ada tempat lagi bagi manusia untuk bisa hidup saling menghargai, saling menghormati dan saling berbagi satu sama lain. Yang ada hanyalah bagaimana caranya agar kekuasaan dan derajat yang ada saat itu bisa dipertahankan,” tukas wan Ali.”Ujung dari penyakit hati tersebut,” lanjut dia, ”manusia pun menjadi tidak kenal lagi dengan yang namanya syari’at. Benar-salah dan halal-haram tidak penting. Sebab, segala cara akhirnya menjadi halal untuk dilakukan. Tujuannya tidak lain adalah untuk memperebutkan kekuasaan dan mempertahankan derajat agar tidak jatuh.” (Firman)

Perbedaan Caleg dan Dukun


MENJADI caleg dan menjadi dukun itu hampir sama. Yaitu, sama-sama mencari pengikut sebanyak-banyaknya untuk bisa memperoleh keuntungan pribadi. Kalau dukun, keuntungan pribadi yang dikejar adalah bisa mendapat uang sebanyak-banyaknya dari orang-orang yang datang untuk minta ’petuah’.
Sedang kalau menjadi caleg, keuntungan yang diburu adalah bisa mendapat dukungan suara sebanyak-banyaknya, agar bisa menjadi anggota dewan. Jika sudah menjadi anggota dewan, maka yang bersangkutan bisa dapat uang secara berkelanjutan, baik lewat gaji maupun lewat berbagai proyek sampingan yang ada di rumah dewan.
”Meski kedudukan antara caleg dengan dukun itu berbeda, tapi hakikat cara kerjanya, ya sama saja. Yaitu, sama-sama cari pengikut untuk bisa memperoleh keuntungan pribadi,” ujar wan Abu ketika menjawab pertanyaan Kang Bejo tentang perbedaan mencolok antara jadi caleg dengan jadi dukun.
Perbedaan lainnya, lanjut wan Abu, hanya soal penyebutan. Yang satu disebut dukun, sedang satunya lagi disebut anggota legislatif. Yang pertama sering dianggap ‘menakutkan’, sedang yang kedua dianggap lebih terhormat.
“Soalnya sederhana saja. Kalau anggota dewan itu kan sering diidentikkan sebagai wakil rakyat. Lewat anggota dewan itulah, aspirasi rakyat bisa diperjuangkan. Sedang dukun, sering diidentikkan sebagai ’musuh’ rakyat. Pasalnya kenapa? Karena, profesi tersebut menyeramkan,” kata wan Abu sembari tertawa lepas.
”Tapi ada satu perbedaan lain yang cukup mencolok dari dua profesi tersebut, yang mungkin sampeyan lupa untuk menyebutkannya, wan Abu,” sahut wan Ali sambil nyeruput teh hangat kesukaannya.
”Apa itu, wan Ali?” tanya wan Abu penasaran.
”Kalau dukun tidak perlu dukungan dari politisi. Sedang politisi, sebelum jadi orang penting di parlemen, biasanya sering membutuhkan dukungan dari para dukun. Terutama politisi yang silau dengan kekuasaan. Karena itu, tak heran jika akhir-akhir ini banyak para politisi yang suka datang ke dukun,” jawab wan Ali.
“Apa sebetulnya yang ingin mereka dapatkan dari para dukun itu, wan Ali?” Kang Bejo memberanikan diri untuk bertanya.
”Yaaa ... mana saya tahu. Coba saja sampeyan tanyakan sendiri kepada para politikus yang suka datang ke para dukun itu. Untuk apa mereka datang ke dukun?” ujar wan Ali.
”Apa mungkin karena para caleg menganggap para dukun itu bisa memberi mereka kedudukan di rumah dewan, ya wan Ali?” kembali Kang Bejo melempar pertanyaan bernada menyelidik itu.
”Yaaa ... mungkin saja seperti itu. Yang jelas, saya sendiri ndak tahu, kenapa mereka bisa berbuat seperti itu. Ya, begitulah watak manusia Kang Bejo kalau sudah kepépét,” tandas wan Ali. (Firman)

Merubah Nasib Atau Merusak Nasib?


DALAM dua pekan terakhir ini, Kang Somad jadi bahan perbincangan di cakruk. Pasalnya sederhana saja. Sejak namanya telah tercantum dalam daftar calon tetap anggota legislatif yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), ia jarang muncul di cakruk. Padahal, sebelumnya, hampir setiap malam ia tak pernah absen di cakruk.
Karena itulah, ia kemudian menjadi sorotan warga. Hampir setiap malam, selalu saja ada sidang rohani yang membahas tentang sepak-terjang Kang Somad bersama anggota tim suksesnya. Mulai dari yang pro hingga yang kontra.
“Kasihan nasib Kang Somad. Pemilu belum digelar saja sudah jarang kumpul dengan keluarga dan teman-teman. Apalagi kalau sudah pemilu nanti, mungkin dia sudah tak ada waktu lagi untuk bisa léyéh-léyéh seperti dulu,” ujar wan Juned, membuka pembicaraan dalam sidang rohani di cakruk.
”Lebih-lebih kalau nanti sudah jadi anggota dewan betulan, bisa-bisa mungkin Kang Somad sudah jarang pulang ke rumah. Pulang-pulang ke rumah kalau kondisinya sudah babak-belur,” timpal wan Amin sambil tertawa lepas.
”Lho ... memangnya kenapa? Apa Kang Somad ndak boleh berjuang untuk merubah nasibnya? Bukankah kalau Kang Somad terpilih jadi anggota dewan, kita-kita juga yang bakal merasakan manfaatnya?” tanya wan Ali.
”Kalau jelas-jelas bakal terpilih saja sih ndak mengapa, wan Ali. Lha ... kalau sebaliknya? Sudah berjuang mati-matian, tapi ndak terpilih. Apa ndak malah tambah rekasa hidupnya Kang Somad?” timpal wan Abu.
“Wah … ya jangan begitu, wan Abu. Itu namanya sama saja sampeyan mendo’akan agar Kang Somad tidak jadi anggota dewan. Berarti sampeyan sama saja telah menutup jalan bagi Kang Somad untuk merubah nasib. Kita kan ndak tahu apa yang bakal terjadi di masa yang akan datang. Lha ... kalau misalnya, jatah berubahnya nasib Kang Somad itu harus dengan cara ia menjadi anggota dewan dulu, bagaimana? Apa sampeyan merasa keberatan?” selidik wan Ali.
”Ya ndak. Saya sih sebetulnya senang-senang saja kalau Kang Somad bisa jadi anggota dewan. Itu kalau jadi. Yang saya khawatirkan itu kalau misalnya Kang Somad gagal. Apa dia sudah siap untuk menerimanya?” ujar wan Abu.
”Wah ... kalau hal itu, bakal jadi pelajaran bagi Kang Somad. Jika dia berani berbuat, ya dia harus berani pula bertanggung jawab. Berani melangkah, ya harus berani menerima konsekuensi yang bakal muncul kemudian. Yang penting, kita sebagai orang yang berada di luar dari diri Kang Somad, jangan sampai meremehkan kemampuan Kang Somad untuk menjadi anggota dewan. Sebab, setiap orang punya jatah sendiri-sendiri,” tukas wan Ali.
”Ya, kita doakan saja. Siapa tahu jadi jalan rezekinya Kang Somad. Mudah-mudah, lewat pencalonan dirinya menjadi anggota dewan itu, iman-Islamnya Kang Somad makin tambah kuat,” tandas wan Juned sembari diamini oleh orang-orang yang hadir di cakruk malam itu. (Firman)

‘Orang Pintar’ Laris Manis


PESTA demokrasi setiap lima tahun sekali, tak lama lagi akan digelar. Para bakal calon anggota legislatif (caleg) yang masuk dalam daftar calon tetap yang diajukan oleh semua orsospol, sudah mulai terlihat sibuk. Bahkan, jauh sebelum daftar calon tetap itu dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), para bakal caleg sudah mulai kasak-kusuk.
Ada yang sibuk menyiapkan alat peraga kampanye, ada yang sibuk mencari donatur kampanye, dan ada pula yang sibuk mempersiapkan konsep tentang taktik dan strategi yang harus dilakukan oleh anggota tim sukses para bakal caleg. Termasuk sibuk mencari para dukun, paranormal atau ’orang pintar’ yang ampuh di seluruh pelosok negeri.
Mereka pun berbondong-bondong datang ke paranormal atau ‘orang pintar’. Bahkan, menurut sejumlah sumber, mereka tak sungkan-sungkan untuk ngantri, demi bisa mendapat azimat atau pegangan dari para dukun atau ‘orang pintar’. Tujuannya, apalagi kalau bukan untuk melancarkan urusan agar bisa menjadi anggota dewan yang terhormat.
Konon, katanya, para bakal caleg itu tidak merasa takut untuk mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar sekali pun. Semua itu mereka lakukan, karena mereka ingin memperoleh pegangan dari para ’orang pintar’ tersebut.
***
”Wah ... ternyata, menjelang pemilu tahun ini, ’orang pintar’ lagi laris manis, wan Ali. Mirip seperti kacang goreng. Para bakal caleg, banyak yang siap ngantri untuk bisa ketemu dan minta petuah dari ’orang-orang pintar’. Fenomena apa sebenarnya hal ini, wan Ali?” tanya wan Juned.
”Wah ... kalau itu, saya tidak tahu. Yang jelas, di balik peristiwa tersebut, pasti ada pelajaran untuk kita yang berada di luar dunia politik. Apa pelajarannya? Ya, kita lihat saja nanti,” kata wan Ali.
”Apa peristiwa itu pertanda bahwa keyakinan para bakal caleg kita sedang mengalami kerusakan, wan Ali?” selidik wan Juned. ”Bisa ya, bisa juga tidak. Tergantung dari sudut mana kita melihat peristiwa tersebut. Disebut ya, jika kacamata yang kita pakai adalah kacamata syari’at. Sebab, hukum syari’at dengan tegas mengatakan, siapa yang pergi ke dukun, maka perilaku itu sama saja dengan perbuatan syirik,” jawab wan Ali.”Sedang disebut tidak, jika kacamata yang kita pakai itu adalah kacamata ilmu hikmah. Mengapa bisa begitu? Karena, yang namanya ilmu hikmah itu, tidak melihat sebuah persoalan berdasarkan hitam-putih. Sebab, di balik yang hitam itu pasti ada putihnya, jika yang menjalaninya bisa mengolah hatinya. Dan di balik yang putih itu, pasti ada hitamnya, jika yang menjalaninya tidak bisa mengolah hatinya,” imbuh wan Ali. ”Jadi, kesimpulannya, tergantung bagaimana niatnya. Jika niatnya benar, cara yang ditempuh benar, dan alat yang digunakan juga sudah benar, maka insya Allah, hasilnya pun akan benar. Minimal, dekat dengan kebenaran,” tandas wan Ali.

Ngalab Berkah ke ‘Orang Pintar’


MENJELANG Pemilu, ‘orang pintar’ alias para dukun, banyak dicari oleh para bakal calon anggota legislatif (caleg). Mereka datang berduyun-duyun ngalab berkah ke para dukun dalam rangka untuk minta dukungan spiritual agar jalan menuju ke rumah dewan menjadi lancar. Hal itu jugalah yang dilakukan oleh Kang Somad, teman akrab wan Ali yang juga adalah salah seorang caleg dari partai berlambang angin puting beliung.
“Bagaimana kabarnya Kang Somad? Lama nggak pernah muncul, ke mana saja sampeyan?” tanya wan Ali ketika bertemu Kang Somad di pos ronda. Kebetulan malam itu wan Ali kebagian jatah untuk ronda. Teman rondanya malam itu adalah wan Amin, wan Abu dan wan Towil.
“Wah … maaf, wan Ali. Akhir-akhir ini saya memang agak sibuk. Sering keluar kota. Terutama sejak nama saya diusulkan oleh warga untuk menjadi caleg tingkat dua,” jawab Kang Somad yang didampingi oleh Kang Bejo, asisten pribadinya (aspri).
”Ooo ... pantes kok ndak pernah kelihatan. Jebule sampeyan mau jadi caleg to? Nomor urut berapa?” timpal wan Amin.
“Yaaa … daripada nganggur di rumah, mending ngadu nasib jadi caleg. Eee ... siapa tahu nanti saya kepilih, meskipun berada di nomor urut lima,” kata Kang Somad sembari membenahi letak posisi baju safari warnah abu-abu yang dikenakannya malam itu.
***
“SYUKURLAH kalau sampeyan mencalonkan diri jadi caleg. Mudah-mudahan sukses. Tapi, ngomong-omong, apa sekarang sudah mulai kampanyenya?” wan Ali kembali melemparkan pertanyaan. ”Ya ... belumlah, wan Ali!”
”Kok sampeyan malah sering keluar kota?” selidik wan Ali. ”Ya ... saya keluar kota itu dalam rangka untuk ngalab berkah ke ’orang pintar’. Ya, minta doa restunya ’orang-orang pintar’,” jawab Kang Somad.
”Maksudnya bagaimana?” tanya wan Ali lagi. ”Ya, maksudnya sih untuk minta dukungan politik dari ’orang pintar’, agar proses pencalonan saya menjadi caleg bisa berjalan lancar dan sukses. Maklum wan Ali, saya ini kan tidak punya keahlian khusus. Karena itu, saya minta dukungan dari ’orang pintar’,” ujar Kang Somad.
”Sebentar Kang Somad. Saya mau tanya. Apakah ’orang pintar’ yang sampeyan maksudkan itu adalah dukun atau semacam paranormal? Kalau betul ’orang pintar’ yang sampeyan sebut-sebut itu adalah dukun, berarti sampeyan sekarang ini mengalami kemunduran Kang Somad!” tukas wan Ali.
“Kemunduran bagaimana maksud sampeyan?” tanya Kang Somad. “Ya kemunduran rohani, maksudnya. Masak sampeyan yang bakal maju, malah minta pertimbangan dari dukun? Kalau memang mau ngalab berkah, ya perginya ke orang shalih, minta doanya. Bukan ke dukun, Kang!” tandas wan Ali.

[2] 'Orang Pintar' pun Diburu Caleg


SUATU ketika, wan Ali, guru hikmah di Ponpes Daarul Qalbu, diundang oleh salah satu orsospol peserta Pemilu. Dia diminta untuk mengisi materi tentang fungsi agama dalam dunia politik pada acara pembekalan para calon anggota legislatif. Pesertanya tentu saja adalah para bakal calon anggota dewan, baik untuk tingkat satu, tingkat dua maupun tingkat pusat.
Dengan mengenakan pakaian ala santri, wan Ali mengajak para bakal calon anggota dewan yang hadir di aula pembekalan saat itu untuk bangun kesyukuran. ”Bersyukur itu penting. Apalagi sebagai bakal calon anggota dewan. Mumpung belum jadi anggota dewan. Sebab, jika sampeyan sudah jadi anggota dewan, mungkin sampeyan sudah tidak punya waktu lagi untuk bisa bersyukur,” ujar wan Ali.
Selain itu, wan Ali juga bercerita tentang ’perilaku aneh’ yang diperlihatkan oleh para bakal calon anggota dewan. ”Saya itu tidak habis pikir menyaksikan ulah para bakal calon anggota legislatif di kampung saya,” wan Ali memulai ceritanya.
”Kalau dilihat dari latar belakang pendidikannya,” imbuh wan Ali, ”rata-rata mereka itu adalah lulusan S1-S2. Bahkan ada yang lulusan S3. Tapi, dalam kaitannya dengan proses pencalonan dirinya menjadi caleg, mereka kok malah meguru pada ’orang pintar’. Padahal, orang yang mengaku sebagai ’orang pintar’ itu, aslinya tidak pernah makan sekolahan. Anehnya lagi, disuruh apa saja oleh ’orang pintar’ itu, mereka kok ya manut. Dalam hati saya bertanya-tanya, jan-jane, yang pintar itu siapa gitu loh?”
***
”Aneh ya manusia itu? Dikaruniai akal pikiran, tapi tidak mau dimanfaatkan dengan baik. Punya cita-cita pingin jadi anggota dewan, tapi tidak mau berusaha untuk mewujudkan cita-citanya itu dengan cara-cara yang fair. Wong waktunya untuk menyiapkan perangkat kampanye, eh ... malah sibuk mencari dukungan politik kesana-kemari dari ’orang-orang pintar’,” kata wan Ali santai sambil melempar senyum khasnya.
Pada kesempatan itu, wan Ali mengingatkan para bakal calon anggota dewan yang mengikuti pembekalan saat itu untuk tidak ’tergoda’ oleh bujuk-rayu hawa nafsu yang ingin meraih kemenangan dengan cara-cara yang tidak fair. “Gusti Allah memberi kita hawa nafsu itu bukan untuk kita ikuti. Tetapi, malah sebaliknya, untuk kita lemahkan. Lewat nafsu itulah, kita bisa belajar untuk tidak ’gila’ pada kekuasaan,” tukas wan Ali.
”Silahkan sampeyan bermain politik, tapi ingat, jangan sampai sampeyan lupa diri. Politik itu adalah alat untuk kita bisa belajar praktik melaksanakan amanah dari rakyat. Jangan gara-gara ingin sukses di dunia politik, iman-Islam sampeyan malah jadi bubrah. Itu konyol namanya,” tandas wan Ali. (Firman)

[ 1 ] Jaga Netralitas Hati


MENJELANG pesta demokrasi, wan Amin, salah seorang ustad di Ponpes Daarul Qalbu, biasanya selalu kebanjiran order. Terutama order dari para calon anggota legislatif (caleg) dari berbagai organisasi partai politik (orsospol) yang ingin ikut maju dalam bursa pencalonan sebagai anggota dewan. Baik di tingkat I, tingkat II maupun dari tingkat pusat.
Maklum, selain dikenal sebagai seorang ustad, wan Amin juga dikenal sebagai ’orang pintar’ yang bisa memberi berbagai pertimbangan politik bagi para caleg sebelum masuk dalam daftar bursa caleg. Selain itu, wan Amin juga dikenal sebagai orang yang pintar dalam membaca peluang usaha yang sedang ngetrend. Karena itu, di kalangan para ustad, wan Amin sering dijuluki sebagai ustad serba bisa.
Maksudnya, selain bisa memberi pertimbangan politik, wan Amin juga bisa nyambi usaha membuat baju, rompi, pin, ballpoint, korek api, topi, bendera partai hingga mencetak buku Yasin lengkap dengan foto sang caleg dan logo partai. ”Sambil menyelam minum air,” kata wan Amin sambil tersenyum saat menerima wan Ali dan wan Juned, teman akrabnya sewaktu masih jadi santri, ketika berkunjung ke rumahnya.
***
“IBARAT barang langka, sampeyan itu akan diperebutkan oleh para kolektor dari berbagai penjuru, wan Amin. Entah itu kolektor dari kelas teri sampai kelas kakap. Karena itu, sampeyan harus hati-hati. Hati sampeyan ojo nganti katut. Sing penting, jaga netral-e,” ujar wan Ali ketika menasihati wan Amin di ruang tamunya.
”Maksudnya bagaimana, wan Ali?” selidik wan Amin sembari menyuguhkan teh hangat kesukaan wan Ali.
”Ya, maksudnya, kalau situasinya lagi memanas, sampeyan jangan ikut-ikutan. Tapi malah sebaliknya, bagaimana caranya agar sampeyan bisa memperjuangkan situasi yang lagi panas itu agar bisa berubah menjadi adem,” jawab wan Ali.
”Apalagi dunia yang sampeyan tekuni sekarang ini, syarat dengan berbagai intrik. Kalau sampeyan katut, bisa-bisa bubrah kabeh,” timpal wan Juned.
”Tapi kan, saya tidak ikut-ikutan dalam politik praktis, wan Ali. Saya itu hanya memberi pandangan dan menyediakan alat-alat kampanye bagi para caleg yang ingin maju dalam pemilu tahun ini,” wan Amin mencoba membela diri.
”Karena sampeyan memberi pandangan itulah, maka saya mengingatkan sampeyan agar ngati-ati dalam memberi pandangan. Jangan sampai pandangan yang sampeyan berikan itu malah membuat para caleg yang mau maju dalam pemilu tahun ini saling adil-adilan,” tandas wan Ali.