Bagian Satu:
Menata Hati, Mencegah Kerusakan Diri
1
Menata Hati
Dari Abu Hurairah r.a. berkata:
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya, Allah tidak melihat bentuk badan dan rupamu. Tetapi, langsung melihat atau memperhatikan niat dan keikhlasan dalam hatimu” (HR. Muslim).
P
ada dasarnya, hidup dalam agama Islam itu sangat menyenangkan. Sebab, semua rambu yang dibutuhkan manusia untuk bisa mencapai segala kebutuhan dan keperluan hidupnya selama berada di dunia ini, telah dibuat dengan sempurna oleh Tuhan Yang Sebenarnya.
Lewat perintah dan larangan itulah, kalau kita mau meresapinya dengan sungguh-sungguh, maka sebetulnya kita bisa tahu, apa yang sejatinya diinginkan oleh Tuhan atas diri kita. Sebab, tidaklah Allah Ta’aala membuat larangan dan perintah, melainkan di balik semua itu, pasti ada hikmah yang besar bagi perjalanan hidup kita sendiri di masa yang akan datang.
Persoalannya, karena kita terlalu sering disibukkan dengan urusan yang tidak prinsip, akhirnya kita acapkali jadi lupa untuk memperhatikan masalah tersebut. Misalnya saja, soal menata hati dalam menjalani aktivitas hidup di dunia ini.
Kita telah diajarkan oleh Rasulullah SAW agar bersungguh-sungguh dalam menata hati. Sebab, persoalan hati adalah persoalan antara apa yang muncul di dalam niat seorang makhluk terhadap Allah ‘Azza wa Jallla. Di mana, lewat niat itulah, gerak ibadah yang dilakukan oleh seorang makhluk akan dinilai Allah Ta’aala. Apakah niatnya saat itu telah benar atau sebaliknya.
Memang, sepintas kilas, persoalan tersebut nampak sepele bagi manusia. Tapi, bagi Allah, tidak demikian halnya. Justru bagi Allah, niat yang ada di dalam hati itulah yang kelak akan menentukan bagaimana nasib ibadah yang akan dilakukan oleh sang makhluk itu. Apakah akan mendapat pahala atau malah akan menjadi sebab bagi tertolaknya ibadah seorang makhluk.
Karena itulah, Rasulullah SAW kemudian bersabda: “Sesungguhnya, Allah tidak melihat bentuk badan dan rupamu. Tetapi, langsung melihat atau memperhatikan niat dan keikhlasan dalam hatimu” (HR. Muslim).
Mengapa persoalan niat menjadi sangat penting untuk kita perhatikan? Karena, di dalam tatanan niat itulah, keikhlasan seorang hamba akan ditentukan. Apakah dia mengerjakan suatu kebajikan itu dengan maksud untuk mengharap kecintaanNya atau karena ada sebab lainnya?
Di hadapan makhluk, kita mungkin masih bisa ‘menyembunyikan’ ketidak-ikhlasan kita dalam melakukan suatu kebajikan. Tapi, tidak demikian halnya di hadapan Allah, Zat Yang Memegang hati setiap makhluk. Tidak peduli apakah niat itu dilahirkan (didzahirkan) atau hanya disembunyikan di dalam hati, Allah Ta’aala pasti mengetahuinya.
Simak saja firmanNya dalam surat Ali-Imran ayat 29:
Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui." Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Itu makanya, mengapa ibadah ikhlas sangat diperlukan. Yaitu ibadah karena merasa senang dengan Allah ‘Azza wa Jalla. Dan Yang jelas, ibadah ikhlas itu sendiri, mulainya dari menata hati yang benar. ۞
2
Senang
Pada Allah
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu. Dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (Al-Baqarah : 152)
I
badah ikhlas adalah ibadah yang dikerjakan tanpa pamrih. Yaitu, ibadah yang muncul karena merasa senang untuk melakukannya. Ibadah yang demikian ini, mudah diucapkan, tapi sangat sulit untuk dipraktikkan. Sebab, ia terkait dengan rasa yang ada di dalam hati seorang makhluk ketika mengerjakan ibadah tersebut.
Jika rasa yang muncul itu adalah rasa senang, maka biasanya, orang yang melakukan amal kebajikan itu, tidak mau tahu apakah amal perbuatannya saat itu bisa mendatangkan pahala atau tidak. Baginya, yang penting, ia melakukan sesuatu kebajikan itu karena dia senang kepada Allah Ta’aala.
Ibadah karena senang pada Allah ‘Azza wa Jalla ini adalah ibadah yang muncul dari sikap tulus seorang makhluk terhadap Sang Pencipta. Yaitu sikap pasrah total pada setiap kehendakNya. Orang yang demikian itu, biasanya, mau melakukan apa saja, asal bisa membuat Tuhan Yang Sebenarnya menjadi senang kepadanya. Di atas semuanya itu, yang jelas, mereka mau melakukan apa saja, karena semata-mata terdorong oleh rasa ingin berterima kasih kepada Sang Pencipta.
Rasa ingin berterima kasih itulah, yang kemudian membuat seorang hamba tak mau terikat oleh persoalan timbal-balik. Artinya, dia tidak akan terpengaruh oleh persoalan apakah amal kebajikannya itu bakal mendapat pahala atau tidak. Baginya, dikasih atau tidak dikasih, mendapat pahala atau tidak mendapat apa-apa sekalipun, tidak akan mengubah sikapnya untuk terus beribadah kepada Sang Pencipta. Yaitu, Tuhan Yang Sebenarnya.
Dalam bahasa agama, amal kebajikan yang dikerjakan karena didorong oleh rasa ingin berterima kasih kepada Allah Ta’aala itu disebut dengan ibadah syukur. Yakni, ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba yang sadar terhadap posisi dirinya di hadapan Sang Pencipta.
Ibadah karena rasa senang ini adalah ibadahnya para Nabi, Rasul dan KekasihNya. Mereka melakukan ibadah, bukan karena ingin mendapat pahala yang banyak atau mendapat derajat ruhani yang tinggi. Mereka melakukan itu juga bukan karena mereka ‘rakus’ terhadap surga atau ‘takut’ karena bakal mendapat siksa di neraka. Mereka melakukan hal itu, semata-mata karena mereka ingin berterima kasih kepada Allah Ta’aala.
Apa yang telah membuat mereka sehingga melakukan ibadah yang demikian itu? Karena, sebagai makhluk yang diciptakan Allah, mereka menganggap, sudah sepantasnyalah jika seorang makhluk harus berterima kasih kepada Zat Yang telah menciptakannya dari ‘tidak ada’ menjadi ‘ada’. Berterima kasih terhadap segala nikmat yang telah Dia anugerahkan kepadanya.
Ibadah yang dikerjakan karena rasa syukur kepadaNya ini, adalah puncaknya segala ibadah. Tak ada ibadah yang lebih tinggi dari ibadahnya orang yang bersyukur kepadaNya, seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Meskipun kehidupan beliau di akhirat nanti telah dijamin Allah, tapi beliau tetap saja beribadah kepadaNya. Oleh karena itulah, Allah kemudian mengingatkan manusia lewat surat Al-Baqarah ayat 152:
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu. Dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.
Mudah-mudahan kita diberi kekuatan oleh Allah untuk bisa bersyukur kepadaNya. Amin ۞
3
Perintah
dan Larangan
“Sesungguhnya … Kami hendak menguji (manusia) dengan perintah dan larangan. Karena itu, Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya, Kami telah menunjukinya jalan yang lurus. Ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir” (Qs. 76: 2-3)
P
erintah dan larangan, ibarat sebuah koin mata uang. Antara muka dan belakang, saling melengkapi. Perintah dan larangan, juga ibarat sebuah barisan. Yang berada di ‘depan’, tidak bisa meremehkan yang ada di bagian ‘belakang’. Sebab, jika tidak ada bagian ‘belakang’, maka tentunya, tidak akan mungkin ada sesuatu yang bisa disebut sebagai bagian ‘depan’. Begitu pula sebaliknya.
Perintah adalah kewajiban bagi manusia untuk dikerjakan. Suka atau tidak suka, perintah tetap harus dikerjakan. Sebab, kedudukannya sebagai suatu kewajiban. Begitu pula halnya dengan larangan. Ia wajib ditinggalkan. Karena larangan itu pun, pada dasarnya adalah, suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh manusia. Terlepas apakah dia suka atau tidak suka.
Terkait dengan hal itulah, jika kita perhatikan dengan seksama firman Allah dalam surat Al-Insaan ayat 2-3 di atas, maka nampak sangat jelas, betapa Maha Bijaknya Allah terhadap semua makhluk ciptaanNya. Buktinya, meskipun Allah sudah tahu bahwa manusia --- sebagai makhluk ciptaanNya itu --- tidak akan mungkin mampu melaksanakan perintah dan laranganNya, tapi Dia masih tetap memberi kesempatan bagi manusia untuk berpikir dan memilih.
Lewat aktivitas berpikir itulah, diharapkan manusia dapat menjatuhkan sebuah pilihan yang tepat dan benar. Tepat menurut kersa-ne Allah dan benar menurut syari’at-Nya. Lewat aktivitas berpikir itu jugalah, manusia diharapkan bisa segera menyadari --- dengan sesadar-sadarnya --- tentang bagaimana posisi aslinya di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla. Apakah manusia bisa melaksanakan semua perintah dan larangan yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’aala itu karena Kemurahan Allah, atau karena ia memang betul-betul merasa bisa melaksanakannya? Inilah sebuah pertanyaan yang tak mudah untuk kita jawab.
Terkait dengan pertanyaan tersebut, Allah ‘Azza wa Jalla dengan tegas mengatakan dalam surat Al-Insaan ayat 29. Yaitu, jika manusia betul-betul menginginkan kebaikan hidup di dunia dan akhirat nanti, maka seharusnya ia memilih jalan untuk menuju Tuhannya. Sebab, dengan jalan itulah, manusia bisa mepet kepada Tuhan Yang Sebenarnya.
Dan, dengan jalan itu jugalah, manusia bisa meminta petunjuk dan anugerah kemurahan dariNya. Sebab, aslinya, manusia itu pada dasarnya tidak bisa berbuat apa-apa. Yang bisa membuatnya seolah-olah nampak telah berbuat sesuatu di muka bumi ini, mutlak karena Allah Ta’aala yang telah menggerakkannya. Bukan karena manusia itu punya kemampuan atau bisa untuk melakukannya.
Simak saja firman Allah dalam surat Al-Insaan ayat 30 berikut ini:
Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Kata ‘dikehendaki’ Allah dalam ayat di atas, sudah sangat jelas sekali untuk menunjukkan betapa Maha Berkuasanya Allah ‘Azza wa Jalla atas kehidupan ini. Karena Dia Maha Berkuasa itulah, maka tentu rugi kalau kita tidak mau mepet padaNya. Apakah Anda tidak ingin punya Tuhan Yang Maha Berkuasa? ۞
4
Hakikat
M a s a l a h
Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi
sebagai perhiasan baginya, agar Kami (bisa) menguji mereka,
siapakah di antara mereka itu yang terbaik perbuatannya. (Qs. 18: 7)
S
etiap orang hidup, pasti pernah punya masalah. Sekecil apapun masalah tersebut, manusia pasti pernah menghadapinya. Tak peduli apakah dia adalah seorang presiden, menteri, tukang becak, guru, ulama maupun tukang sapu yang biasa membersihkan jalan-jalan utama di tengah kota. Mereka semua, pasti pernah punya masalah.
Soal apakah masalah yang muncul itu bobotnya berat atau ringan, itu soal lain. Yang jelas, setiap manusia yang hidup di muka bumi ini, pasti tidak akan bisa bebas dengan masalah. Jika demikian halnya, pertanyaan yang muncul kemudian adalah: bagaimana to sebetulnya hakikat dari masalah itu?
Secara leksikal, masalah seringkali diartikan sebagai ‘sesuatu’ yang telah menjadi kendala sehingga menyebabkan terhambatnya sebuah aktivitas. Misalnya, mobil yang mogok karena kehabisan bensin. Yang menjadi masalah dalam perkara mobil mogok itu adalah, karena bensinnya habis. Akibatnya, mobil jadi tak bisa berjalan. Jika diisi bensin, maka mobil pun bisa berjalan kembali.
Berbeda halnya dengan kaum ruhani dalam memandang suatu masalah. Bagi mereka, masalah yang dihadapi oleh manusia itu adalah nikmat dari Allah Ta’aala yang harus disyukuri. Sebab, lewat masalah itulah, kaum ruhani bisa meletakkan tolak ukur bagaimana posisi kedekatannya kepada Allah.
Bagi kaum ruhani, semua masalah yang muncul dalam perjalanan hidupnya itu, aslinya adalah jalan yang akan menuntunnya untuk bisa selalu ingat kepadaNya. Lewat masalah itulah, kaum ruhani bisa belajar banyak tentang bagaimana cara mereka dalam menata hati. Termasuk, bagaimana cara mereka dalam membangun prasangka kepada Allah, Tuhan Yang Sebenarnya.
Mengapa kaum ruhani memandang masalah sebagai nikmat dari Allah yang harus disyukuri? Karena, dengan adanya suatu masalah, kaum ruhani bisa terus mepet alias ingat kepada Allah Ta’aala, Zat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dengan adanya masalah, kaum ruhani juga bisa praktik belajar hidup pasrah secara kaffah guna mendapat ‘hadiah’ berupa tenang dan sabar.
Dengan adanya masalah, kaum ruhani bisa lebih jelas melihat dan merasakan betapa Maha Pengasihnya Allah pada dirinya. Sebab, dengan masalah itulah, mereka bisa belajar mengendalikan gerak nafsunya agar tidak menjadi serakah dan larut terhadap tipu daya dunia.
Bagi kaum ruhani, hakikat suatu masalah itu ibarat sebuah pertanyaan dari sekian banyak soal ujian tertulis yang dihadapi oleh para siswa di bangku sekolah. Jika dia bisa menjawabnya dengan benar, maka itu berarti dia akan naik kelas. Semakin banyak soalnya dan semakin berat bobot pertanyaannya, maka semakin besarlah ‘hadiah’ yang bakal dia terima dari Allah Ta’aala, jika dia bisa menjawabnya secara benar.
Karena itu, tak heran jika kaum ruhani seringkali bisa tersenyum manis, manakala dia telah selesai menjawab masalah yang datang menghampirinya. Hal itu bisa terjadi, karena kaum ruhani sering mendapat ‘bocoran’ dari Allah tentang kunci dalam menghadapi masalah. Seperti yang dapat disimak dalam surat Al-Kahfi ayat 7 berikut ini:
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami (bisa) menguji mereka, siapakah di antara mereka itu yang terbaik perbuatannya.” (Qs. 18: 7)
Karena itu, jika Anda sekarang ini sedang menghadapi atau punya masalah yang besar, maka bersyukurlah kepadaNya. Sebab, itu berarti Anda masih disayang oleh Allah. Agar Anda bisa merasakan bagaimana nikmatnya dari suatu masalah, maka cobalah hadapi masalah tersebut dengan sabar. Dan jangan lupa, teruslah bangun prasangka baik kepadaNya. Mudah-mudahan Anda nanti akan menjadi hamba pilihanNya. Amin. ۞
5
Menjaga
Silaturrahim
Dari Anas r.a. berkata:
Bersabda Rasulullah SAW: “Siapa ingin dilapangkan rezkinya
dan ditunda umurnya (ajalnya), maka hendaklah dia menyambungkan tali silaturrahim” (HR. Bukhari - Muslim).
A
nda ingin punya rezki yang melimpah dan penuh barokah? Jawabnya gampang. Ikuti saja apa yang telah disarankan oleh Rasulullah SAW. Yaitu, cobalah belajar menjaga tali silaturrahmi dengan keluarga dan kerabat dekat. Menjaga di sini bermakna antara lain: merawat hubungan yang telah berlangsung, menyambungkan hubungan yang sempat terputus, dan memperbaiki jaringan tali silaturrahmi yang rusak. Inilah di antara ‘kunci’ sukses kaum muslimin jika ingin punya rezki yang melimpah dan penuh barokah.
Mengapa untuk bisa punya rezki yang melimpah dan penuh barokah, kita disarankan oleh Rasulullah SAW untuk menyambung tali silaturrahmi? Mengapa Allah dan RasulNya meletakkan dasar pencapaian rezki harus dimulai dari menjaga tali silaturrahmi terlebih dahulu? Inilah pertanyaan yang tidak mudah untuk bisa kita jawab.
Sebab, masalah rezki merupakan salah satu hal yang memang telah dirahasiakan oleh Allah Ta’aala. Artinya, hanya Allah-lah satu-satunya Zat yang mengetahui kapan seorang hamba bakal mendapat rezki dariNya. Karena memang, kenyataannya, Dia-lah Zat yang memberi dan membagi rezki untuk hamba-hambaNya. Seperti halnya tentang masalah jodoh dan babakan kematian, mutlak berada dalam genggaman tanganNya.
Manusia hanya bisanya berikhtiar. Hasil akhirnya, apakah kita nanti bakal mendapat rezki atau ditunda rezkinya, mutlak menjadi hak prerogatif Allah. Termasuk dalam hal jatah rezki yang bakal kita terima. Apakah nanti kita bakal menerima rezki dalam jumlah yang besar atau kecil, Allah ‘Azza wa Jalla-lah yang akan menentukannya.
Termasuk soal apakah Dia akan melapangkan dan menyempitkan rezki kita selama berada di dunia ini. Simak saja firmanNya dalam surat Ar-Rum ayat 37 berikut:
Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya, dan Dia (pula) yang menyempitkan rezki itu. Sesungguhnya, pada yang demikian itu, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang beriman. (Qs. 30: Ar-Ruum: 37)
Yang jelas, fenomena rezki itu, selalu mengikuti hukum alam. Ia tidak mungkin berjalan dengan cara melawan hukum alam yang telah Allah tetapkan sendiri. Ibarat air yang mengalir dari atas bukit menuju ke lembah. Jika saluran air yang berada di atas bukit itu lancar, maka otomatis, air yang turun pun akan mengalir dengan lancar. Begitu juga sebaliknya.
Jadi, jika Allah ingin memberi kita rezki, maka tentunya, tidak mungkin Allah akan membiarkan keluarga dan kerabat dekat kita tidak kebagian rezki. Sebelum Allah memberi kita rezki, mungkin yang akan mendapat giliran lebih awal untuk menerimanya adalah keluarga dan kerabat dekat kita terlebih dahulu. Setelah itu baru kita. Ini artinya, Allah sungguh-sungguh berlaku sangat adil. Dia tidak pernah membeda-bedakan. Jika kita bisa menikmati pemberianNya, maka orang terdekat kita pun tentu akan diberi juga oleh Allah, supaya bisa ikut merasakan nikmat dariNya.
Mungkin, itulah di antara hikmah mengapa kemudian dasar pencapaian rezki itu diletakkan oleh Allah dan RasulNya pada bangunan tali silaturrahmi antara kita dengan keluarga dan kaum kerabat terdekat kita. Jika bangunan tersebut terawat dengan baik, maka insya Allah, aliran rezki pun akan berjalan lancar pula. Karena itu, jika Anda ingin mendapat rezki dariNya, maka bersegeralah merapatkan barisan dengan keluarga dan kerabat dekat kita. ۞
6
Ujian Iman
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya, kami telah menguji orang-orang sebelum mereka,…” (Qs. 29: 2-3)
U
jian terberat yang bakal dihadapi oleh seorang hamba adalah, ketika dia diminta untuk membuktikan keimanannya kepada Allah Ta’aala. Sebab, menyatakan telah beriman saja, bagi Allah, belumlah cukup. Perlu ada pembuktian terlebih dahulu. Apakah betul kita telah benar-benar beriman kepadaNya, seperti yang telah disinggung Allah dalam surat Al-‘Ankabuut ayat 2-3:
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya, kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (Qs. 29: 2-3)
Lewat ujian itulah, Allah nanti akan mengetahui, seberapa tinggi kadar iman kita kepadaNya. Seperti yang pernah dialami oleh para sahabat Nabi ketika awal-awal agama Islam ditegakkan. Ujian iman yang mereka jalani, sungguh luar biasa beratnya. Hanya orang-orang yang memiliki hati yang bersih dan sering membangun prasangka baik sajalah yang dapat lolos dari ujian tersebut.
Beruntunglah kita yang hidup di akhir zaman ini. Sebab, ujian iman yang kita hadapi untuk membuktikan keimanan kita kepadaNya, tidaklah seberat seperti yang dialami oleh para sahabat Nabi. Mereka pernah mengalami ujian siksaan fisik yang sangat berat.
Sedang ujian fisik pada zaman kita sekarang ini, nyaris sudah tidak ada lagi. Kendati demikian, dari segi bobot ujiannya, apa yang kita hadapi sekarang ini, memang tidaklah kalah beratnya seperti yang dialami oleh para sahabat Nabi dulu. Yaitu, ujian dalam bentuk ‘melawan’ tarikan hawa nafsu dan pengaruh akal pikiran kita yang selalu mengajak untuk ‘berseberangan’ dengan setiap kehendak Allah.
Selain, sudah barang tentu, ujian iman dalam bentuk untuk tidak berprasangka buruk pada setiap kejadian yang ada di sekitar kita. Misalnya, soal apakah Allah akan mentakdirkan diri kita berada di arena keburukan atau kebaikan? Seperti yang dapat kita simak dalam surat Al-Anbiyaa’ ayat 35 berikut ini:
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya)” Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. (Qs. 21: 35)
Mengapa ujian yang kita hadapi sekarang ini jauh lebih berat? Karena, apa yang bakal kita hadapi sekarang ini adalah, terkait dengan bagaimana cara kita dalam memandang materi ujian dan membangun prasangka kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jika kita salah menggunakan frame dalam melihat sejumlah ‘hadiah’ yang diberikan Allah untuk kita jalani itu, maka sangat boleh jadi, iman-Islam kita pun bisa terancam jadi rusak.
Misalnya, tatkala kita ditakdirkan oleh Allah untuk menjadi seorang ahli maksiat. Padahal, aslinya, kita tidak ingin menjadi seorang hamba yang ahli dalam maksiat. Tapi, karena di tempat tersebut ada banyak pelajaran yang harus kita lalui, maka jika kita tidak pandai dalam menjaga prasangka baik kepada Allah, sangat boleh jadi, kita pun nanti akan ‘menuding’ Allah sebagai berlaku tidak adil pada diri kita.
Atau dalam contoh yang lain. Ketika kita dihadapkan dengan seorang hamba yang tengah berbuat maksiat di depan mata kita. Bagaimana sikap kita? Apakah kita akan ‘mengadili’ orang-orang yang tengah berbuat maksiat kepada Allah, ataukah kita akan bersikap masa bodoh? Atau malah kita akan memaksa dia untuk segera bertobat, sementara orang tersebut masih merasa senang untuk berbuat maksiat?
Kalau kita memilih untuk ‘mengadili’ orang yang sedang berbuat maksiat itu, pertanyaan yang muncul kemudian adalah, memangnya siapa diri kita ini? Patutkah kita ‘mengadili’ sesama makhluk, sedang Allah ‘Azza wa Jalla, Zat yang telah menciptakan makhluk itu, masih membiarkan mereka berbuat seperti itu? Kenapa kita harus ‘muring-muring’ (marah) pada mereka? Ujian jenis inilah yang paling berat untuk kita hadapi.
Kenapa? Karena kita dihadapkan dengan sesuatu yang bertolak belakang dengan sifat Allah. Kita tahu, bahwa tidak mungkin Allah menciptakan makhlukNya untuk menjadi seorang ahli maksiat. Tapi, kok ada makhluk yang bermaksiat kepadaNya? Kalau memang kita punya iman, tidak mungkin kita akan ‘menuding’ dan ‘mengadili’ orang yang berbuat maksiat.
Justru malah sebaliknya. Orang yang punya iman, jika melihat kerusakan, seyogyanya mendo’akan agar orang yang dalam kerusakan itu mendapat hidayah dan ampunanNya. Sebab, orang yang beriman sadar betul. Bahwa orang yang masih berkubang dalam kemaksiatan itu, mutlak Allah yang menggerakkannya. Sekiranya Allah tidak menggerakkannya untuk berbuat yang demikian itu, niscaya dia tidak akan mungkin bisa untuk melakukannya.
Bukan malah sebaliknya, ‘menghujat’, ‘mengadili’, dan ‘menghukumnya’. Sebab, kalau hal itu kita lakukan, berarti kita telah mengambil peran Allah. Wong Allah saja Maha Pengampun dan Maha Penerima Tobat. Masak kita sebagai makhluk, bersikap melebihi dari sikap Sang Pencipta terhadap makhlukNya. Apa ya pantas kalau hal itu untuk kita lakukan? Inilah di antara ujian iman terberat yang bakal dihadapi oleh seorang hamba. Mudah-mudahan Allah memberi kekuatan untuk kita bisa melaluinya. Amin. ۞
7
Azab dan
R a h m a t
Allah mengazab siapa yang dikehendaki-Nya,
dan memberi rahmat kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan hanya kepada-Nya-lah kamu akan dikembalikan. (Qs. 29: 21)
M
emahami pesan agama, baik lewat kitab maupun lewat keterangan yang disampaikan oleh makhluk, memang perlu hati-hati. Apalagi pada era kita sekarang ini. Di mana, akses informasi untuk memperoleh keterangan tentang agama, begitu amat sangat mudahnya. Persoalannya tinggal kita mau atau tidak untuk melakukannya.
Misalnya saja pesan agama tentang surat Al-‘Ankabuut ayat 21 berikut ini. Allah berfirman:
Allah mengazab siapa yang dikehendaki-Nya, dan memberi rahmat kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan hanya kepada-Nya-lah kamu akan dikembalikan. (Qs. 29: 21)
Firman Allah di atas, jika tidak kita pahami secara hati-hati, bisa membuat kita jadi gampang berburuk sangka kepada Allah. Pasalnya, kata Allah mengazab dalam ayat tersebut, seolah-olah menggambarkan Allah sangat kejam kepada makhluk ciptaanNya sendiri. Padahal, aslinya, sangat boleh jadi, tidak demikian. Sebab, sesungguhnya, Allah adalah Zat Yang Maha Rahman dan Maha Rahim. Tidak mungkin Allah akan menghukum ciptaanNya sendiri dengan dasar kebencian.
Kalau pun, misalnya, Allah hendak menghukum hambaNya, maka di dalam hukuman yang telah Dia tetapkan itu, pastilah karena Dia berangkat dari dasar Rahman dan RahimNya. Bukan karena kebencian. Dengan kata lain, terhadap orang-orang yang suka berbuat ‘makar’ kepadaNya, Allah ‘Azza wa Jalla memperlihatkan sifat Rahman dan RahimNya lewat hukuman.
Mengapa demikian? Karena, sejak masa kenabian telah ditutup dengan diutusnya Sayyidul Mursalin Sayyidina Rasulullah Muhammad SAW, maka Allah Ta’aala tak pernah lagi mengirim azab untuk hamba-hambaNya yang ada di muka bumi ini. Jadi, kalau sekiranya, di sekitar kita saat ini ada fenomena alam --- yang seringkali kita artikan sebagai azab dari Allah itu --- yang terjadi di luar dari jangkauan akal untuk kita bisa menerimanya, maka akan lebih selamat jika kita memahami fenomena itu tak lebih sebagai tanda Rahman dan RahimNya.
Dengan cara seperti itu, insya Allah peluang untuk kita berburuk sangka kepada Allah, menjadi lebih kecil. Sebab, fenomena alam apa pun yang terjadi di sekitar kita, tidak lagi kita pahami sebagai azab --- seperti yang pernah dialami oleh orang-orang yang hidup sebelum masa Rasulullah SAW. Melainkan sebagai rahmat Allah yang harus kita syukuri.
Karena itulah, berhati-hatilah dalam memahami fenomena alam yang terjadi di sekitar kita. Jangan mudah terpancing untuk segera menjatuhkan vonis terhadap setiap fenomena alam yang tengah terjadi di sekitar kita. Apalagi, jika vonis itu langsung kita arahkan kepada orang-orang yang ada di dalam area bencana. Sebab, yang tahu persis mengapa mereka mendapat ‘hadiah’ berupa fenomena alam itu, mutlak hanyalah Allah. Cukuplah bagi kita untuk menganggap dan memprasangkakan kejadian itu sebagai tanda Rahman dan RahimNya. ۞
8
Penyakit Hati
Allah SWT berfirman:
“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya;
dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan
mereka berdusta.” (Qs. 2: 10)
D
alam kehidupan sehari-hari, kita terkadang sering menganggap remeh babakan penyakit hati suka berdusta kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berdusta pada diri sendiri. Anehnya, ketika perbuatan itu kita lakukan, seolah-olah prilaku itu sudah menjadi sesuatu yang biasa. Tak ada rasa takut dan menyesal barang sedikit pun dalam hati kita.
Padahal, kalau kita memperhatikan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 10, nampak sangat jelas sekali bagaimana efek dari penyakit suka berdusta itu bagi perjalanan ruhani kita untuk menuju Allah. Yaitu sangat buruk. Simak saja apa kata Allah berikut ini:
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. (Qs. 2: 10)
Dari ayat di atas, kita diingatkan Allah, bahwa perbuatan suka berdusta itu, sebetulnya termasuk sebagai salah satu penyakit hati yang sangat berbahaya. Sebab, jika perbuatan itu kita lakukan terus-menerus, maka kita cenderung akan menganggap sebagai hal yang wajar dan manusiawi.
Tapi, kalau kita mau meresapinya dengan sungguh-sungguh, maka mungkin kita tidak akan mau untuk melakukannya. Mengapa? Karena, tindakan itu bisa membuat kita jadi tidak tenang. Kita akan merasa semakin jauh dari Tuhan Yang Sebenarnya.
Sebab, buntut dari kebiasaan suka berdusta itu adalah, kita cenderung terdorong untuk selalu mempertahankan (kalau tidak malah memperbanyak?) setiap asumsi yang kita pakai agar bisa melakukan kebohongan demi kebohongan. Akibatnya, kita akan menjadi pusing tujuh keliling, manakala, misalnya, tiba-tiba kita dibuat oleh Allah menjadi tidak bisa lagi melakukan perbuatan tersebut.
Karena itulah, dalam ayat sebelumnya, Allah telah menegaskan kepada manusia. Bahwa, orang-orang yang suka berdusta pada Allah dan pada orang lain itu, sesungguhnya akan merugikan dirinya sendiri. Sebab, berdusta pada Allah dan pada orang lain itu, sesungguhnya adalah sama dengan telah berdusta pada dirinya sendiri. Perhatikan saja firman Allah berikut ini:
Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman. Padahal, aslinya, mereka itu tak lain adalah hanya menipu dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya. (Qs. 2: 9)
Jika demikian halnya, pertanyaan kita sekarang ialah, mengapa kita masih sering memilih untuk melakukan perbuatan dusta daripada bersikap jujur? Kalau pintu kejujuran masih terbuka, mengapa kita lebih suka memilih pintu kebohongan? Inilah ‘PR’ bagi kita semua. Maukah kita bersikap jujur dan apa adanya kepada orang lain, lebih-lebih kepada Allah SWT? ۞
9
Belajar
P r a k t i k
Allah SWT berfirman:
“ … Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat.” (Qs. 58: 11)
B
elajar ilmu agama itu, tidak perlu tinggi-tinggi. Cukup belajar dari hal-hal yang sederhana saja, sesuai dengan batas kemampuan diri. Tidak usah memaksakan diri untuk bisa menjadi seperti orang lain. Kalau memang kita tidak mampu, mengapa harus memaksakan diri? Belajar ilmu agama tinggi-tinggi itu --- sebagaimana pula belajar ilmu lainnya --- bisa jadi akan tidak bermanfaat, kalau kemudian buntut dari perjalanan kita itu nanti justru akan membuat diri kita menjadi sombong pada Allah dan tak kenal pada RasulNya.
Bukankah yang terpenting dari proses belajar ilmu agama itu tidak terletak pada ketinggian ilmu yang dipelajari? Melainkan justru terletak pada seberapa besar kesungguhan hati kita untuk mempraktikkan ilmu yang kita pelajari itu dalam kehidupan sehari-hari? Termasuk, seberapa besar rasa peduli kita untuk ikut serta dalam mengajarkan dan menyebarkan ilmu yang kita miliki itu untuk kemaslahatan orang lain?
Memang, idealnya, kalau bisa, kita belajar ilmu agama itu setinggi langit, tapi sekaligus diikuti dengan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tapi, apa ya ada orang yang bisa seperti itu? Apa bisa orang yang punya ilmu tinggi itu tidak sombong pada sesama makhluk? Apakah ada orang yang punya ilmu setinggi langit, ketika bertemu dengan orang yang tak berilmu, dia tidak meremehkan makhluk?
Kalau dengan ketinggian ilmu yang kita pelajari itu ternyata tidak membuat kita semakin tunduk dan semakin beriman kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan RasulNya, lalu buat apa kita menuntut ilmu tinggi-tinggi? Lebih baik kita tidak punya ilmu, tapi hati dan perbuatan kita selalu tunduk dan patuh pada Allah dan RasulNya. Itu jauh lebih selamat.
Sebab, seperti yang dikatakan oleh Allah dalam surat Al-Mujaadilah ayat 11, bahwa Dia akan menaikkan derajat orang-orang yang punya ilmu. Syaratnya adalah, orang yang berilmu itu harus punya iman dulu kepadaNya. Artinya, kalau ingin mendapat derajat yang tinggi, maka orang tersebut harus mau mempraktikkan ilmu yang dipelajarinya itu untuk kepentingan bagaimana caranya agar dia bisa membangun iman dan kesyukuran kepadaNya. Jika tidak, maka tak ada gunanya.
Mengapa demikian? Karena, sejatinya, jika seorang hamba itu betul-betul ingin menimba ilmu untuk kepentingan mencari kebenaran, maka dia pasti akan ketemu dengan Zat Yang Maha Tinggi Ilmunya. Jadi, kalau ada seorang hamba punya ilmu tinggi tapi tidak mau iman kepada Allah SWT dan RasulNya, maka orang tersebut jelas bakal termasuk sebagai golongan orang yang merugi dan kedudukannya menjadi hina dalam pandangan Allah SWT. Simak saja firmanNya dalam surat Al-Mujaadilah ayat 20 berikut:
Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, mereka termasuk orang-orang yang sangat hina. (Qs. 58: 20)
Pertanyaannya sekarang ialah, termasuk dalam golongan yang manakah diri kita? Sudahkah kita menggunakan ilmu yang ada pada diri kita untuk tunduk kepadaNya? Jawabnya, kembali kepada diri kita masing-masing. Mudah-mudahan, kita termasuk dalam golongan orang-orang yang beruntung. Yaitu, orang yang belajar ilmu agama, tapi juga mau dan bisa mempraktikkan serta menyebarluaskannya untuk kemaslahatan orang lain. Amin. ۞
10
Kerusakan
Allah SWT berfirman:
“Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”
(Qs. 2: 11)
A
nda ingin menjadi seorang kekasih Allah? Jawabnya, gampang. Tapi, praktiknya tidak mudah. Apa itu? Jangan suka membuat kerusakan di muka bumi. Insya Allah, jika hal itu Anda lakukan dengan sungguh-sungguh karena mengharap keridhaanNya, maka Anda kelak akan terpilih dan dipilih oleh Allah untuk menjadi kekasihNya.
Sebab, menurut sejumlah riwayat menyebutkan, bahwa di antara ciri-ciri kekasih Allah itu adalah, dia berjuang keras untuk mencegah adanya kerusakan di muka bumi. Kerusakan yang seperti apa yang tidak diinginkan oleh Allah itu? Yaitu, segala jenis kerusakan. Mulai dari kerusakan dalam pengertian lahir maupun kerusakan dalam pengertian batin.
Yang lahir, misalnya, menebangi pohon, merusak ekosistem, membuat kegaduhan, melakukan aksi pembunuhan atau pembantaian, dan lain sebagainya. Sedang yang bersifat batin, misalnya, tidak mau beriman kepada Allah dan RasulNya, tidak mau tunduk pada kehendak Allah ‘Azza wa Jalla dan suka berburuk sangka kepada Allah.
Singkat kata, mencegah setiap tindakan kerusakan yang terbersit maupun yang terbetik di dalam hati manusia. Di mana, tindakan tersebut --- jika dilakukan --- dapat mengakibatkan Allah ‘Azza wa Jalla menjadi tidak senang alias tidak ridha. Termasuk menjaga dan mengawal syari’at Rasulullah SAW agar tidak diselewengkan oleh orang-orang yang tidak senang melihat agama Allah tegak di muka bumi.
Bukan malah sebaliknya, seperti yang disinggung Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 11-12 berikut:
Artinya: Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi." Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengadakan perbaikan." Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. (Qs. 2: 11-12)
Pertanyaan yang perlu kita jawab dari ayat di atas adalah: Apakah diri kita selama ini termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mencegah kerusakan, atau malah melakukan kerusakan di muka bumi? Jika kita termasuk ke dalam kelompok orang yang mencegah kerusakan, seberapa besar usaha yang telah kita lakukan itu bisa mencegah terjadinya kerusakan di muka bumi?
Yang tahu persis apakah Anda bisa menjawab pertanyaan di atas, jelas hanya Allah dan Anda sendiri. Mudah-mudahan, jawaban dan tindakan yang telah Anda lakukan selama ini, termasuk dalam kategori sebagai tindakannya para kekasih Allah SWT. Amin. ۞
Bagian Dua:
Menebar Ujian, Menuai Hadiah
11
Ujian
A l l a h
Dalam hadis Qudtsi, Allah telah berfirman kepada MalaikatNya:
“Pergilah kepada hamba-Ku. Lalu, timpakanlah bermacam-macam ujian kepadanya, karena Aku mau mendengar suaranya”
(HR. Thabarani yang bersumber dari Abu Umamah r.a.)
M
engapa manusia selalu tidak bisa lepas dari ujian hidup? Jawabnya, karena Allah senang melihat bagaimana cara sang hamba dalam mensikapi ujian yang datang kepadanya. Lewat cara sang hamba dalam mensikapi ujian itulah, Allah bisa mengetahui bagaimana kadar keimanan seorang hamba kepadaNya.
Bahkan, menurut sebuah riwayat menyebutkan, bahwa Allah sangat senang melihat hambaNya yang menangis tersedu-sedan karena mengharap belas kasih Allah --- lantaran dia tidak kuat menghadapi ujian yang ada di hadapannya. Allah senang menyaksikan hambaNya yang ‘merengek-rengek’ meminta belas-kasihNya.
Karena itu, dalam sebuah hadis Qudtsi yang bersumber dari Abu Umamah r.a. dan diriwayatkan oleh Thabarani, Allah Ta’aala berfirman kepada malaikatNya: “Pergilah kepada hamba-Ku. Lalu, timpakanlah bermacam-macam ujian kepadanya, karena Aku mau mendengar suaranya”
Jika memperhatikan isi hadis Qudtsi tersebut, jelas sekali bagaimana sikap Allah ‘Azza wa Jalla terhadap hamba-hambaNya. Dia tidak akan pernah berhenti untuk mengutus para malaikatNya agar menimpakan berbagai macam ujian untuk manusia.
Apa saja materi ujian yang akan ditimpakan oleh para malaikat Allah kepada manusia? Dalam surat Al-Baqarah ayat 155, Allah berfirman:
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Qs. 2: 155)
Dari ayat di atas, nampak sangat jelas, bagaimana kurikulum materi ujian yang bakal dihadapi manusia di muka bumi ini. Yaitu, dia akan diuji dengan adanya rasa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apa sih tujuan Allah menguji manusia dengan kurikulum materi ujian seperti yang terdapat di dalam surat Al-Baqarah ayat 155 itu? Ada beberapa kemungkinan jawaban yang bisa kita ketengahkan. Diantaranya: Pertama, supaya manusia bisa segera menyadari bagaimana posisinya di hadapan Al-Khaliq. Termasuk menyadari tentang bagaimana jika semua titipan yang telah diberikan Allah kepada dirinya itu, diambil kembali oleh Allah.
Kedua, supaya manusia tidak lupa diri dan tidak punya waktu untuk bisa bersikap sombong. Baik itu bersikap sombong kepada sesama makhluk maupun kepada Sang Pencipta. Ketiga, supaya manusia jangan jauh-jauh dari Allah ‘Azza wa Jalla. Artinya, lewat ujian itu, sangat boleh jadi, sebetulnya Allah menginginkan agar manusia selalu mepet pada Allah SWT.
Karena itu, Anda tidak perlu berkecil hati dan sedih jika Allah selalu mengirim materi ujian untuk Anda. Justru malah sebaliknya, berbahagialah Anda, karena Anda terpilih dan dipilih oleh Allah untuk mengikuti sebuah proses pendidikan dan penggemblengan iman secara langsung dibawah pengawasan Allah ‘Azza wa Jalla.
Tidak inginkah Anda mendapat kemuliaan seperti yang didapat oleh para Nabi, Rasul dan KekasihNya yang hidup sebelum Anda? Mudah-mudahan kita diberi kekuatan oleh Allah untuk bisa lolos dalam ujian tersebut. Amin. ۞
12
Harta, Tahta
dan Wanita
Rasulullah SAW bersabda:
“Sepeninggalku, tiadalah ujian yang lebih berbahaya bagi kaum pria kecuali godaan kaum wanita.” (HR. Bukhari)
H
arta, tahta dan wanita. Tiga rangkai mata ujian itu, seringkali membuat manusia --- terutama kaum pria --- bisa kehilangan akal sehatnya. Bahkan, tidak sedikit di antara mereka itu jadi mudah gelap mata. Hanya karena ingin mendapat harta yang berlimpah, misalnya, segala cara pun ditempuh. Akibatnya, norma-norma agama yang berisi tentang halal dan haram, sudah tak lagi digubris. Yang penting, sikat dulu, urusan belakangan.
Apalagi kalau sudah berurusan dengan masalah tahta dan wanita. Kaum pria, khususnya, gampang sekali jadi nekad. Tak peduli apakah tahta dan wanita yang ingin diraih itu sudah menjadi milik orang lain atau tidak, yang penting, jika nafsu telah menguasai dirinya, maka segala upaya pun akan dikerahkan. Yang penting, tujuan untuk bisa meraih tahta dan wanita itu bisa tercapai.
Tak puas dengan langkah propaganda, cara-cara irrasionil pun ditempuh. Tak berhasil lewat penggalangan suara, dukun pun diminta untuk bertindak. Itu semua mereka lakukan, karena mereka ingin sukses dalam meraih tahta dan wanita. Padahal, sebetulnya, mereka sudah punya tahta dan wanita. Tapi, karena memang sudah menjadi watak dasarnya manusia --- yaitu tak pernah merasa puas --- maka langkah-langkah yang bertentangan dengan agama pun, mereka terabas.
Mengapa manusia --- terutama kaum pria --- mudah sekali ‘terpedaya’ oleh persoalan yang bersifat harta, tahta dan wanita? Pertanyaan inilah yang seringkali membuat Rasulullah SAW menjadi gusar hatinya. Karena itu, sebelum wafat, beliau pernah mengingatkan kaum pria agar berhati-hati dengan masalah wanita. “Sepeninggalku, tiadalah ujian yang lebih berbahaya bagi kaum pria, kecuali godaan kaum wanita.” (HR. Bukhari)
Dalam kesempatan lain, Rasulullah juga pernah bersabda. Sesungguhnya, kata beliau, setiap umat itu ada ujian. Dan ujian bagi umatku adalah harta kekayaan. Pertanyaannya sekarang ialah, mengapa Rasulullah SAW mencemaskan godaan kaum wanita yang bakal menimpa kaum pria?
Jawabannya, ada di dalam surat Ali-‘Imran ayat 14 berikut ini:
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (Qs. 3: 14)
Untunglah, dibalik jawaban tersebut, Allah telah memberi rambu-rambu bagi manusia yang ingin meraih keselamatan hidup di dunia maupun di akhirat. Yaitu, jangan mudah silau dengan kesenangan hidup di dunia. Sebab, di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik, kata Allah. Bagaimana dengan Anda? Mau pilih yang mana? ۞
13
Jangan
Berlebihan
Allah Ta’aala berfirman:
“Makan dan minumlah. Tetapi, jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang suka berlebih-lebihan”
(Qs. 7: 31)
M
anusia itu memang unik. Selain tak pernah merasa cukup, manusia juga sering suka berlebih-lebihan dalam hidup. Misalnya dalam masalah kepemilikan harta benda. Jika tetangga sebelah membeli sesuatu barang, maka dia pun tak mau kalah. Padahal, sangat boleh jadi, barang yang dia beli karena tak mau kalah saingan dengan tetangganya itu, sama sekali bukanlah hal yang mereka butuhkan.
Tidak hanya dalam perkara barang saja mereka suka berlebih-lebihan. Dalam perkara makan dan minum pun, mereka terkadang sangat boros. Fenomena semacam ini nampak sangat jelas ketika mereka menjalani ibadah puasa Ramadhan pada hari pertama.
Sebelum menjelang berbuka puasa, segala jenis makanan dan minuman yang mereka lihat di pasar, dibeli semua. Seakan-akan, isi perut mereka bisa menampung segala jenis makanan dan minuman yang telah mereka beli di pasar tersebut.
Setelah adanya tanda berbuka puasa, barulah mereka sadar. Ternyata, isi perut mereka tak bisa menampung semua jenis makanan dan minuman yang telah mereka beli di pasar. Begitulah manusia. Gampang sekali ‘diperdaya’ dan ‘diperbudak’ oleh hawa nafsunya sendiri. Hanya karena ingin memuaskan apa yang telah dibisikkan oleh hawa nafsunya, larangan Allah untuk tidak makan dan minum berlebihan pun tak mereka indahkan.
Padahal, jelas-jelas dalam surat Al-A’raf ayat 31, Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman:
Artinya: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah ketika akan memasuki masjid. Makan dan minumlah, tetapi janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
Mengapa Allah tidak senang kepada makhluk yang suka hidup berlebih-lebihan? Ada banyak alasan mengapa Allah kemudian bersikap seperti itu terhadap manusia. Diantaranya adalah: Pertama, karena hidup berlebihan itu dapat menutup pintu kesyukuran makhluk kepadaNya. Pasalnya, hidup berlebihan itu bisa membuat manusia jadi lupa diri dan lupa untuk bersyukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang telah dikaruniakanNya.
Kedua, orang yang hidup berlebih-lebihan atau bermegah-megahan itu cenderung suka lalai daripada ingatnya kepada Allah. Karena itulah, Allah ‘Azza wa Jalla kemudian tidak senang jika hambaNya hidup berlebih-lebihan. Sebab, perbuatan itu bisa membuat sang hamba jadi tidak kenal dengan Allah Ta’aala.
Ketiga, hidup berlebihan atau bermegah-megahan itu, dapat membuat seorang hamba jadi gampang terjebak dalam penyakit hati. Yaitu penyakit hati kikir, bakhil, sombong, iri dan dengki. Kalau seorang hamba sudah dikuasai oleh lima jenis virus penyakit hati tersebut, maka alamat dia bakal mendapat siksa yang pedih. Apalagi jika sampai di akhir hayatnya, dia tidak segera mentobati perbuatannya tersebut. Apa Anda tidak takut? ۞
14
Jangan Takut
Dengan Dosa
Dari Abu Hurairah r.a. dengan sanad yang jayid,
Rasulullah SAW berkata: “Sekiranya kalian melakukan kesalahan sampai memenuhi langit, kemudian kalian bertobat, maka pasti Allah akan mengampuni kalian.” (HR. Ibnu Majah r.a.)
S
etiap manusia yang hidup di dunia ini, pasti pernah punya dosa. Tak ada satu pun orang yang bisa bebas dari dosa, kecuali para Nabi, Rasul dan KekasihNya. Yaitu, orang-orang yang memang telah dipilih dan terpilih. Di luar itu, dijamin, pasti pernah punya dosa. Tidak peduli apakah dia adalah seorang presiden, menteri, sultan, raja, atau abang tukang becak sekalipun. Pasti pernah punya dosa.
Perkara apakah dosa yang pernah dilakukannya itu tergolong sebagai dosa yang besar atau kecil, itu soal lain. Yang jelas, setiap insan yang hidup di muka bumi ini, pasti pernah punya dosa. Entah itu dosa terhadap orangtua, saudara, teman, guru, kerabat dekat atau dosa kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Persoalannya, apakah orang yang telah melakukan perbuatan dosa itu mau menyadari dan mengakuinya atau tidak di hadapan Allah SWT? Masalah inilah yang seringkali tidak disadari oleh kebanyakan manusia pada umumnya. Setelah melakukan perbuatan dosa --- baik besar atau pun kecil --- bukannya malah segera bertobat. Tapi, malah sebaliknya, berlagak suci atau seolah-olah tidak pernah berbuat dosa.
Padahal, aslinya, yang dibutuhkan oleh Allah pada manusia yang telah berbuat dosa itu adalah, bukan soal bagaimana besar-kecilnya dosa yang telah dia lakukan. Tetapi, bagaimana sikap hatinya setelah melakukan perbuatan dosa tersebut.
Mau ndak melaporkan perbuatan dosa yang telah dilakukannya itu apa adanya kepada Allah? Atau, dalam bahasa yang lain, mau ndak kita mengaku salah di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla? Terus, setelah sadar kalau dirinya telah berbuat salah, mau ndak minta ampun dan bertobat pada Allah, serta berjanji untuk tidak mengulanginya kembali?
Pertanyaan tersebut penting untuk dijawab oleh manusia, karena Allah tidak mau terima alasan apapun. Terutama alasan tentang mengapa seorang makhluk melakukan perbuatan dosa. Bagi Allah, kalau salah, ya tetap salah. Sekali makhluk berbuat dosa, ya tetap dosa hukumnya.
Dosa akan diampuni oleh Allah, apabila yang melakukan perbuatan dosa itu sendiri, mau mengaku telah berbuat dosa. Artinya, dia mau mengaku salah di hadapan Allah. Terus, setelah itu, yang bersangkutan juga mau minta ampunanNya, mau menobati perbuatan buruknya dan mau berjanji untuk tidak mengulanginya kembali.
Barang siapa yang melakukan hal itu, maka Allah akan senang kepadanya. Seperti yang telah Dia ungkapkan sendiri dalam surat Al-Baqarah ayat 222:
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Bagaimana soal dosa yang telah diperbuat itu? Apakah Allah juga akan memberi ampunanNya? Insya Allah. Sebab, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sebesar apapun dosa yang dilakukan oleh seorang hamba, jika dia menobati perbuatannya itu dengan sungguh-sungguh, maka Allah pun akan mengampuninya.
Bahkan, sekiranya perbuatan dosa yang dilakukan oleh sang hamba itu, katakanlah, bilangannya sebesar planet bumi ini, maka begitu sang hamba meminta ampun padaNya, insya Allah, dosa yang besar itu pun akan Dia hapuskan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang bersumber dari Abu Hurairah r.a yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah r.a. berikut ini:
Rasulullah berkata: “Sekiranya kalian melakukan kesalahan sampai memenuhi langit, kemudian kalian bertobat, maka pasti Allah akan mengampuni dosa kalian.”
Oleh karena itu, jika Anda sekarang ini merasa punya dosa --- baik besar maupun kecil --- kepada Allah, maka Anda tidak perlu takut. Mumpung Anda masih diberi kesempatan, cepat-cepatlah bertobat kepadaNya. Akuilah perbuatan dosa yang telah Anda lakukan, dan mintalah ampun kepadaNya.
Selain itu, jangan lupa, berjanjilah kepadaNya untuk tidak mau mengulangi lagi perbuatan yang telah Anda lakukan tersebut. Mudah-mudahan, pintu ampunanNya belum ditutup untuk kita. Amin. ۞
15
Takut Pada
Makhluk?
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rab-Nya, dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, sesungguhnya surgalah tempat kembalinya.” (Qs. 79: 40-41)
M
anusia yang hidup di akhir zaman ini memang banyak yang aneh-aneh. Terutama bagi mereka yang sering melakukan perbuatan dosa. Entah apa yang ada di dalam benak dan pikiran mereka. Terutama ketika mereka tengah melakukan perbuatan dosa tersebut.
Lihat saja bagaimana aksi para politisi, birokrat, teknokrat dan para selebritis ketika mereka melakukan perbuatan melawan hukum. Atau perhatikan juga bagaimana ulah para koruptor ketika mereka melakukan aksinya.
Dari ujung ke ujung dan dari pintu ke pintu, mereka berusaha mati-matian untuk menyembunyikan tindakan dosanya agar tidak diketahui oleh publik. Mereka melakukan hal itu, karena mereka takut rahasianya bakal diketahui oleh publik.
Tapi, anehnya, ketika aksi itu mereka lakukan, mereka tidak takut kalau perbuatannya itu bakal diketahui dan dicatat oleh Allah. Mereka justru lebih takut kepada makhluk daripada takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Seakan-akan, Allah tidak tahu dan tidak pernah mencatat semua perbuatan dosa yang telah mereka lakukan ketika sedang kasak-kusuk di ruang kantornya.
Padahal, aslinya, hampir setiap waktu, Allah Ta’aala selalu mencatat semua perbuatan yang telah mereka lakukan lewat petugas Allah yang selalu memonitor gerak-gerik makhlukNya. Bahkan, tidak hanya mencatat apa saja gerak dzahir yang telah dilakukan oleh sang hamba. Allah juga selalu memonitor setiap lintasan keinginan yang muncul di dalam hati setiap makhlukNya.
Aneh memang manusia yang hidup di akhir zaman ini. Mereka lebih takut kepada makhluk daripada takut kepada Allah yang telah menciptakan diri mereka dari ‘tidak ada’ menjadi ‘ada’. Padahal, jauh sebelum itu, Allah telah berfirman dalam surat An-Naazi’aat ayat 40-41:
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya, syurgalah tempat tinggalnya.
Mengapa manusia lebih takut kepada makhluk daripada takut kepada Allah? Jawabnya, karena manusia lebih senang mengikuti apa yang menjadi keinginan hawa nafsunya daripada mengendalikannya. Akibatnya, manusia pun menjadi ‘budaknya’ hawa nafsu. Kalau hawa nafsu sudah menguasai manusia, maka akal sehat pun sudah tak bisa berfungsi normal kembali.
Bagaimana dengan Anda? Apakah rasa takut yang ada di dalam diri Anda saat ini lebih banyak mengarah kepada Allah atau kepada makhluk? Tanyakanlah pada hati kecil Anda dan mintalah dia untuk menjawabnya dengan jujur. Mudah-mudahan Anda termasuk sebagai salah satu calon penghuni syurga. Yaitu, seorang hamba yang takut akan kebesaran Allah dan bisa menahan keinginan hawa nafsunya sendiri. Amin. ۞
16
Jangan
M a r a h
Barangsiapa yang dapat menahan marah, padahal ia sanggup melampiaskan kemarahannya, niscaya Allah SWT akan memanggilnya di hadapan khalayak ramai untuk dipersilahkan memilih bidadari yang dikehendakinya. (HR. Mu’adz bin Anas r.a.)
S
alah satu perbuatan manusia yang dapat menggugurkan amal kebajikannya selama di dunia ini adalah, melampiaskan kemarahan kepada sesama makhluk. Apalagi marah kepada Sang Pencipta. Karena itulah, sehubungan dengan babakan marah ini, Rasulullah SAW kemudian mengingatkan umatnya untuk berhati-hati betul dengan masalah tersebut.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Anas r.a., Rasulullah SAW bersabda: ”Barangsiapa yang dapat menahan marah, padahal ia sanggup melampiaskan kemarahannya, niscaya Allah SWT akan memanggilnya di hadapan khalayak ramai untuk dipersilahkan memilih bidadari yang dikehendakinya.”
Mengapa Rasululah SAW menganjurkan umatnya agar menahan marah meskipun sebetulnya dia sanggup untuk melampiaskannya? Ada beberapa hikmah yang dapat dipetik dari larangan Rasul agar kita tidak gampang marah. Yaitu:
Pertama, supaya kita tidak terjebak dalam perbuatan syirik. Dikatakan demikian karena, perbuatan marah itu adalah perbuatan yang muncul lantaran kita telah memperturutkan hawa nafsu kita sendiri. Karena itu, siapa saja yang berbuat marah, maka itu sama saja artinya dia telah ‘mempertuhankan’ hawa nafsunya sendiri. ‘Mempertuhankan’ hawa nafsu, sama saja artinya kita telah berbuat syirik. Sedang, perbuatan syirik itu sendiri dalam agama Islam termasuk sebagai perbuatan dosa besar yang tak diampuni Allah SWT.
Karena itu, Rasulullah SAW melarang kita agar jangan gampang marah. Sebab, Rasulullah tidak ingin kita terjebak dalam perbuatan syirik sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah berikut ini:
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun … (Qs. 4: 36)
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (Qs. 4: 48)
Kedua, supaya kita selalu ingat kepada sifat Allah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Al-Ghafur Ar-Rahim. Dengan cara ingat akan sifat Allah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang itu, seharusnya kita bisa meniru sifat tersebut. Minimal, bisa menyadari bagaimana sebaiknya kita bersikap terhadap sesama makhluk. Lebih-lebih bersikap kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Wong Allah saja Maha Pengampun terhadap makhlukNya, kok kita sebagai makhluk malah berlaku kejam melebihi sifat kejamnya sang Pencipta terhadap makhlukNya. Memangnya siapa kita ini?
Ketiga, supaya kita tidak gampang lupa diri. Sebab, pada umumnya, orang yang suka marah itu, biasanya sering lupa diri. Lupa kalau dirinya adalah seorang makhluk yang juga membutuhkan ampunan dari Allah jika telah berbuat salah. Karena itulah, Rasulullah SAW kemudian mencegah kita agar jangan marah, meski sebetulnya kita bisa melampiaskan kemarahan tersebut.
Keempat, supaya kita tidak berlama-lama berada di dalam kegelapan. Sebab, biasanya, tempat yang gelap itu sering dijadikan oleh setan sebagai arena untuk menjebak dan merekrut manusia agar mau menjadi temannya. Perhatikan saja bagaimana sabda Rasulullah SAW dari Ashiyah al-Aufi yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud r.a.: “Sesungguhnya, marah itu berasal dari setan. Dan setan diciptakan dari api. Sedang api hanya dapat dipadamkan dengan air. Maka itu, apabila di antara kalian marah, hendaklah dia segera berwudlu.”
Mudah-mudahan Allah ‘Azza wa Jalla menyelamatkan kita dari perbuatan yang dapat menggugurkan semua amal kebajikan kita di dunia ini. Amin ya Rabbal ‘Alamin. ۞
17
Salah
K a p r a h
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
Jika mereka bertobat, mendirikan alat dan menunaikan zakat,
maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.
Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum
yang mengetahui (Qs. 9:11)
H
idup ini adalah ujian. Barangsiapa yang bisa lolos dalam menghadapi setiap ujian yang datang kepadanya, maka insya Allah dia nanti akan menjadi seorang hamba pilihan. Tapi, jika sebaliknya, maka alamat yang sudah pasti bakal mereka tuju adalah, masuk ke dalam golongan orang-orang yang merugi.
Siapa saja golongan orang-orang yang merugi itu? Jawabnya adalah, mereka yang suka membolak-balikkan ayat-ayat Allah. Atau, mereka yang suka menyembunyikan ayat-ayat Allah dan suka menggunakan ayat-ayat Allah sebagai hujjah untuk mendukung kepentingan nafsunya sendiri.
Terkait dengan hal itulah, kita terkadang sering dibuat sedih ketika menyaksikan masih cukup banyak di antara kita yang acapkali salah kaprah dalam mengimplementasikan perintah Allah tentang penghormatan terhadap sesama makhluk. Terutama dalam kaitannya dengan praktik hablum minannaas (berhubungan dengan manusia).
Misalnya, coba saja kita perhatikan bagaimana sikap kita ketika menyaksikan ada saudara seaqidah kita yang sedang dalam kerusakan. Apakah pernah kita memberi support do’a untuk mereka agar selamat dari kerusakan? Atau, apakah pernah kita membantu mereka untuk menempuh jalan tobat dengan hati yang senang?
Jawabnya, mungkin hal itu jarang kita lakukan. Yang sering terjadi justru sebaliknya. Sikap kita terhadap mereka terkadang sangat sinis. Bahkan tak jarang, kita pun ikut mengompor-ngompori kaum muslimin yang ada di sekitar kita agar segera menetapkan vonis pada saudara kita yang sedang dalam kerusakan itu.
Seolah-olah, kita adalah orang yang paling berhak untuk menstempel perbuatan saudara seaqidah kita itu apakah bertentangan dengan syari’at atau tidak. Celakanya, dalam proses menjatuhkan vonis itu, terkadang tak ada sedikit pun rasa penghormatan kita terhadap mereka. Seakan-akan, habislah sudah kesempatan bagi saudara seaqidah kita yang sedang mendapat ‘hadiah’ kerusakan dari Tuhan Yang Sebenarnya itu untuk bisa berbuat baik kembali.
Akses jalan kebaikan dan jalan tobat yang bisa ditempuh oleh saudara seaqidah kita itu, kita tutup semua. Seakan-akan, dia tidak pantas dan tidak boleh melewati jalan tersebut. Padahal, aslinya, mereka itu tidak ingin berada dalam kerusakan. Tapi, karena perjalanan hidupnya memang harus melalui tahapan seperti itu, maka dia pun tak punya pilihan kecuali hanya menerima lakon tersebut.
Sehubungan dengan hal itulah, alangkah baiknya jika kita yang ditakdirkan berada dalam kondisi yang tidak sama dengan mereka itu, perlu memperhatikan firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 10-11. Di mana Allah telah berfirman:
Mereka tidak memelihara (hubungan) kerabat terhadap orang-orang mukmin dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Dan mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (Qs. 9: 10) Jika mereka bertobat, mendirikan alat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui (Qs. 9:11)
Dari ayat di atas, ada beberapa hal penting yang perlu mendapat perhatian kita bersama. Yaitu: Satu, meskipun saudara seaqidah kita itu sedang dalam kerusakan, namun kalau bisa, kerusakan itu tidak menimbulkan efek negatif sehingga menyebabkan terputusnya tali hubungan iman kita pada mereka. Sebab, jika hal itu kita lakukan --- yakni memutus hubungan tali iman kita pada mereka --- maka kita kelak akan temasuk ke dalam golongan orang-orang yang melampaui batas.
Dua, kalau pun, misalnya, saudara seaqidah kita yang sedang rusak itu masih merasa senang berada di dunia kerusakannya, maka upayakan kalau bisa kita tetap bersikap netral pada mereka. Kita tidak perlu ‘menghukum’, ‘mengadili’ dan ‘menghujat’ mereka. Sebab, perbuatan itu sama sekali tidak membantu mereka untuk bisa segera sadar dari perbuatan kerusakannya. Jalan satu-satunya yang bisa kita tempuh adalah, mengusulkan kepada Allah dan mendoakan mereka agar diberi ‘hadiah’ untuk bisa bertobat kepadaNya.
Tiga, sejelek apapun prilaku kerusakan yang mereka lahirkan, tetaplah bangun prasangka baik kepada Allah. Yakinlah, bahwa mereka pasti akan diurus dan dicukupi oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Dan karena itu, yakinlah pula bahwa, mereka tetap adalah saudara seaqidah kita. Sekali saudara, tetap jadi saudara selama-lamanya. ۞
18
Positive
Thinking
Dari Djabir bin Abdillah r.a. telah mendengar
Rasulullah SAW bersabda: “Jangan mati salah satu kamu, melainkan dalam keadaan baik sangka kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”
(HR. Muslim).
B
erprasangka baik adalah menaruh penilaian positif (husnudzan atau positive thinking) atas suatu peristiwa yang tengah terjadi. Lawannya adalah berprasangka buruk atau su’udzan. Dalam kehidupan manusia sehari-hari, kedua perbuatan tersebut relatif cukup akrab dalam khazanah pergaulan antara manusia satu dengan manusia lainnya.
Seseorang dapat berprasangka baik, apabila di dalam pergaulannya sehari-hari ia selalu mengedepankan kebaikan atau sisi positif dalam setiap kali menilai suatu peristiwa. Kalau pun, misalnya, ada sisi negatif yang ia lihat, dia biasanya berupaya untuk selalu mengeliminirnya dengan cara hanya melihat sisi positifnya saja.
Orang yang demikian itu adalah orang yang selalu positive thinking dalam memandang kehidupan. Oleh karena itu, tak heran, orang yang selalu positive thinking cenderung tak pernah mengenal kata menyerah dalam menghadapi suatu persoalan. Sebab, baginya, kejatuhan dan kegagalan dalam berusaha, bukanlah hal yang tabu untuk diterima.
Bagi orang-orang yang suka berpikir positif, kejatuhan dan kegagalan dalam berusaha, merupakan sebuah keberhasilan yang tertunda. Oleh karena itulah, orang yang selalu bangun prasangka baik, biasanya selalu optimistik dan percaya diri. Rasulullah SAW sangat menganjurkan agar umatnya selalu berpikir positif.
Sebegitu pentingnya ajaran untuk selalu berpikir positif tersebut, sampai-sampai Rasulullah memesankan kepada umatnya agar jangan mati dalam kondisi tengah berpikir negatif tentang Allah. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Djabir bin Abdillah r.a., telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Jangan mati salah satu kamu, melainkan dalam keadaan baik sangka kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”
Sebaliknya, bagi orang yang sisi negatifnya lebih dominan menguasai alam pikirannya, cenderung gampang mudah putus asa dan sering tidak percaya diri. Hal itu terjadi karena, unsur emosi dan rasa tidak suka, biasanya, lebih banyak mempengaruhi proses perjalanannya dalam menentukan bagaimana dia harus bersikap.
Oleh karena itulah, tak heran jika agama Islam kemudian melarang umatnya untuk berpikir negatif. Sebab, selain tidak konstruktif, cara berpikir seperti itu juga sangat kontra produktif. Bahkan, dalam agama Islam, perbuatan yang demikian itu, termasuk dalam kategori perbuatan dosa. Seperti yang dapat kita cermati dalam surat Al-Hujuraat ayat 12 berikut ini:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu adalah dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.”
Beruntunglah bagi Anda jika termasuk dalam kategori orang yang selalu berpikir positif ketika melihat dan menjalani proses kehidupan di dunia ini. Sebab, itu berarti, peluang bagi Anda untuk bisa meraih keberhasilan, hanya menunggu waktu.
Jika Anda sabar dalam menjalaninya dan tetap istiqamah dalam membangun prasangka baik pada setiap kejadian yang ada di depan mata, maka sesungguhnya, keberhasilan yang ingin Anda raih, sudah ada di depan Anda. Apakah Anda sanggup untuk menjalaninya? ۞
19
Efek
Informasi
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan
yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman,
bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat.
Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui. (Qs. 24: 19)
S
ejak arus kran informasi terbuka lebar, hampir semua media massa --- terutama media elektronik --- banyak yang sering lepas kendali dalam menyajikan berita kepada publik. Terutama ketika memberitakan tentang kiprah para public figure yang sedang bermasalah. Mereka nyaris tak mau lagi menghiraukan batasan-batasan hukum yang berlaku. Berita-berita yang bersifat sangat pribadi, ‘dipaksa’ dan ‘dijual’ untuk bisa hadir di tengah publik.
Soal apakah si public figure itu nanti bakal terima atau tidak diperlakukan semacam itu, nampaknya kurang begitu diperhatikan. Bagi mereka, yang penting, jika ada suatu peristiwa tengah terjadi pada seorang public figure, dan peristiwa itu sendiri punya nilai jual yang cukup menjanjikan, maka bila dipandang perlu, seluruh cruew diterjunkan ke lokasi kejadian guna menggelar siaran tayangan langsung (live).
Terus-terang, kita sungguh sangat sedih sekali menyaksikan bagaimana carut-marut dunia pemberitaan di negeri ini. Apalagi ketika lewat layar kaca di rumah kita masing-masing, kita ‘dipaksa’ untuk terus-menerus mendengar dan menyaksikan berita-berita negatif tentang para public figure yang ada di negeri ini.
Anehnya, iklim yang tak sedap itu, ternyata masih terus saja terjadi tanpa ada usaha dari pihak pemerintah untuk mengendalikannya. Dengan adanya iklim pemberitaan yang tak sedap itu, bukan hanya public figure yang tengah bermasalah saja yang bakal dirugikan. Umat Islam --- sebagai konsumen terbesar di negeri ini --- secara keseluruhan pun, merasa ikut dirugikan.
Pasalnya, pemberitaan yang demikian itu, jelas telah ‘meracuni’ pemikiran umat Islam. Terutama para generasi muda-mudi Islam. Akibatnya, umat Islam jadi gampang larut dalam silang pendapat tentang hal-hal yang seharusnya tidak perlu mereka ributkan.
Karena itu, melalui tulisan ini, kita menghimbau para orangtua agar selalu mendampingi anak-anaknya ketika menonton televisi. Terutama ketika menyaksikan acara-acara yang menyajikan tentang kiprah para selebritis dan berita-berita negatif mengenai public figure yang tengah bermasalah.
Sekiranya tidak begitu membawa manfaat bagi kepentingan pemikiran anak di masa depan, maka membatasi agar anak tidak menonton tayangan yang banyak mengumbar fitnah tersebut, merupakan pilihan yang sangat bijaksana. Sebaliknya, jika upaya untuk menghindarkan agar anak tidak menonton tayangan yang mengumbar fitnah itu tak bisa dilakukan, maka formula yang telah ditawarkan Allah dalam surat An-Nuur ayat 19, perlu ditegakkan di dalam rumah. Yaitu:
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui. (Qs. 24: 19)
Hal itu penting untuk diperhatikan oleh para orangtua, agar generasi penerus Islam yang bakal mereka lahirkan nanti, tidak gampang tercemari oleh berita-berita negatif seperti yang ditayangkan di televisi. Terkait dengan hal itulah, dalam surat Al-Hujuraat ayat 6, Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Persoalannya sekarang ialah, mau tidak kita menegakkan perintah Allah tersebut, bukan soal bisa atau tidak bisa? ۞
20
‘Hadiah’
Kesabaran
Dari al-Qudla’i, ad-Dailami dan al-Hakimut-Turmudzi r.a. berkata:
Allah berfirman dalam hadis Qudtsi:
Apabila telah Kubebankan kemalangan (bencana) kepada
salah seorang hambaKu, pada badannya, hartanya, atau anaknya, kemudian ia menerimanya dengan sabar yang sempurna, maka Aku merasa enggan menegakkan timbangan baginya pada hari kiamat atau membukakan buku catatan amalan baginya.” (HR. Anas. r.a)
K
ata sabar, merupakan salah satu kata yang sangat akrab dalam kamus kehidupan manusia. Apalagi dalam kehidupan umat Islam. Kata sabar, seringkali dipakai terutama ketika seseorang sedang terkena kesukaran atau musibah dalam hidupnya. Misalnya karena tengah menghadapi kematian, sedang sakit berat, atau karena terkena bencana.
Kata sabar, memang sangat mudah untuk diucapkan. Tapi, tidak mudah untuk diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Pasalnya, kita tidak tahu bagaimana caranya agar kita bisa betul-betul sabar ketika menghadapi suatu masalah. Karena itu, dalam kamus kehidupan umat Islam, pratik sabar memang telah menjadi persoalan tersendiri yang tak kalah peliknya dengan permasalahan yang sedang dihadapi itu sendiri.
Padahal, dalam surat Al-Baqarah ayat 153, Allah telah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan alat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.(Qs. 2: 153)
Dalam kehidupan sehari-hari, anjuran untuk bersikap sabar, lebih sering disampaikan oleh orang yang tidak dalam posisi tengah menghadapi persoalan. Karena itu, tak heran, ketika mereka menyampaikan anjuran untuk bersikap sabar, terasa sangat ringan sekali. Sebabnya kenapa? Karena mereka tidak dalam posisi sedang dihadapkan dengan persoalan.
Sedang bagi mereka yang tengah tertimpa musibah, ketika mendengar ada orang lain yang mengingatkannya untuk bersikap sabar, tak jarang sering muring-muring. Apalagi kalau dalam kasus hutang-piutang. Orang yang punya uang, mungkin akan marah besar ketika dirinya diminta untuk bersabar dalam menunggu uangnya dikembalikan.
Lalu, sebetulnya, sabar itu bagaimana sih? Sabar adalah, sikap hati yang digerakkan oleh Allah yang tercermin lewat tindakan manusia dalam menerima semua ketetapan dari Allah tanpa diwarnai oleh keluh-kesah. Misalnya, orang tersebut sedang diuji kesabarannya lewat sakit yang menahun.
Jika selama menjalani sakit itu dia tidak berkeluh-kesah --- baik dzahir maupun batin --- barang sedikit pun atas segala penyakit yang dideritanya, dan dia ikhlas menerima ‘hadiah’ Allah berupa sakit tersebut, maka orang yang demikian itulah yang pantas untuk disebut sebagai orang sabar. Terhadap orang yang bisa bersikap seperti itu, Allah sangat senang. Saking senangnya, kelak di hari akhirat nanti, Allah mengaku merasa enggan untuk membuat perhitungan kepadanya seperti yang terungkap dalam hadis berikut:
Dari al-Qudla’i, ad-Dailami dan al-Hakimut-Turmudzi r.a. berkata: Allah berfirman dalam hadis Qudtsi: “Apabila telah Kubebankan kemalangan (bencana) kepada salah seorang hambaKu, pada badannya, hartanya, atau anaknya, kemudian ia menerimanya dengan sabar yang sempurna, maka Aku merasa enggan menegakkan timbangan baginya pada hari kiamat atau membukakan buku catatan amalan baginya.” (HR. Anas. r.a)
Sungguh besar ‘hadiah’ yang bakal diterima oleh seorang hamba ketika ia bisa bersabar dalam segala keadaan. Baik ketika suka maupun dalam keadaan duka. Pertanyaannya sekarang ialah, bisakah kita sabar seperti yang digambarkan Allah dalam hadis tersebut? Sehubungan dengan pertanyaan ini, Allah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 127:
Bersabarlah dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah (Qs. 16: 127)
Jika memperhatikan firman Allah tersebut, jelas sekali bagaimana sebetulnya babakan orang bisa bersabar atau tidak dalam hidupnya. Sebab, melalui ayat tersebut, Allah dengan tegas mengatakan: bahwa aslinya manusia itu tidak bisa bersabar.
Kalau pun, misalnya, ada seorang hamba terlihat seolah-olah bisa sabar ketika menghadapi suatu masalah, maka sebetulnya bukan karena dia bisa bersabar. Tetapi, mutlak karena adanya pertolongan dan kemurahan dari Allah yang telah ‘menghadiahkan’ kemampuan pada hamba tersebut untuk bisa bersabar. Tanpa adanya pertolongan dari Allah, maka kita tidak ubahnya hanyalah seonggok patung yang tak bisa berbuat apa-apa. ۞
Bagian Tiga:
Mewaspadai Maksiatnya Hati
21
Ingin Masuk
Surga?
Allah berfirman:
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu. Tetapi, dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing.
Jika kamu menghalaunya, diulurkannya lidahnya; dan jika kamu membiarkannya, dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami.
Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (Qs. 7: 176)
M
anusia itu memang aneh. Sudah diberitahu agar menyiapkan bekal untuk kehidupan yang lebih kekal, malah sibuk ngurusi kehidupan dunia yang sifatnya hanya sementara dan penuh tipu daya. Disuruh mencintai Allah dan RasulNya, malah sibuk mencintai wanita, tahta dan harta.
Anehnya lagi, ketika diingatkan oleh para ulama, kiai dan para penceramah agar segera meninggalkan perbuatan yang dapat membuat hati jadi terhijab itu, mereka malah mengolok-olok. Memang agak repot menghadapi manusia yang hidup di akhir zaman ini. Apalagi kalau menghadapi manusia yang sudah jadi ‘budak’ dunia.
Memang aneh betul manusia itu. Pingin masuk surga, tapi tidak mau beramal. Ingin hidup enak, tapi tak mau kerja keras. Minta dicintai Allah, tapi tak pernah mengindahkan setiap perintah dan laranganNya.
Memang keterlaluan manusia itu. Disuruh mengerjakan amal kebajikan, malah berbuat onar. Diperintah agar jangan membuat kerusakan di muka bumi, malah hampir setiap hari selalu melakukan kerusakan. Pohon-pohon ditebangi, perut bumi dikuras habis dan bukit-bukit dipaprasi. Mau jadi apa to hidup ini, kalau semua orang malah melakukan apa yang telah dilarang oleh Gusti Allah?
Benarlah kiranya, jika Allah menyindir perbuatan manusia yang demikian itu, tak ubahnya seperti seekor anjing yang sering menjulurkan lidahnya. Lihat saja bagaimana firmanNya dalam surat Al-A’raaf ayat 176 berikut: Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (Qs. 7: 176)
Kalau sudah seperti itu, lalu bagaimana jalan keluar yang terbaik untuk kita yang berada di luar mata rantai keanehan itu? Jawabnya adalah, mendo’akan mereka yang lagi dalam ‘kerusakan’ itu agar mendapat hidayah dan ampunan dari Allah. Terus, setelah itu, kita yang berada di luar ini, mau belajar praktik bersikap netral dengan setiap perbuatan yang telah mereka lakukan itu. Sebab, pada dasarnya, yang menggerakkan mereka berbuat seperti itu juga adalah Allah. Kalau sekiranya Allah membuat mereka semua jadi lumpuh, maka ndak bakalan mereka bisa berbuat kerusakan di muka bumi ini. Berarti kita disuruh belajar mendo’akan dan belajar bersikap netral, supaya tidak katut. Sebab, kalau kita ‘mengadili’ dan ‘menghukum’ mereka yang berbuat kerusakan itu, maka berarti kita telah mengambil peran Allah. Sedang kita tahu, bahwa ‘merebut’ kekuasaan Allah itu, adalah salah satu perbuatan yang paling tidak disukai oleh Allah.
Itu makanya, kita perlu berhati-hati. Jangan mudah katut dengan situasi yang ada di hadapan kita. Sebab, resikonya sangat besar. Dan yang jelas, kita tidak bakalan mampu untuk menanggung resiko tersebut. ۞
22
Menjadi
Sahabat Allah
Allah berfirman:
Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).
(Qs. Ar-Ra’d: 25)
P
ada dasarnya, jauh sebelum kita ‘diutus’ ke muka bumi ini, kita dulu pernah ‘bercengkrama’ sangat akrab dengan Allah ‘Azza wa Jalla. Kita telah menjadi sahabat Allah Ta’aala. Tapi, sayangnya, peristiwa itu terjadi saat kita masih berada di alam mahfudz.
Menurut sebuah riwayat dari para ulama salaf menyebutkan, bahwa kedekatan manusia dengan Allah saat itu telah mengakibatkan timbulnya ‘kecemburuan’ pada malaikat. Malaikat ‘cemburu’ karena mereka tidak mendapat perlakuan yang sama seperti manusia.
Karena sebab kemurahan Allah, manusia lalu diberi pilihan hidup yang dapat membuat kedudukannya menjadi lebih tinggi dari Malaikat. Yaitu ‘diutus’ menjadi manusia yang bertaqwa di muka bumi. Pilihan itu, jika dijalani manusia dengan sungguh-sungguh, maka kelak dapat menghapus ‘kecemburuan’ para Malaikat.
Sehingga, dengan dasar manusia telah menjalani proses yang cukup panjang itulah, Allah kelak akan menjadikannya sebagai ‘dalil pembenar’ atas keputusanNya untuk meletakkan manusia pada derajat yang lebih tinggi dari Malaikat.
Tapi, sebelum manusia ‘diutus’ turun ke muka bumi ini, Allah telah membuat perjanjian kepada manusia terlebih dahulu. Yaitu mengenai ikrar pengakuan manusia terhadap eksistensi Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang akan disembahnya, sebagaimana yang dimuat dalam surat Al-A’raaf ayat 172 berikut:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (Qs. 7: 172)
Sejak manusia ‘diutus’ Allah turun ke muka bumi inilah, hubungan yang mesra antara manusia dengan Allah ‘Azza wa Jalla jadi agak ‘terganggu’. Pasalnya, bukan karena Allah menjauhi manusia, tapi karena manusia itu sendirilah yang telah banyak membuat ulah sehingga menyebabkan hubungan tersebut jadi ada jarak.
Karena manusia tak bisa mengendalikan hawa nafsunya yang cenderung selalu mengajak untuk berbuat kerusakan itulah, maka manusia pun akhirnya jadi lupa dan ingkar tentang apa yang dulu pernah diucapkannya sendiri kepada Tuhan Yang Sebenarnya. Sejak itulah, manusia lalu sering terjebak dalam kerusakan yang berkepanjangan. Simak saja firmanNya dalam surat Ar-R’ad ayat 25 berikut:
Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, maka orang-orang itulah yang kelak akan memperoleh kutukan, dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam). (Qs. Ar-Ra’d: 25)
Bagaimana jalan keluar untuk bisa bebas dari persoalan yang sangat pelik itu? Jauh-jauh hari Allah telah membuat berbagai alternatif jalan keluar yang dapat ditempuh oleh manusia. Diantaranya yaitu, membenahi kembali bangunan iman kepada Allah dengan cara memperbaharui ikrar dan memperbanyak ingat (zikir) kepadaNya.
Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati bisa menjadi tenteram. (Qs. Ar-Ra’d: 28)
Selain itu, Allah juga mengingatkan manusia untuk mau belajar ta’at pada setiap kehendak dan keputusan yang telah Dia tetapkan. Hanya dengan cara seperti itulah, Allah kelak akan mengangkat derajat manusia agar bisa lebih tinggi dari Malaikat. Dan dengan cara itu jugalah, manusia kelak bisa menjadi sahabat Allah lagi, seperti ketika ia masih di alam mahfudz dulu.
Singkat kata, dengan ta’at kepada Allah, maka insya Allah, manusia kelak akan mendapat ampunan dari Allah akibat semua perbuatan lalai yang pernah mereka lakukan. Hal itu sesuai janjiNya dalam surat Al-Fath 2-3 berikut:
Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus, dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat (banyak). (Qs. 48: 2-3)
Sekarang tinggal tergantung pada diri Anda sendiri; mau atau tidak memanfaatkan kesempatan yang telah diberikan Allah tersebut? Yang jelas, jika Anda ingin jadi sahabat Allah, maka tempuhlah jalan tersebut dengan hati yang senang. ۞
23
Takut Neraka,
Tapi ….
Allah SWT telah berfirman:
“Orang-orang yang beriman dan beramal saleh,
bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.”
(Qs. Ar-Ra’d: 29)
I
man dan amal saleh, dua bagian terpenting dalam agama yang tak dapat dipisahkan. Beriman saja tanpa amal saleh, ibarat orang yang sedang mimpi ingin masuk surga, tapi tak mau berbuat sesuatu agar ia bisa masuk surga. Atau ibarat orang yang ingin hidup kaya dan berkecukupan, tapi tidak mau bekerja keras.
Mengapa masalah iman acapkali dikaitkan oleh Allah Ta’aala dengan amal saleh? Karena amal saleh dalam agama Islam, merupakan salah satu alat bukti yang dapat dijadikan sebagai ‘barometer’ paling nyata untuk mengetahui apakah seseorang itu punya iman atau tidak kepada Allah.
Di samping itu, amal saleh juga merupakan tanda kesyukuran dari seorang hamba yang beriman kepada Yang Diimaninya, yaitu Sang Pencipta. Lewat syukur itulah, seorang hamba bisa mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada Allah lantaran telah dianugerahi nikmat iman-Islam yang telah tertancap dalam qalbunya. Karena itu, dalam surat Ar-Ra’d ayat 29, Allah berfirman:
Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.
Jika mencermati firman Allah tersebut, nampak betapa sangat besarnya perhatian Allah Ta’aala kepada hamba-hambaNya yang beriman dan beramal saleh. Buktinya, orang yang beriman dan beramal saleh itu, kelak di hari akhirat nanti, Allah akan memberinya ‘hadiah’ berupa tempat tinggal yang sangat nyaman dan indah.
Saking nyaman dan indahnya tempat yang bakal ‘dihadiahkan’ oleh Allah pada manusia itu, sampai-sampai Rasulullah SAW mengungkapkannya dengan kata-kata: tempat yang telah dijanjikan itu tidak pernah terlihat oleh mata dan tidak pernah terdengar oleh telinga.
Pertanyaannya sekarang ialah, mengapa kita masih sering sibuk dengan urusan dunia? Mengapa kita tidak segera saja bergegas untuk menyambut ‘hadiah’ Allah tersebut? Pertanyaan ini memang tidak mudah untuk menjawabnya.
Lihat saja bagaimana sikap kita sendiri dalam menjalani kehidupan sehari-hari di muka bumi ini. Sudah jelas bahwa Allah Rabbul ‘Izzati tidak pernah ingkar janji --- baik dalam perkara dunia maupun akhirat --- tapi kita masih sering ogah-ogahan untuk beribadah dan beramal. Padahal, kita tahu, bahwa Allah sangat senang kepada hambaNya yang mau beribadah dan beramal dengan sukarela.
Tapi, kenyataannya, kita masih tetap saja tak bergeming. Padahal, kita tahu, bahwa salah satu tujuan Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan dan ‘mengutus’ manusia hidup di muka bumi ini adalah, untuk beribadah kepada Allah, Zat yang menguasai seluruh kerajaan, baik yang ada di bumi, langit maupun yang ada di antara keduanya. Hal itu telah ditegaskan oleh Allah dalam surat Adz-Dzaariyaat ayat 56, yaitu:
Dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah (mengabdi) kepada-Ku. (Qs. 51: 56)
Memang kacau betul cara berpikir manusia yang hidup di akhir zaman ini. Katanya takut masuk neraka, tapi untuk menjalankan ibadah dan amal saleh susahnya minta ampun. Katanya ingin masuk surga, tapi ketika disuruh beriman, malah banyak membantah.
Disuruh beribadah, tidak mau. Ketika mati, mintanya khusnul khatimah. Ngakunya beriman, tapi tidak mau beramal. Ketika di hari akhir nanti, pinginnya tak mau dihisab. Bahkan, kalau bisa, langsung masuk surga. Kalau Anda bagaimana? ۞
24
Tuli, Bisu
& Buta
Allah SWT berfirman:
Perumpamaan mereka itu adalah seperti orang yang menyalakan api, ... Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali
(ke jalan yang benar) (Qs. 2: 17-18)
B
eribadah kepada Allah itu tidak hanya salat. Seluruh dimensi kehidupan kita di muka bumi ini, jika kita pandai dalam menata dan mengolahnya, maka semua itu bisa bermakna ibadah. Tapi sayang, teramat sedikit kita memberi porsi ruang untuk memperhatikan tentang masalah tata batin tersebut.
Hal itu terjadi, karena kita terkadang masih sering ‘dikacaukan’ oleh bujuk-rayu hawa nafsu kita sendiri dalam melihat dan memaknai ibadah. Kita kadang sering menyempitkan makna ibadah kepada Allah Ta’aala itu hanya sebatas gerak ritual saja. Seperti mengerjakan salat, puasa, membaca al-Qur’an atau bersedekah.
Sedang, ketika kita sibuk bekerja untuk mencari rezki, kita malah sering menganggapnya sebagai kewajiban duniawi yang tidak ada hubungannya dengan ibadah. Akibatnya, kita pun kadang tidak mau memperhatikan norma-norma agama terkait dengan masalah pekerjaan yang sedang kita lakukan. Ujung-ujungnya, kita pun akhirnya tak mau tahu apakah perbuatan kita saat itu masuk dalam kategori perbuatan yang halal atau haram untuk kita lakukan.
Seakan-akan, dunia usaha yang kita geluti saat itu, murni menjadi urusan antarmanusia dan terlepas sama sekali dengan prinsip-prinsip agama. Akibat kita sering melakukan tindakan nrabas larangan agama itulah, maka muncullah hijab yang sangat tebal di mata, kuping dan pikiran kita. Maka tepatlah kiranya apa yang telah disindir oleh Allah dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 17-18:
Perumpamaan mereka itu adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar) (Qs. 2: 17-18)
Ayat tersebut dengan tegas menunjukkan bahwa, barangsiapa yang masih sering membuat sekat dalam beribadah kepadaNya, meskipun di dunia ini mereka bisa melihat, mendengar dan bicara, maka sebetulnya mereka itu buta, tuli dan bisu. Orang yang demikian itu, kata Allah, sulit untuk bisa diajak kembali lagi ke jalan yang benar.
Apa sebabnya? Karena, orang yang demikian itu masih diperdaya oleh urusan duniawi. Akibatnya, dia acapkali jadi lupa atau tidak sempat memperhatikan tentang bagaimana caranya agar ia bisa tetap beribadah meski berada di tengah kesibukkannya sehari-hari.
Bagaimana caranya? Cobalah diawali dengan cara nata hati secara benar. Bersihkanlah niat kita dari selain mengharap ridha Allah, dan hindari ‘gesekan’ dengan virus penyakit hati. Dengan cara seperti itu, apa pun aktivitas yang akan dan telah kita kerjakan, insya Allah, nanti dapat mendatangkan kesenangan Allah terhadap diri kita. ۞
25
Mempermainkan
Agama
Dari Abu Hurairah r.a. berkata:
Bersabda Rasulullah SAW: “Siapa yang dikehendaki oleh Allah padanya suatu kebaikan (keuntungan), maka diberinya penderitaan.”
(HR. Bukhari)
B
arangsiapa yang merasa cemas karena telah kehilangan harta, tahta, wanita dan nyawa, maka ketahuilah, bahwa kecemasan yang demikian itu adalah kecemasan yang sia-sia. Sebab apa? Karena, rasa cemas yang muncul lantaran didorong oleh perasaan ‘takut’ bakal kehilangan harta, tahta, wanita dan nyawa itu, adalah rasa cemas yang dapat membuat rusaknya iman-Islam kita.
Sebab, perasaan itu muncul karena adanya pengaruh ‘stimulan’ dari hawa nafsu kita yang masih terlalu cinta pada dunia. Padahal, kita tahu, yang namanya dunia itu, sifatnya adalah fana alias hanya sementara. Alangkah meruginya hidup kita jika mencemaskan apa yang sebetulnya tidak perlu kita cemaskan. Yaitu, mencemaskan sesuatu yang bersifat tidak abadi alias tidak langgeng.
Tapi, faktanya, banyak di antara kita sekarang ini yang justru lebih sering cemas terhadap apa yang tak pantas untuk kita cemaskan itu. Anehnya lagi, kita justru jarang merasa cemas dan takut manakala --- dalam hitungan detik --- tiba-tiba iman-Islam kita menjadi hilang. Kita hampir tak pernah merasa cemas manakala kita tengah berkubang dalam lautan dosa dan maksiat. Kita juga terkadang tak pernah merasa cemas dan takut, tatkala tindakan yang akan kita lakukan itu bakal membuat adanya hijab yang tebal antara diri kita dengan Allah dan dengan makhluk lainnya.
Seakan-akan, apa yang kita khawatirkan tentang harta, tahta, wanita dan nyawa itu, jauh lebih penting untuk kita pikirkan daripada kalau kita mengkhawatirkan hilangnya iman-Islam kita. Padahal, hampir setiap hari, banyak perbuatan yang telah kita lakukan di dunia ini, justru malah makin mempercepat proses rusaknya bangunan iman-Islam kita kepada Allah Rabbul ‘Alamin.
Terkait dengan perbuatan kita yang demikian itulah, ada baiknya jika kita merenungkan sejenak apa yang pernah dikatakan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari. Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Bersabda Rasulullah SAW: “Siapa yang dikehendaki oleh Allah padanya suatu kebaikan (keuntungan), maka diberinya penderitaan.”
Kata penderitaan dalam hadis tersebut, jelas menunjukkan tentang bagaimana Maha Sayangnya Allah kepada kita. Sebab, lewat berbagai penderitaan itulah, Allah sebetulnya justru ingin mensucikan dan mengangkat derajat kita agar bisa menjadi hambaNya yang beruntung.
Tapi sayang, ketika penderitaan tersebut telah sampai pada diri kita, maka seketika itu juga kita pun terkadang lebih banyak lupa pada kebaikan Allah. Kita menganggap, penderitaan yang dikirim Allah lewat para MalaikatNya itu, sebagai satu bentuk ‘hukuman’ Allah pada diri kita. Bukan sebagai tanda kasih-sayangnya Allah kepada diri kita.
Akibatnya, kita seringkali secara diam-diam ‘memusuhi’, ‘menuduh’ dan ‘menggugat’ Allah. Bahkan, tak jarang, kita justru menganggap Allah tak sayang pada diri kita. Padahal, ketika Dia mengirim sejumlah penderitaan untuk kita jalani itu, aslinya, justru Dia berkehendak agar kita kelak menjadi hambaNya yang beruntung.
Sikap kita yang sering menolak karunia penderitaan (baca: ujian) yang dikirim oleh Allah itu, dalam pandangan Allah, termasuk sebagai perbuatan orang-orang yang telah ingkar pada ayat-ayatNya. Artinya, menurut Allah, kita saat itu telah termasuk dalam kategori sebagai hamba yang suka bermain-main dalam urusan agama. Hal itu Dia tegaskan pada surat Al-A’raaf ayat 51:
(Yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka. Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami. (Qs. 7:51)
Singkat kata, tindakan kita yang acapkali mengkhawatirkan akan hilangnya sesuatu yang bersifat keduniawian itu, sama saja artinya kita telah ‘mempermainkan’ ayat-ayat Allah. Di sinilah pentingnya kita belajar untuk mengenal Allah lewat setiap gerak-gerik makhluk yang ada di sekitar kita. Termasuk lewat berbagai ‘materi ujian’ yang diberikan kepada kita.
Sungguh beruntunglah orang-orang yang selalu berusaha untuk belajar bangun prasangka baik kepada Allah. Dan sungguh beruntunglah orang-orang yang selalu mawas diri dalam setiap kali menapakkan kakinya di muka bumi. Mudah-mudahan, Anda-lah orang yang beruntung itu. Amin. ۞
26
Pengaruh
Hawa Pasar
Dari Abu Hurairah r.a. berkata:
Bersabda Rasulullah SAW: “Tempat yang amat disukai oleh Allah ialah masjid dan yang paling dibenci oleh Allah ialah pasar-pasar.”
(HR. Muslim)
D
alam sebuah kesempatan, Rasulullah SAW pernah bersabda kepada para sahabat. Kata beliau, sebaik-baik tempat yang amat disukai oleh Allah adalah masjid. Sedang seburuk-buruk tempat yang paling dibenci oleh Allah adalah pasar.
Mengapa pasar sangat dibenci oleh Allah? Karena, menurut sebuah riwayat, Rasullah SAW pernah bersabda, bahwa pasar itu merupakan tempat bermukimnya makhluk setan dan seluruh pasukannya.
Apa sebab setan dan pasukannya senang bermukim di pasar? Karena, di pasar itulah, setan bisa merekrut dan menambah jumlah para pengikutnya yang berasal dari kalangan manusia.
Bagaimana cara setan dalam merekrut manusia agar mau menjadi pengikutnya? Jawabnya antara lain, lewat cara menyuntikkan serum kecintaan yang berlebihan terhadap dunia pada setiap hati manusia yang ada di pasar. Selain itu, ia juga masuk lewat cara meniupkan hawa kecemasan, ketakutan, kekhawatiran, keserakahan, kebencian, ketidakpercayaan, kebohongan dan keculasan pada setiap hati manusia yang berada di pasar.
Serum-serum itulah yang kemudian menimbulkan berbagai macam hawa negatif yang ada di pasar. Misalnya hawa penyakit hati iri, dengki, kikir, bakhil, su’udzon, marah, jengkel, mangkel, ujub, takabbur dan riya’. Di samping, lewat serum itu juga, mereka yang berada di pasar acapkali gampang terseret untuk bersikap tak mau kalah, tak mau jujur, tak mau salah dan tak mau tahu dengan norma-norma agama.
Tapi, anehnya, meskipun manusia telah mengetahui bahwa pengaruh hawa pasar itu sangat tidak kondusif bagi keselamatan iman-Islamnya, namun kenyataannya, hingga detik ini, minat manusia untuk mengunjungi pasar masih sangat tinggi dibandingkan dengan minat mereka untuk pergi ke masjid.
Lihat saja bagaimana sikap orang-orang yang ada di sekitar kita. Atau, kalau tidak mau repot, coba perhatikan bagaimana diri kita sendiri dalam menyikapi dawuh Rasulullah SAW tersebut. Adakah kita pernah memberi ruang yang cukup besar untuk memakmurkan rumah Allah ‘Azza wa Jalla?
Pertanyaan lain yang muncul adalah: pernahkah terbersit dalam hati kita perasaan merasa malu pada Rasulullah SAW tatkala kita tengah melangkahkan kaki ke pasar? Pernahkah kita merasa malu kepada Allah dan RasulNya, manakala ternyata kita lebih memilih untuk memakmurkan pasar daripada memakmurkan rumahNya? Masih pantaskah kita menyebut diri kita sendiri sebagai pengikut setianya Rasulullah SAW, sedang kenyataannya, hati kita setiap hari lebih banyak tertambat di pasar daripada di masjid?
Mudah-mudahan, lewat sejumlah pertanyaan itu, kita bisa belajar untuk memulai menata pilihan hidup kita secara benar. Dan semoga Allah meneguhkan hati kita untuk bisa menghalau pengaruh hawa pasar sehingga kita bisa terus memakmurkan rumahNya. Amin. ۞
27
Dosa Besar
Versus Dosa Kecil
Allah Rabbul ‘Izzati berfirman:
“ … dan kamu menganggapnya sebagai sesuatu yang ringan saja.
Padahal dia pada sisi Allah adalah besar”
(Qs. 24: 15)
S
alah satu perbuatan yang paling berbahaya jika sampai dilakukan oleh umat Islam adalah, ketika dia menganggap remeh setiap perbuatan dosa-dosa kecil yang telah ia lakukan dalam kehidupannya sehari-hari. Mengapa demikian? Karena, di hadapan Allah, yang namanya dosa tetap dosa. Tidak peduli apakah dosa yang telah kita lakukan itu besar atau kecil. Perhatikan saja apa kata Allah dalam surat An-Nuur ayat 15 berikut:
… dan kamu menganggapnya sebagai sesuatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.
Yang jelas, bagi Allah, sekali dosa, ya tetap dosa. Allah tidak mau tahu dan tidak terima alasan mengapa seorang hamba sampai berbuat dosa. Allah juga tidak mau tahu, apa yang akan kita lakukan setelah mengerjakan perbuatan dosa itu. Apakah kita mau bertobat atau tidak, Allah tidak butuh. Tobat silahkan, tidak mau tobat rasakan sendiri akibatnya.
Sebab, bagi Allah, betapa pun kecilnya perbuatan dosa yang telah dilakukan oleh manusia, jika tidak segera ditobati, maka apa yang semula dianggap kecil bagi manusia itu, sangat boleh jadi justru akan berubah menjadi besar. Sebaliknya, dosa yang besar, bisa jadi akan berubah menjadi kecil, apabila diletakkan dalam lautan kemurahan Allah ‘Azza wa Jalla.
Mengapa kita tidak boleh meremehkan dosa-dosa kecil? Karena, pertama, dosa-dosa kecil itu jauh lebih sulit untuk kita hindari daripada dosa-dosa besar. Kedua, karena dosa-dosa kecil itu, jika tidak segera kita tobati, bisa membuat kita jadi mudah terhijab. Akibatnya, kita akan mengalami kesulitan untuk bisa membedakan antara perbuatan dosa kecil dan dosa besar.
Ketiga, ketika kita meremehkan adanya dosa kecil, maka pada saat itu, kita gampang sekali untuk terjerumus ke dalam perbuatan dosa besar. Sebab, barangsiapa yang berani terhadap hal-hal yang kecil, maka biasanya dia akan berani pula terhadap hal-hal yang besar. Terkait dengan hal itulah, dalam surat An-Najm ayat 31-32, Allah telah berfirman:
Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (syurga). (Qs. 53: 31)
(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu maha luas ampunanNya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa. (Qs. 53: 32)
Sehubungan dengan hal itulah, jika Anda bekeinginan untuk menjadi sahabat dan sekaligus kekasih Allah, maka hal pertama yang harus Anda perhatikan adalah, hindarilah melakukan perbuatan dosa-dosa kecil, agar Anda tidak terjerumus ke dalam perbuatan dosa besar. Sebab, tidak akan ada dosa besar, jika tidak dimulai dari melakukan perbuatan-perbuatan dosa kecil.
Perbuatan dosa kecil tidak mungkin terjadi, apabila kita sendiri telah bertekad dalam hati untuk selalu ta’at dan patuh pada setiap ketetapan yang telah diputuskan oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Sebab, sesungguhnyalah, tidak akan mungkin seorang makhluk bisa ta’at dan patuh kepada Allah, jika Allah tidak mengaruniakan kemurahan pada dirinya.
Karena itu, bersyukurlah Anda jika telah diberi kemampuan untuk bisa ta’at dan patuh pada setiap kehendakNya. Sebab, ketahuilah, sesungguhnya, kemuliaan itu terkait erat dengan keta’atan, dan kehinaan itu terkait erat dengan kemaksiatan. ۞
28
Sesungguhnya,
Wali-Wali Allah itu …
Allah Rabbul ‘Izzati berfirman:
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
(Qs. 10: 62)
H
anya kekasih yang tahu rahasia kekasih. Hanya kekasih juga yang tahu bagaimana cara Sang Kekasih dalam mencintai yang dikasihinya. Dan hanya kekasih sejatilah yang tahu betul perbuatan apa saja yang paling disukai oleh Yang Dikasihinya.
Kekasih sejati, selalu mengutamakan untuk memenuhi setiap kehendak dan keinginan Yang Dikasihinya. Dia tidak ingin jika Kekasih Yang Dikasihinya menjadi kecewa, hanya karena ia menunda-nunda atau memperlambat dalam mengungkapkan rasa rindunya kepada Yang Dikasihi.
Kekasih sejati, tak pernah mau berpisah dengan Yang Dikasihinya, walau hanya beberapa detik saja. Kekasih sejati selalu berjuang keras untuk senantiasa mentautkan hati, pikiran, perasaan dan perhatiannya hanya untuk Yang Dikasihinya.
Kekasih sejati tahu betul, pada saat kapan dia harus bersembunyi dari incaran dan terkaman hawa nafsu yang selalu berupaya untuk memisahkan dirinya dengan Yang Dikasihinya. Dan kekasih sejati juga tahu betul, pada saat kapan dia harus membuka tirai penutup yang ada di hadapannya agar ia bisa secara terang-terangan mengungkapkan dan menumpahkan perasaan cintanya kepada Yang Dikasihinya.
Kekasih sejati tak pernah merasa cemas dengan segala keadaan yang ada pada dirinya. Sebab, hatinya selalu diliputi oleh rasa rindu dan cinta kepada Yang Dikasihinya. Seperti yang diungkap oleh Allah dalam surat Yunus ayat 62 berikut ini:
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Qs. 10: 62)
Kalaupun ada perasaan cemas yang muncul pada diri seorang kekasih terhadap Yang Dikasihinya, maka hal yang dicemaskannya itu tak lain adalah, ketika Yang Dikasihinya sudah tidak mau lagi mengajaknya bicara atau tak mau lagi melihat dirinya.
Kekasih sejati selalu berjuang di jalan Yang Dikasihinya, bukan untuk kemahsyuran dirinya. Melainkan untuk kemahsyuran Yang Dikasihinya.
Kekasih sejati juga tidak pernah punya keinginan untuk bisa masuk ke dalam surga seorang diri. Justru malah sebaliknya, dia selalu berjuang untuk mengupayakan bagaimana caranya agar semua makhluk bisa mendapat barakah ampunan dan barakah keselamatan dari Yang Dikasihinya.
Kekasih sejati tak pernah berhenti bersaksi dengan hati yang bersih kepada Yang Dikasihi demi bisa meraih cintaNya yang suci. Kekasih sejati, setiap hari selalu menyepi demi Yang Dikasihi. ۞
29
Hati-Hati
Maksiatnya Hati
Allah Rabbul ‘Alamin berfirman:
Sesungguhnya, Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi, dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan.
Amat sedikitlah kamu bersyukur. (Qs. 7: 10)
T
ahukah Anda, apa yang dimaksud dengan perbuatan maksiatnya hati kepada Allah? Yaitu, perbuatan yang timbul karena keengganan hati kita untuk tunduk dan patuh kepada setiap kehendak Allah.
Bentuk dari perbuatan maksiatnya hati kepada Allah itu antara lain, suka berprasangka buruk kepada Allah, baik dalam keadaan sadar atau pun tidak sadar. Selain itu, juga bisa dalam bentuk keengganan hati kita untuk bersyukur kepada Allah atas segala nikmat yang telah Dia anugerahkan untuk kita.
Akibatnya, hati kita acapkali menjadi kering dan kerdil, lantaran selalu merasa tidak pernah puas dan tidak pernah merasa cukup dengan apa yang telah ada. Karena kurang syukur itulah, hati akhirnya menyeret hawa nafsu kita untuk selalu berprasangka buruk kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Ujung-ujungnya, hati nanti akan ‘mempolitisir’ kondisi yang ada saat itu untuk dijadikan sebagai ‘justifikasi’ oleh akal pikiran kita agar mau ‘menentang’ dan ‘melawan’ Allah Ta’aala. Padahal, dalam surat Al-A’raaf ayat 10, Allah telah berfirman:
Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.
Mengapa hati sampai berani berbuat maksiat kepada Allah? Karena, ia (baca: hati) sering disirami dengan air maksiat (dalam bentuk minum-minuman keras), diberi makanan dari sumber yang tidak halal dan ditaburi oleh pupuk-pupuk kebencian, kedengkian, ketakabburan, keserakahan dan kepongahan syahwat. Akibatnya, hati pun akhirnya jadi mengeras dan besar kepala. Lantaran itu jugalah, hati lalu berani berbuat maksiat kepada Allah. Karena itu, berhati-hatilah dengan perbuatan maksiatnya hati.
Lalu, bagaimana jalan keluarnya agar hati kita tidak lagi berani berbuat maksiat kepada Allah? Pertama, celupkanlah hati kita ke dalam samudera ampunan Allah dengan cara memperbanyak istighfar kepadaNya. Kedua, sucikanlah hati kita dalam cawan Rahman dan Rahimnya Allah dengan cara memperbanyak membaca tasbih, tahmid, tahlil dan takbir.
Ketiga, sinarilah dan terangilah hati kita dengan cara mengikut-sertakan hati dalam setiap aktivitas untuk selalu mengingat Allah Rabbul ‘Izzati. Keempat, bentengilah hati kita dengan cara memperbanyak bangunan kesyukuran kepada Allah atas segala nikmat yang telah Dia beri.
Kelima, ajaklah hati kita untuk membaca ayat-ayat Allah yang bertebaran di muka bumi ini, agar ia tidak lagi menjadi pongah lantaran selalu ‘diperbudak’ oleh nafsu syahwat. Mudah-mudahan Allah selalu memberi kekuatan dan meneguhkan hati kita untuk menjalani kehidupan ini di atas rel yang telah Dia tetapkan. Amin. ۞
30
Allah Maha
Bijaksana
Allah Rabbul ‘Alamin berfirman:
Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu,
maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri.
Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu,
maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu. (Qs. 6: 17)
B
arangsiapa yang mencari perlindungan selain Allah, Tuhan Yang Sebenarnya, maka ketahuilah, perbuatan yang demikian itu adalah perbuatan yang sia-sia. Sebab, tak ada satu pun makhluk di muka bumi ini yang dapat memberi perlindungan, selain hanya Allah ‘Azza wa Jalla.
Barangsiapa yang menyandarkan pengharapan dan pertolongan kepada makhluk, maka ketahuilah, perbuatan yang demikian itu adalah perbuatan orang-orang yang merugi. Dan barangsiapa yang suka memperturutkan hawa nafsunya dan tak mau patuh pada setiap ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah, maka ketahuilah, perbuatan yang demikian itu adalah perbuatan yang sangat tidak disukai oleh Allah.
Oleh karena itu, jangan sekali-kali Anda memberi kesempatan kepada nafsu Anda untuk ‘mengendalikan’ perjalanan hidup Anda sendiri. Sebab, sesungguhnya, hawa nafsu itu selalu membawa manusia pada kerusakan. Kecuali hawa nafsu yang telah dirahmati oleh Allah, sebagaimana yang telah difirmankanNya dalam surat Yusuf ayat 53 berikut:
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.
Karena nafsu selalu menyuruh kepada kejahatan itulah, maka berhati-hati dalam menyikapi setiap bisikan yang datang dari hawa nafsu, merupakan pilihan yang sangat tepat. Sebab, barangsiapa yang secara sengaja membiarkan gerak nafsunya menguasai perjalanan hidupnya, maka ketahuilah, kelak dia akan menyesal dan akan merasakan sendiri bagaimana akibat dari perbuatannya itu.
Yang jelas, tidaklah Allah menimpakan ‘hadiah’ kemudharatan kepada manusia, melainkan di balik setiap ‘hadiah’ yang diberikan tersebut, pasti selalu ada hikmah yang bisa diambil sebagai pelajaran berharga bagi manusia itu sendiri. Persoalannya tinggal tergantung pada kita sendiri: mau menjadikannya sebagai pelajaran atau tidak?
Hanya orang-orang yang hatinya selalu mendapat cahaya dariNya-lah yang dapat merasakan betapa Maha Besarnya cinta Allah pada dirinya. Dan hanya orang-orang yang selalu menggantungkan pengharapan dan pertolongan kepada Allah sajalah yang bisa betul-betul merasakan kebenaran dari firmanNya berikut ini:
Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu. (Qs. 6: 17)
Beruntunglah Anda, jika setiapkali ada musibah, Anda memilih menggantungkan pengharapan dan pertolongan hanya kepada Allah Rabbul ‘Alamin. Dan celakalah Anda, jika menggantungkan pertolongan kepada makhluk. Sebab, makhluk itu sesungguhnya tidak kekal dan tidak punya kekuasaan apa-apa.
Sebaliknya, jika Anda memilih Allah SWT, maka ketahuilah, Dia sungguh sangat berkuasa atas semua kehidupan ini. Dan Dia juga sangat bijaksana lagi Maha Mengetahui apa-apa yang ada di dalam hati setiap hamba-hambaNya.
Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (Qs. 6: 18)
Mudah-mudahan, dengan sebab Maha Bijaksananya Allah dan Maha Mengetahuinya Allah, kita bisa mendapat karunia kemurahanNya untuk dapat mengetahui dan melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat membuat kita menjadi bijaksana dalam menyikapi hidup ini. Wallaahu a’lam bish-shawwab. ۞
Bagian Empat:
Kunci-Kunci Untuk
Jadi Kekasih
31
Bersih-Bersih
Penyakit Hati
Allah Ghafur ar-Rahim telah berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat
dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
(Qs. 2: 222)
C
oba Anda membayangkan sejenak, pura-puranya, seluruh tubuh dan pakaian yang Anda pergunakan saat ini, misalnya, penuh dengan lumpur berwarna hitam. Kira-kira, apa yang akan Anda lakukan untuk bisa menghilangkan agar tanah lumpur berwarna hitam itu tidak lagi membungkus tubuh dan pakaian Anda, supaya penampilan Anda bisa menjadi indah kembali?
Ya, sepakat. Saya yakin, Anda pasti akan mengatakan, satu-satunya cara untuk bisa menghilangkan tanah lumpur yang membalut seluruh tubuh kita itu adalah dengan cara mandi dan mencuci pakaian dan tubuh kita yang kotor itu, agar lumpur yang menempel tersebut bisa segera hengkang dari diri kita.
Itu kalau tanah lumpur. Sekarang, coba tolong Anda bayangkan lagi, bagaimana kalau seumpama tanah lumpur yang membalut tubuh dan pakaian yang kita kenakan tadi itu, adalah akumulasi dari perbuatan dosa-dosa besar dan dosa kecil yang pernah kita lakukan. Kira-kira, apa yang akan Anda lakukan?
Apakah kalau kita mandi dan mencuci seluruh perbuatan dosa-dosa besar dan dosa kecil yang pernah kita lakukan itu dengan menggunakan air, lalu dosa-dosa itu otomatis akan luntur dari diri kita, sebagaimana halnya dalam kasus tanah lumpur tersebut? Jawabnya, belum tentu.
Sebab, ibarat lumpur tadi --- dosa-dosa besar maupun kecil itu --- ada yang bisa dibersihkan dengan air, dan ada pula yang tidak mempan dengan air. Seperti halnya emas. Jika ada kotoran yang menyelimuti sebongkah emas, maka kotoran tersebut tentu ada yang bisa dibersihkan dengan menggunakan air yang dicampur dengan larutan kimiawi tertentu. Dan ada juga yang tak bisa dibersihkan hanya dengan air saja.
Kotoran yang membalut sebongkah emas yang tak bisa dibersihkan dengan menggunakan air itu, tentunya bisa menjadi bersih kembali apabila kotoran tersebut dibakar dengan menggunakan api terlebih dahulu. Sebab, lewat pembakaran itulah, kotoran tersebut bisa lepas.
Persoalannya sekarang ialah, jika akumulasi dosa-dosa besar dan dosa kecil yang ada pada diri kita itu, misalnya, proses pembersihannya harus melalui pembakaran terlebih dahulu, kira-kira prosesnya akan berlangsung berapa lama? Siapkah kita untuk menjalaninya? Wallaahu a’lam bish-shawwab.
Yang jelas, jika perumpamaan tersebut benar-benar akan terjadi, jangankan harus merasakan di akhirat nanti, wong ketika tangan kita terbakar oleh api di dunia (yang jika dibandingkan dengan api di neraka nanti tidak ada apa-apanya itu) saja, kita terkadang sudah menjerit kesakitan. Apalagi kalau harus menjalaninya, maka alangkah sedih dan pedihnya kisah akhir dari perjalanan kita dalam bertemu Allah.
Oleh karena itulah, barangsiapa yang ingin menjadi kekasih Allah dan ingin bertemu dengan Tuhan Yang Sebenarnya, maka syarat pokoknya adalah, orang tersebut harus mau membiasakan dirinya untuk belajar bersih-bersih penyakit hati (bertobat) di samudera cintaNya. Mumpung masih diberi kesempatan oleh Allah untuk hidup di muka bumi ini. Sebab, menyesal kemudian tak ada gunanya. Berkaitan dengan hal itulah, Allah Rabbul ‘Alamin telah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 222:
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Mengapa harus lewat cara bertobat terlebih dahulu untuk bisa bertemu pada Allah? Karena, jika dosa-dosa yang telah kita lakukan itu tidak segera kita tobati, maka kita tidak akan mungkin bisa bertemu padaNya. Sebab, akumulasi dari dosa-dosa itu nanti akan menjadi hijab yang dapat menghilangkan nikmatnya rasa bisa bertemu Allah.
Selain itu, dengan melakukan tobat, sesungguhnya kita telah berikhtiar untuk mengambil senangnya Allah. Apalagi Allah sendiri telah mengatakan, bahwa Dia memang sangat menyukai orang-orang yang selalu bertobat karena mengharap kemurahan dan ridhaNya. Mudah-mudahan, Allah ‘Azza wa Jalla tak pernah melepaskan kemanjaanNya untuk kita selama-lamanya. Amin. ۞
32
Mencintai
Semua Makhluk
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. 3: 31)
S
esungguhnya, cinta dan kasih sayang Allah kepada makhluk ciptaanNya yang ada di muka bumi ini, jauh lebih besar daripada murkaNya. Karena itu, barangsiapa yang bisa merasakan betapa besarnya cinta Allah pada dirinya, maka seharusnya ia tidak perlu menjadi orang yang pelit dan kikir dalam soal mencintai semua makhluk.
Sebab, sudah sepantasnyalah jika orang yang bisa merasakan betapa besarnya cinta Allah pada dirinya itu pun mau mencintai dan menyayangi semua makhluk ciptaan Allah yang ada di muka bumi ini. Mencintai dan menyayangi tanpa pilih kasih dan tanpa harus membeda-bedakan asal keturunan, warna kulit dan keyakinan yang dianut.
Karena itu, berbahagialah bagi orang-orang yang telah dikaruniai kemampuan untuk bisa mencintai dan menyayangi semua makhluk Allah yang ada di muka bumi ini. Sebab, sesungguhnya, jika seorang hamba bisa mencintai dan menyayangi semua makhluk ciptaan Allah --- tanpa membeda-bedakan --- maka sebetulnya, orang tersebut sama saja telah mencintai Allah dan RasulNya.
Apa sebabnya? Karena Allah dan RasulNya tidak pernah lelah dalam mencintai dan menyayangi semua makhluk, meskipun yang dicintai dan disayangi itu selalu membangkang. Oleh sebab itu, jika Anda ingin menjadi kekasih Allah dan RasulNya, maka bukalah lebar-lebar pintu cinta dan gerbang kasih sayang Anda untuk semua makhluk.
Memang, harus diakui, tidak mudah untuk bisa mencintai dan menyayangi semua makhluk. Apalagi untuk mencintai dan menyayangi makhluk yang pernah membuat hati kita menjadi terluka. Atau, misalnya, mencintai dan menyayangi makhluk yang pernah menyakiti kita. Memang sungguh tidak mudah.
Lalu, mungkinkah kita bisa mencintai dan menyayangi semua makhluk? Kemungkinan untuk bisa itu, tetap saja ada. Asal, syaratnya, pada diri kita sendiri, tumbuh sebuah kesadaran dan kemauan untuk mau belajar mencintai dan menyayangi semua makhluk. Kesadaran dan kemauan itulah yang nanti akan menggerakkan hati kita untuk mencintai dan menyayangi semua makhluk.
Bagaimana caranya agar kita bisa mencintai dan menyayangi semua makhluk, meskipun makhluk tersebut pernah melukai dan menyakiti hati kita? Caranya adalah, dengan meminta barakah pertolongan, barakah kemurahan dan barakah ampunan dari Allah.
Artinya, sebelum kita melangkah, secara hati, kita terlebih dahulu meminta kepada Allah, agar Dia berkenan melimpahkan anugerah cinta dan sayang dalam hati kita. Tanpa adanya barakah pertolongan, barakah kemurahan dan barakah ampunan dari Allah, maka tentu kita tidak akan mungkin bisa mampu mencintai dan menyayangi semua makhluk. Apalagi untuk mencintai dan menyayangi makhluk yang pernah melukai dan menyakiti hati kita.
Sebab, sudah menjadi wataknya manusia. Jika cinta dan kasih sayangnya pernah dilukai dan disakiti, maka ia biasanya cenderung akan menutup pintu hatinya. Karena itu, syarat pokok untuk seseorang bisa mencintai dan menyayangi semua makhluk adalah, dia harus mau membuka lebar-lebar pintu ampunan atau pintu maaf kepada semua makhluk. Sebab, begitulah cara Allah dalam bersikap kepada semua makhlukNya.
Membuka lebar pintu ampunan dalam hati kita, berarti meniadakan penilaian tentang baik-buruk dan benar-salah pada makhluk. Sebab, ketika kita masih berkutat dalam ruang kamar kebaikan dan kebenaran, maka sisi keburukkan dan kesalahan akan berubah menjadi penghalang bagi proses untuk mengalirkan air cinta dan kasih sayang.
Membuka pintu ampunan dan meniadakan penilaian tentang baik-buruk dan benar-salah pada makhluk, berarti sama halnya kita telah memperbesar pintu gerbang permakluman dan kebaikan terhadap semua makhluk. Jadi, meskipun jelas-jelas perbuatan makhluk yang dinampakkan di depan mata kita saat itu adalah perbuatan yang tidak baik atau perbuatan salah, maka kita sudah tidak lagi mempersoalkannya.
Sebab, kita selalu melihatnya dengan kaca mata kebaikan. Dengan kata lain, jika pintu ampunan itu telah dibuka lebar, maka itu berarti, sang pencinta tidak perlu lagi repot-repot untuk ‘mengadili’ setiap gerak makhluk yang ada di hadapannya.
Beruntunglah Anda jika diberi kemampuan oleh Allah untuk bisa mencintai dan menyayangi semua makhluk. Sebab, hanya orang-orang yang selalu tulus dalam mengharap cinta dan kasih sayang dari Allah sajalah yang bisa mencintai dan menyayangi semua makhluk. Karena itu, dalam surat Ali-Imran ayat 31, Allah telah berfirman:
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. 3: 31)
Dari ayat di atas, nampak sangat jelas, bahwa orang-orang yang selalu bertekad di dalam hatinya untuk mau belajar mencintai dan menyayangi semua makhluk, kelak akan mendapat ‘hadiah’ dari Allah. Yaitu, akan diampuninya semua dosa-dosa yang pernah dilakukan.
Ayat tersebut juga mengisyaratkan kepada manusia, bahwa barangsiapa mau mencintai dan menyayangi semua makhluk ciptaan Allah yang ada di muka bumi ini, maka sesungguhnya, ia sama halnya telah mencintai Allah dan RasulNya. Mudah-mudahan, dengan sebab barakah cintaNya, hati kita pun diteguhkan oleh Allah untuk dapat mencintai semua makhlukNya. ۞
33
Yang Penting
Ta’at
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling,
maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir."
(Qs. 3: 32)
D
ALAM urusan agama, ta’at pada setiap perintah dan larangan yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya, adalah kunci pokok untuk dapat menjalankan, melaksanakan dan menjiwai ajaran agama secara benar. Seseorang itu baru bisa dikatakan ta’at, apabila di dalam dirinya ada sikap pasrah, tunduk dan patuh dalam menjalankan setiap kewajiban.
Tanpa dibarengi oleh sikap pasrah, tunduk dan patuh dalam menjalankan setiap kewajiban, sulit bagi seorang hamba untuk bisa ta’at. Sebab, ta’at itu terkait dengan sikap hati dan akal pikiran kita dalam merespon sebuah proses yang tengah dan akan berlangsung.
Ta’at menjadi sangat penting dalam urusan agama Islam, karena di dalam sikap ta’at itu, ada persoalan krusial yang berkait erat dengan masalah bobot iman kita kepada Allah dan RasulNya. Pasalnya, di dalam sikap ta’at itu, ada kandungan elemen kepatuhan, ketundukkan, kepasrahan, kecintaan dan penghormatan kepada Allah dan RasulNya.
Karena itu, barangsiapa yang ingin menjadi sahabat dan kekasih Allah, maka syarat pokok yang harus dipenuhinya adalah, ia harus mau ta’at kepada Rasulullah SAW. Wujud dari keta’atan kepada Rasulullah SAW itu adalah: mengerjakan apa saja perbuatan yang telah diperintahkan dan meninggalkan apa saja yang telah dilarang oleh Rasulullah SAW.
Terkait dengan pentingnya ta’at kepada Rasulullah SAW itu, Allah sendiri telah berfirman dalam surat Ali-Imran ayat 32:
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir."
Selain itu, Allah juga telah berfirman di dalam surat An-Nisaa’ ayat 69:
Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan RasulNya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.
Karena pentingnya ta’at dalam urusan agama itulah, kaum sufi sering mengatakan, belum terhitung ta’at kepada Allah ‘Azza wa Jalla, apabila seorang pejalan ruhani itu tidak mau patuh dan tunduk pada apa yang telah diperintahkan dan dilarang oleh Rasulullah SAW. Sebab, barangsiapa yang ta’at kepada Rasulullah SAW, maka ia terhitung sama dengan telah ta’at kepada Allah Rabbul ‘Izzati. Simak saja apa kata Allah dalam surat An-Nisaa’ ayat 80 berikut ini:
Barangsiapa yang menta’ati RasulNya, sesungguhnya ia telah menta’ati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari keta’atan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka
Belum terhitung ta’at kepada Rasulullah SAW, apabila seorang pejalan ruhani itu tidak mau ta’at dan patuh kepada setiap titah guru ruhaninya yang mengajaknya untuk meniti jalan kebaikan. Dan belum terhitung ta’at kepada guru ruhani dan Rasulullah SAW, apabila seorang pejalan ruhani itu tidak mau ta’at dan patuh kepada kedua orangtuanya sendiri.
Bagaimana caranya agar kita bisa ta’at dalam urusan agama? Paling tidak ada tiga jalan yang relatif lebih mudah untuk dilalui, tapi cukup sulit untuk dipraktikkan. Yaitu:
Pertama, jauhi perbuatan maksiat sekecil apapun. Baik itu perbuatan maksiat yang nampak atau pun yang tidak nampak. Yang nampak, misalnya, ‘melecehkan’ syari’at, ‘mengumbar’ nafsu syahwat, dan gila dunia. Sedang yang tak nampak adalah, maksiatnya hati. Misalnya, memelihara virus penyakit sombong, takabbur, iri, dengki dan suka mengumpat dalam hati.
Terkait dengan jalan yang pertama ini, Allah telah berfirman dalam surat Al-An’am ayat 151:
Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu. Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu-bapakmu, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka.
Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak diantaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar." Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahaminya.
Kedua, dahulukan hak-hak Allah Ta’aala dan RasulNya di atas kepentingan dan kebutuhan pribadi sendiri. Artinya, menomorsatukan segala urusan yang berkaitan dengan Allah dan RasulNya. Mendahulukan hak Allah dan RasulNya di sini, berarti sama halnya dengan telah menyerahkan dirinya sendiri ke dalam kekuasaan Allah.
Barangsiapa yang melakukan hal itu, maka ada kabar gembira untuk mereka. Pasalnya, Allah telah berfirman dalam surat Al-Baqaarah ayat 112:
Bahwa barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Dari ayat di atas, dapatlah ditegaskan, bahwa keta’atan kepada Allah dan RasulNya, tidak akan bisa ditegakkan, apabila hamba yang ingin ta’at itu sendiri masih sering disibukkan dengan urusan yang berkaitan dengan kepentingan dan kebutuhan pribadinya sendiri. Sebab, keta’atan yang sejati itu adalah, meninggalkan dan meniadakan setiap keinginan untuk memperturutkan hawa nafsu dan menggantinya dengan memenuhi setiap kehendakNya.
Ketiga, senang mengerjakan amal kebajikan karena didorong oleh rasa senang kepada Allah dan RasulNya. Orang yang senang kepada Allah dan RasulNya adalah orang yang selalu menyebut-nyebut namaNya, baik dalam keadaan suka maupun duka.
Orang yang senang dalam melakukan amal kebajikan, biasanya, adalah orang yang selalu bergetar hatinya apabila ada orang lain yang menyebut-nyebut nama kekasihNya. Orang yang senang kepada Allah dan RasulNya, adalah orang yang tidak pernah mempersoalkan apakah amal kebajikan yang telah dia kerjakan saat itu bakal mendapat pahala atau tidak dari Allah ‘Azza wa Jalla.
Sebab, orang yang senang mengerjakan amal kebajikan karena dilandasi oleh rasa senangnya kepada Allah dan RasulNya, tak mau amal kebajikannya menjadi rusak hanya karena ia ingin mendapat balasan dari perbuatan yang telah ia kerjakan. Baginya, yang penting, bagaimana agar amal kebajikan yang akan atau telah dia kerjakan itu, dapat mendatangkan rasa senangnya Allah dan RasulNya.
Jika Anda bisa melakukan perbuatan yang demikian itu, maka bersyukurlah kepada Allah. Sebab, Allah telah berfirman di dalam surat An-Nahl ayat 97:
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
Maha Suci Allah dengan segala firmanNya. Sesungguhnya, Allah ‘Azza wa Jalla tak pernah ingkar janji. Mudah-mudahan, kita diberi kekuatan untuk bisa ta’at pada setiap kehendakNya. Amin. ۞
34
Mengutamakan
Kehidupan Akhirat
Allah berfirman: “…Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Qs. 3: 185)
K
ehidupan dunia ini tak ubahnya seperti sebuah panggung sandiwara. Banyak peran atau lakon yang dapat dijumpai di dalamnya. Tapi, intinya tetap sama. Yaitu semuanya penuh dengan kebohongan, kepalsuan dan kepura-puraan. Memang begitulah wataknya sebuah sandiwara.
Karena itulah, Allah Ta’aala dan RasulNya tak pernah lelah mengingatkan manusia agar jangan mudah terpedaya oleh tipu muslihat yang diperlihatkan dunia. Pasalnya, apapun yang telah ditawarkan oleh dunia kepada manusia, sifatnya tidak kekal.
Lantaran kehidupan dunia tidak kekal itulah, maka Allah dan RasulNya tak pernah bosan-bosannya menyarankan manusia agar mengutamakan kehidupaan akhirat yang sifatnya lebih abadi. Bahkan, dalam surat Ali-Imran ayat 185, Allah dengan tegas mengingatkan manusia agar jangan main-main dengan urusan akhirat.
“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
Senada dengan firman Allah di atas, Rasulullah SAW dalam sebuah kesempatan pernah mengingatkan para sahabatnya. “Barangsiapa yang hidupnya hanya untuk mengejar dunia,” kata Rasulullah SAW, “maka dia akan merugi di hari akhirat nanti. Sebaliknya, barangsiapa yang lebih mengutamakan kehidupan akhiratnya, maka ketahuilah, dunia akan datang menghampirinya.”
Memang tidak mudah untuk bisa mengubah dan mengalihkan fokus perhatian mata, hati dan pikiran kita yang acapkali silau dengan dunia ini menjadi beralih ke kehidupan akhirat yang kekal lagi abadi itu. Apalagi bagi orang yang masih terjebak dalam selimut hawa nafsunya sendiri atau tengah berada di dalam ruang kamar virus al-wahnu (cinta dunia).
Pasalnya kenapa? Karena, yang namanya virus al-wahnu itu, kalau sudah berhasil ‘menguasai’ mata, hati dan pikiran seorang hamba, maka yang ada dalam kamus kehidupannya sehari-hari adalah, bagaimana caranya agar dunia dan seluruh isi yang ada di dalamnya ini, bisa dia ‘kuasai’ dan bisa menjadi miliknya sendiri.
Begitulah sifat virus al-wahnu. Kiprah virus al-wahnu makin sulit untuk dikendalikan, manakala ia telah berkolaborasi dengan hawa nafsu yang selalu mengajak manusia untuk berbuat ‘makar’ pada Allah. Karena itulah, Allah Rabbul ‘Alamin mengingatkan manusia, bahwa memperturutkan gerak nafsu dan membiarkan diri ‘dikuasai’ oleh virus al-wahnu itu adalah perbuatan yang sia-sia.
Sebab, kesenangan yang ditawarkan oleh nafsu dan virus al-wahnu itu, sifatnya tidak kekal alias hanya sementara. Perhatikan saja firmanNya dalam surat Ali-Imran ayat 197 berikut ini:
Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya. (Qs. 3: 197)
Karena kesenangan yang ada di dunia ini sifatnya hanya sementara, maka barangsiapa yang menyengaja untuk menggandrungi kesenangan yang sementara itu daripada kehidupan yang abadi, mereka itu adalah termasuk orang-orang yang merugi. Bahkan dalam surat Al-Baqarah ayat 16 dan 86, Allah menyebut perbuatan yang demikian itu sebagai perbuatan sesat lantaran telah menukar nikmatnya kehidupan akhirat dengan dunia.
Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk. (Qs. 2: 16)
Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong. (Qs. 2: 86)
Bagaimana caranya agar kita bisa terbebas dari perangkap hawa nafsu dan virus al-wahnu yang selalu menyuntikkan serum kebohongan, kepura-puraan dan kepalsuan pada mata, hati dan pikiran kita? Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada satu hal yang perlu Anda ketahui. Bahwa, pada dasarnya, tak ada satu pun makhluk di muka bumi ini yang dapat bebas dari perangkap hawa nafsu dan virus al-wahnu.
Kalau pun ada makhluk yang dapat bebas dari pengaruh hawa nafsu dan perangkap virus al-wahnu, maka hal itu tak lain karena mutlak adanya faktor kemurahan dan pertolongan dari Allah SWT. Tanpa adanya pertolongan dan kemurahan dari Allah, sesungguhnya, tak ada daya dan upaya pada diri manusia untuk bisa melakukan apapun di dunia ini, kecuali berasal dari Allah. Laahaula walaa quwwata illaa billahil ‘aliyyil ‘azhiim. Karena itu, dalam surat Al-Insaan ayat 30, Allah berfirman:
Dan kamu tidak bakalan mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Terkait dengan pertanyaan di atas, ada beberapa jalan syari’at yang dapat kita tempuh, sebagai langkah ikhtiar kita untuk berjuang ‘menundukkan’ virus cinta pada dunia menjadi cinta pada akhirat. Jalan yang dimaksud yakni dengan memperbanyak mengingat maut atau kematian. Sebab, hanya dengan cara seperti itu, segala kenikmatan dan kelezatan dunia akan hancur, seperti yang dikatakan oleh Rasulullah SAW:
Dari Abu Hurairah r.a., berkata Rasulullah SAW: “Banyak-banyaklah kamu mengingati kejadian yang akan menghancurkan segala kelezatan. Yaitu, maut.” (HR. Attirmidzy).
Allah sendiri telah mengingatkan manusia lewat surat Ali-Imran ayat 185:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
Bahkan, dalam surat yang lain, yaitu surat Al-Munaafiquun ayat 9, Allah juga telah berfirman:
Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.
Saking besarnya perhatian Allah kepada manusia agar bisa selamat dari pengaruh virus al-wahnu, sampai-sampai Allah menyetarakan perbuatan seorang hamba yang hari-harinya diisi dengan kesibukan untuk mengurusi harta dan anak --- hingga membuatnya jadi lalai dari mengingat Allah itu --- sebagai golongan orang-orang yang merugi.
Selain mengingat maut atau kematian, ada juga cara yang lebih singkat untuk menghindar dari perangkap virus al-wahnu. Yaitu lewat cara berpuasa serta mempersedikit makan dan minum dengan niat untuk menundukkan hawa nafsu. Berpuasa di sini bukanlah sekedar menahan lapar dan dahaga. Akan tetapi, yang lebih utama adalah, menahan hawa nafsu. Tidak makan dan tidak minum, adalah salah satu jalan terpendek yang bisa ditempuh oleh manusia untuk menundukkan hawa nafsunya. Bukan malah menambah tingginya kadar hawa nafsu seseorang.
Menahan nafsu amarah dan syahwat, termasuk menjadi bagian yang seyogyanya ikut dipuasakan. Akan lebih bagus lagi jika hal itu tidak sekedar dilaksanakan ketika di bulan Ramadhan saja. Melainkan, dalam kehidupan sehari-hari.
Dikisahkan dalam suatu riwayat, pada satu ketika, Nabi Yahya as bertemu dengan iblis. Kemudian ia melihat ada sesuatu yang digantung di sekitarnya. Nabi Yahya as bertanya: “Apakah ini?” Iblis menjawab: “Itu adalah nafsu syahwat, yang dengannya aku akan menghalangi anak cucu Adam dari mengingat Allah.”
Kemudian Nabi Yahya as bertanya lagi: “Apakah engkau ada menemukan dari semua nafsu itu ada padaku?” Iblis menjawab: “Tak ada. Kecuali jika engkau mengenyangkan perutmu pada malam hari. Maka kami akan memberatkanmu untuk melakukan shalat.” Nabi Yahya pun berkata: “Sungguh, aku tak akan mengenyangkan perutku selama-lamanya.”
Dalam sebuah hadits disebutkan, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian mematikan hati dengan memperbanyak makan dan minum. Karena, hati itu bisa mati sebagaimana tanaman yang mati jika kebanyakan air.” Sebagian ulama menafsirkan hadits tersebut dengan menerangkan bahwa perut itu ibarat wadah yang berada di bawah hati.
Setiap perut diisi dengan makanan dan minuman, maka wadah itu akan bergejolak dan mengeluarkan gasnya berupa asap. Asap ini akan sampai pada hati yang berada di atasnya. Apabila asap itu banyak, karena banyaknya makanan dan minuman yang masuk, maka semakin menghitamlah hati tersebut.
Hati yang menghitam karena diselimuti asap dari perut tadi, akan mempengaruhi ilmu dan kepahaman serta kecerdasan seseorang. Alhasil, orang yang banyak makan dan minum, akan mempersedikit kandungan ilmu yang dapat diserapnya, mempersulit lahirnya kepahaman dan mengurangi kecerdasan.
Dalam hadits yang lain, Rasulullah SAW pernah bersabda: “Sinarilah hatimu dengan lapar. Perangilah hawa nafsumu dengan lapar dan haus. Ketuklah pintu surga dengan lapar. Karena pahala dalam perbuatan itu seperti pahala orang yang berjihad di jalan Allah. Tak ada perbuatan yang lebih dicintai Allah daripada lapar dan haus. Penguasa langit tak akan melindungi orang yang memenuhi perutnya. Barangsiapa yang membuat penuh perutnya, berarti ia telah menghilangkan manisnya ibadah.”
Dari hadits tersebut menunjukkan bahwa, berpuasa, menahan hawa nafsu, mempersedikit makan dan minum itu merupakan jalan untuk kita bisa menerangi hati. Sehingga, hati kita dapat “melihat” Allah dengan sangat jelas dan dekat. Hati yang seperti itu, akan selalu berada dalam penjagaan Allah.
Sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah berkata: “Aku tidak pernah kenyang semenjak aku masuk Islam. Agar aku dapat merasakan manisnya ibadah kepada Tuhanku. Aku tidak pernah minum sampai kembung sejak aku masuk Islam. Karena aku berharap dapat bertemu Tuhanku. Orang yang banyak makan, akan mempersedikit ibadahnya. Sebab, jika banyak makan, maka akan memberatkan badan, mengalahkan mata dan melemahkan badan. Hingga kemudian tak bisa melakukan sesuatupun, meski ia telah berjuang keras, selain hanya tidur. Orang seperti itu, bagaikan mayat berjalan.”
Pengertian mempersedikit makan dan minum tersebut bukanlah tidak makan dan minum sama sekali. Karena, jika tidak makan dan minum, itu artinya berpuasa. Puasa disunnahkan, tetapi tentu saja disertai dengan berbuka. Nabi SAW banyak melakukan puasa, tetapi juga makan dan minum. Diriwayatkan dari Anas ra, bahwa Rasulullah SAW terkadang tidak puasa dalam satu bulan, karena selalu tampak ketika beliau sedang makan. Sehingga, para sahabat mengira, beliau tidak pernah puasa dalam satu bulan itu. Akan tetapi, terkadang beliau berpuasa terus, hingga beliau dikira tidak pernah tak puasa (HR. Bukhari).
Jalan syari’at lainnya adalah ta’at kepada Allah dan RasulNya. Orang yang ta’at, berarti ia sudah mencapai taraf lebih tinggi daripada sekedar iman. Sebab, keta’atan merupakan suatu wujud nyata dari keimanan.
Orang yang berkeinginan untuk memerangi hawa nafsunya, maka sesungguhnya hal itu terjadi mutlak karena pengaruh dari imannya yang kuat. “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya akan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya” (QS. An-Naazi’aat: 40). Orang yang ta’at kepada Allah dan RasulNya, akan melakukan apa saja yang diperintahkan untuknya. Pasalnya, yang dikejar dari keta’atan kepada Allah itu tidak lain adalah untuk dapat dekat dengan Tuhannya.
Sedang, orang yang masih memperturutkan hawa nafsunya, maka ia akan mengalami kesulitan untuk dapat dekat dengan Tuhannya. Sebab, hawa nafsu itu sendiri telah membentuk banyak hijab di sekeliling hati manusia, sehingga membuat ia jadi tak dapat mendekat kepada Tuhan. “Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah karena mengikuti hawa nafsu mereka” (QS. Muhammad: 16).
Hawa nafsu yang diperturutkan akan membuat manusia menjadi hamba dari hawa nafsunya sendiri. Terkait dengan hal ini, Allah SWT telah berfirman: “Pernahkah engkau melihat orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan?” (QS. Al-Furqaan: 43).
Orang-orang yang memperturutkan hawa nafsunya akan berakhir dengan kepedihan dan penderitaan. Sejarah telah membuktikan, bagaimana kisah orang-orang yang memperturutkan hawa nafsunya. Seperti kisah Qarun, Fir’aun, Zulaikha yang telah diperbudak oleh nafsunya kepada Nabi Yusuf as. Begitu pula kisah-kisah lainnya seperti kisah kaum Nabi Luth, kaum Nabi Nuh, dan kisah-kisah lainnya.
Adapun cara lain yang bisa ditempuh untuk mengendalikan hawa nafsu adalah, belajar untuk tidak banyak bicara. Apalagi berbicara tentang sesuatu yang tidak banyak membawa manfaat. Dalam salah satu hadits, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah banyak bicara, karena banyak bicara itu akan membuat hati menjadi keras dan beku.” Dalam hadits yang lainnya, beliau melarang orang banyak bicara selain hanya berzikir kepada Allah.
Lidah manusia merupakan wakil dari seluruh anggota tubuh. Apabila lidah mengeluarkan kata-kata yang buruk, maka boleh jadi ia akan membawa dampak yang buruk pada anggota badannya. Misalnya, orang kehilangan tangannya karena salah bicara, kehilangan penglihatan dan pendengaran, lantaran pembicaraannya telah menyakitkan hati orang yang mendengarnya. Atau orang bisa kehilangan nyawanya karena efek dari perkataan yang bernada hinaan kepada orang lain.
Rasulullah sendiri telah menjelaskan, bahwa pada kata-kata itu, terkadang ada perkataan yang dapat mempengaruhi seluruh hidup orang tersebut. Apabila perkataan itu diucapkan dan Allah ridha pada perkataan itu, maka orang tersebut akan memperoleh keridhaan Allah. Sebaliknya, jika perkataan itu diucapkan dan Allah murka, maka orang itu pun akan memperoleh murka Allah. Oleh karena itu, persedikitlah kata-kata. Atau, jangan terlalu banyak bicara. Sebab, manusia cenderung tak dapat mengontrol kata-katanya, sehingga akan membuka peluang untuk keluarnya perkataan yang dimurkai Allah.
Selain itu, untuk bisa mengendalikan hawa nafsu agar tidak liar adalah dengan cara mempersedikit tidur. Dalam hal ini, mempersedikit tidur yang dimaksud di sini adalah mengurangi waktu untuk tidur --- terutama di malam hari --- dan dimanfaatkan untuk beribadah dan berzikir pada Allah.
Rasulullah SAW menganjurkan agar sepertiga dari waktu malam itu dipergunakan untuk mendirikan shalat. Demikian pula nasihat Luqman Al-Hakim kepada anaknya: “Janganlah kamu memperbanyak tidur dan makan. Karena pada hari kiamat nanti, orang yang seperti itu akan datang dalam keadaan miskin dari amal perbuatan yang baik.”
Mudah-mudahan lewat kiat di atas, Allah akan memenangkan niat kita untuk bisa menundukkan hawa nafsu dan memerangi virus al-wahnu. Amin. ۞
35
Bentengi Diri
Dengan Zikrullaah
Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah kepada Allah (zikrullaah) dengan sebanyak-banyak ingat (zikir).”
(Qs. Al-Ahzab: 41)
I
stilah zikir di dalam Al-Qur’an ada yang diartikan sebagai ilmu. Sebagaimana yang terdapat di dalam Al-Qur’an Surah An-Nahl ayat 43, yang berbunyi:
“Maka bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu (ahluz-zikri), jika kamu tidak mengetahui.”
Dalam ayat yang lainnya, zikir juga diartikan sebagai ingat. Seperti halnya pada Al-Qur’an Surah Al-Ahzab ayat 41:
“Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah kepada Allah (zikrullaah) dengan sebanyak-banyak ingat (zikir).”
Adapula kata bentukan lainnya, yaitu tazakkara, yang berarti mengambil pelajaran. Misalnya dalam Al-Qur’an Surah Az-zumar ayat 9:
“Katakanlah, apakah sama antara orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang yang tidak mengetahui (tak berilmu)? Sesungguhnya, hanya orang yang berilmu dan berakal (uulul albab) yang dapat mengambil pelajaran (yatazakkara).”
Dengan demikian, istilah zikrullaah, yang secara bahasa diartikan sebagai mengingat Allah itu, mengandung pengertian, bahwa dalam proses mengingat Allah tersebut dilakukan dengan cara menggunakan ilmu dan akal. Hal ini berarti, ketika seseorang melakukan zikrullaah, maka yang dianjurkan untuk memiliki peranan penting dalam zikirnya itu adalah, unsur ilmu dan akalnya.
Adapun pelaksanaan zikir yang sekedar diucapkan dengan lisan semata, tidak memaksimalkan kedua unsur tersebut. Penggunaan zikir melalui lisan dapat dilakukan hanya dengan berbekal konsentrasi. Sedang konsentrasi merupakan sebagian kecil dari aktivitas akal dan hampir tidak membutuhkan kekuatan ilmu.
Pada zikir yang bagaimanakah seorang hamba dapat memaksimalkan unsur ilmu dan akalnya? Yang pertama adalah, zikir melalui alam. Yaitu, mengingat Allah dengan cara membaca alam. Di dalam Al-Qur’an Allah kerapkali memerintahkan manusia untuk melakukan zikir melalui alam. Misalnya, melihat penciptaan langit dan bumi, penciptaan bulan, bintang, matahari, penciptaan gunung-gunung, hewan, tumbuhan dan segala macam makhluk yang disediakan Allah di dalam bumi dan alam semesta ini.
Untuk dapat melihat semua penciptaan itu secara maksimal sehingga dapat mengambil pelajaran darinya, adalah dengan menggunakan ilmu dan akal. Proses mengingat Allah melalui cara seperti itu -- yakni menela’ah, memahami dan mengambil pelajaran dari apa yang telah diciptakan Allah di dalam alam jagad raya ini – dengan izin Allah, akan melahirkan pemahaman yang tinggi tentang keagungan dan kebesaran Allah. Selain itu, juga dapat menanamkan keyakinan yang langsung kuat menghujam dan kemudian merobek semua sekat-sekat yang menutup hati manusia.
Adapun yang kedua adalah, zikir melalui kejadian-kejadian yang pernah terjadi di bumi ini. Baik itu kejadian-kejadian sejarah yang dikisahkan dalam Al-Qur’an, maupun kejadian-kejadian yang muncul di sekitar manusia hingga saat ini. Misalnya, tentang bencana alam, kehancuran suatu kaum, maupun kejadian-kejadian lainnya seperti peperangan, perpecahan, penindasan, kerusakan alam, musibah kelaparan, kesusahan dan lain sebagainya. Proses zikrullaah melalui cara tersebut, juga dibutuhkan untuk memaksimalkan ilmu dan akal.
Dalam penggunaan ilmu dan akal tersebut, sudah barang tentu, harus dilakukan secara seimbang dan adil. Hal itu dapat dilakukan jika manusia memiliki keimanan. Sehingga, hasil zikir tersebut --- baik yang dilakukan melalui alam maupun sejumlah kejadian --- benar-benar membuat manusia dapat mengambil pelajaran dan mengingat Allah dalam setiap gerak kehidupannya.
Di samping kedua zikir tersebut, ada satu zikir lagi yang memiliki kekuatan lebih dahsyat. Dikatakan demikian, karena zikir yang satu ini, dapat membuat gerak tubuh dan gerak akal berjalan seirama sesuai dengan hasil yang diperoleh dari zikir tersebut.
Zikir yang ketiga ini adalah zikir hati atau zikir qalbu. Namun pengertian zikir hati di sini, tidak sama dengan zikir sirr seperti yang dilakukan di kalangan penganut thariqat. Yakni dengan mengucapkan kata hu terus-menerus hingga merasakan fana dan menyatu dengan Tuhan. Juga bukan berarti zikir senyap atau zikir diam. Yakni zikir yang diucapkan di dalam hati, sebagaimana pembagian zikir yang ada dalam ilmu-ilmu tasawwuf.
Zikir hati itu merupakan suatu proses mengingat Allah yang bertumpu pada upaya pembenahan diri. Caranya adalah, dengan memanage hati agar selalu sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah.
Misalnya, merasakan adanya kehadiran penyakit-penyakit dalam hati (seperti ‘ujub, takabbur, riya’, su’udzan, dendam, dan hasad), mengintrospeksi diri, mengendalikan amarah, memperhatikan syahwat agar tidak menyimpang, menjadikan setiap makhluk dan kejadian yang dilihatnya di muka bumi ini sebagai alat untuk merendahkan diri di hadapan Allah dan lain sebagainya. Apabila hati selalu berzikir seperti itu pada setiap detakan jantung manusia, maka insya’ Allah, gerak akal dan gerak tubuh pun akan selalu ikut berzikir. Apabila kedua macam zikir sebelumnya disertai dengan zikir hati, maka insya’ Allah akan sempurnalah proses zikrullaah tersebut.
Mengenai berzikir dalam hati ini, Allah berfirman:
“Berzikirlah kepada Tuhanmu di dalam hatimu karena mengharap dan takut. Bukan zikir yang dikeraskan dalam kata-kata, baik pada waktu pagi dan sore hari. Dan janganlah kamu termasuk golongan orang yang lalai” (QS. Al-A’raf: 205).
Dalam ayat tersebut, tampak jelas bahwa zikir hati itu kuncinya ada pada aspek pengharapan terhadap ampunan Allah dan takut untuk melanggar perintah-perintah Allah. Kemudian, dalam ayat tersebut, Allah juga memperingatkan agar manusia tidak lalai dalam zikirnya. Artinya, zikir itu dilakukan pada setiap tarikan dan hembusan nafas. Jangan sampai lalai. Karena jika lalai, maka setan akan menggunakan peluang itu untuk mencuatkan hawa nafsu manusia ke atas permukaan. Sehingga, jadi rusaklah zikir yang sudah dilakukan.
Zikir yang tidak lalai, oleh Allah dijanjikan ampunan dan pahala yang besar, sebagaimana firmanNya dalam surat Al-Ahzab ayat 35:
“Mereka yang berzikir kepada Allah sebanyak-banyaknya, baik laki-laki maupun perempuan, maka Allah akan menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. Al-Ahzab: 35).
Adapun mengenai lafadz zikir, secara umum, di dalam hadits Rasulullah SAW disebutkan ada beberapa macam. Seperti kalimat tasbih, tahmid, takbir, kalimat tauhid, istighfar dan lain sebagainya. Pada zaman sekarang, kegiatan zikir sering menjadi suatu perhelatan besar dan selalu menggemakan lafadz-lafadz tersebut. Tak jarang juga disertai dengan lafadz asm’ul husna, sebagai tanda untuk mengagungkan Allah.
Akan tetapi, lafadz zikir pada aktivitas zikir hati, bukan sebatas pada kata-kata. Melainkan jauh menelusupi hati dan mencari sekat-sekat yang telah membuat dirinya menjadi terhijab dengan Allah. Kemudian berusaha menghilangkan atau menyingkirkan hijab-hijab tersebut, agar hatinya benar-benar hanya tertuju kepada Allah.
Kekuatan zikir hati itu, nantinya dapat mempengaruhi setiap gerak akal manusia. Sehingga, akal tidak suka menerawang jauh dalam angan-angan dan harapan lain, selain dari ampunan Allah. Zikir hati itu juga akan mempengaruhi gerak dan aktivitas tubuh. Sehingga, segala gerak dan tindakannya dalam menjalani hidup ini, selalu mengarah pada upaya untuk menghilangkan faktor penyebab munculnya hijab di dalam hatinya.
Apakah yang dapat membuat hati jadi terhijab? Yaitu, efek dari kesibukan manusia pada kehidupan dunia yang penuh tipu-daya dan melelahkan itu, tetapi hasilnya hanya sia-sia. Dikatakan sia-sia, karena manusia menyediakan banyak waktunya untuk menumpuk uang guna memanjakan perut; padahal hasil akhirnya akan menjadi kotoran. Demikian pula jika menumpuk kekayaan untuk bermegah-megah; padahal hasilnya hanya akan menjadi rongsokan.
Oleh karena itu, melalui zikir hati inilah, seorang hamba akan benar-benar dapat merasakan kesejatian cintanya kepada Allah. Zikir hati inilah yang selalu dianjurkan oleh Allah dan RasulNya. Yakni zikir dalam setiap gerak langkah manusia. Dalam Al-Qur’an Surah Ali ‘Imran ayat 189-190 Allah berfirman:
“Sesungguhnya, di dalam kejadian langit dan bumi, serta silih bergantinya malam dengan siang merupakan tanda kekuasaan dan kebesaran Allah bagi orang yang berilmu dan berakal. Yaitu, orang yang selalu berzikir pada Allah, baik ketika berdiri, duduk maupun berbaring.”
Rasulullah SAW sendiri selalu berzikir pada setiap detik kehidupannya. Sebagaimana kesaksian yang diucapkan oleh Sayyidah ‘Aisyah ra sebagai berikut: “Rasulullah SAW itu selalu berzikir pada setiap detik kehidupannya.” (HR. Muslim). Gambaran dari zikir yang dilakukan oleh Nabi SAW tersebut, memberikan teladan bahwa, ketika seseorang berbicara, maka yang keluar adalah kata-kata yang dapat membuat dirinya ingat kepada Allah ataupun kata-kata yang didasarkan pada zikrullah.
Demikian pula, jika ia diam, maka diamnya itu adalah juga untuk zikrullaah. Bukan untuk memaki, menghina ataupun menyimpan dendam dan menghakimi orang lain. Jika ia berjalan, maka jalannya itu selalu disertai zikrullaah. Sehingga ia tak pernah melangkahkan kakinya ke tempat-tempat maksiat. Jika ia duduk, maka duduknya itu adalah untuk zikrullaah. Ia tak pernah duduk untuk membicarakan keburukan orang lain ataupun duduk di tempat-tempat maksiat. Jika ia berbaring, maka berbaringnya itu pun untuk zikrullaah. Sehingga ia tak pernah diganggu oleh angan-angan setan yang masuk lewat mimpinya.
Jika ia tertimpa musibah, maka musibah itupun ia jadikan untuk zikrullaah. Karenanya, ia tak pernah mengeluh dan meratap. Jika ia mendapat nikmat Allah, maka nikmat itu digunakan untuk zikrullaah. Karenanya, ia pun tak pernah sombong dan memamerkan diri. Jika ia senang, maka kesenangannya itu digunakan untuk zikrullaah. Ia tak pernah berbangga diri dan berlebih-lebihan.
Begitu pula jika ia sedih, maka sedihnya itu pun untuk zikrullaah. Sehingga ia tak pernah bersusah hati dan putus asa. Setiap nafasnya adalah zikrullaah. Itulah gambaran orang yang berzikir dengan hatinya. Jika dalam melakukan zikir hati itu tidak lalai, maka tak ada sedetik pun dari waktu hidup seseorang itu yang dipergunakan untuk hal lainnya, selain di situ mengandung unsur zikrullaah.
Zikrullaah yang seperti itu, akan mampu menjadi penangkal bagi masuknya setan ke dalam celah-celah kehidupan manusia tersebut. Asalkan, jangan sampai lalai. Sebab, setan itu tak pernah putus asa dalam mencari peluang untuk menyesatkan manusia. Sehingga, ketika manusia telah lalai dalam hitungan detik saja karena terpengaruh tipuan setan, maka kelalaian itu bisa berakibat runtuhnya pondasi iman. Dan kelak kerugian yang besar bakal menimpa manusia. Akan tetapi, ketika manusia menjadi lalai, pun Allah masih mau mema’afkan dan mengampuni hambaNya yang mau menyesali kelalaiannya dan mentobatinya.
Untuk dapat melakukan zikrullaah yang terus menerus seperti itu, tidak dibutuhkan sesuatupun selain harus didahului dengan kemantapan hati. Akan tetapi, kemantapan hati itu pun, tidak bisa diperoleh dengan serta-merta. Misalnya dengan berikrar bahwa, “saya akan melakukan zikir hati itu dengan mantap dan tekad kuat.” Tidak bisa seperti itu. Kalau dipaksakan seperti itu pun, tetap saja hasilnya kosong. Sebab, ini bukan sekedar ikrar sebagaimana sumpah pemuda atau sumpah pocong. Melainkan, sebuah kesepakatan antara hati dengan hawa nafsu. Kesepakatan yang memunculkan konsekuensi yang berat bagi orang-orang yang masih suka ‘diperbudak’ oleh hawa nafsunya.
Kemantapan hati itu akan diperoleh melalui sebuah proses. Yaitu, mulailah dengan belajar menata hati dari hal-hal yang kecil. Jika hal itu sudah berhasil dilakukan, maka mulailah menata hati terhadap sesuatu yang lebih besar lagi. Begitu seterusnya. Hingga, diperoleh suatu pemahaman tentang sifat hati yang mudah terbolak-balik. Dengan demikian, diharapkan manusia akan mengetahui letak celah hatinya sendiri.
Celah-celah itulah yang nantinya akan menjadi pintu-pintu masuknya penyakit hati. Jika manusia sudah memahami dengan baik bagaimana celah-celah hatinya, maka ia akan dapat menemukan kunci yang tepat untuk menutup celah-celah itu. Dari situlah nantinya, insya’ Allah, Allah ‘Azza wa Jalla akan memberikan kemantapan hati yang dimaksudkan. Apabila kemantapan hati ini sudah diperoleh, maka akan lebih mudahlah perjalanannya untuk melakukan zikir hati tersebut. Sebab, bekal pertama sudah terkantongi.
Dengan bekal pertama tersebut, maka akan lebih memperlancar bagi upaya manusia untuk mengumpulkan bekal yang kedua. Yaitu keyakinan yang utuh. Artinya, keyakinan terhadap keputusan terbaik Allah, baik itu tentang sesuatu yang tampaknya buruk maupun yang tampaknya bagus. Apabila manusia merasa yakin bahwa Allah selalu memberikan yang terbaik, maka tak ada alasan baginya untuk tak mau mensyukuri keputusan Allah tersebut. Manakala keputusan Allah itu tampak baik dan menyenangkannya, maka ia sepatutnyalah memandang baik pula terhadap keputusan itu.
Sebaliknya, jika keputusan terbaik Allah itu tampak buruk atau tidak menyenangkan, maka ia pun akan tetap memandang keputusan itu baik dan tak lupa untuk mensyukurinya. Jangan sampai keyakinan itu terbelah dua. Yakni, hanya memandang keputusan Allah itu baik manakala menyenangkan dan tampak menguntungkan dirinya. Sedang, ketika tampak menyusahkan dirinya, ia pun jadi lalai dan tak mau mensyukurinya.
Dengan berbekal kemantapan hati dan keyakinan yang utuh tersebut, maka insya’ Allah, zikrullah melalui hati itu akan dapat dilaksanakan dengan baik. Wazkurullaaha katsiiran la’allakum tuflihuun. “Berzikirlah kepada Allah sebanyak mungkin, agar kamu sekalian berbahagia” (QS. Al-Anfal: 45). Mudah-mudahan kita kelak termasuk dalam golongan hamba yang beruntung. Amien. ۞
Tentang
P e n u l i s
ABU AZKA FATHIN MAZAYASYAH, adalah seorang wartawan yang lahir, besar dan tinggal di perantauan. Beberapa buku yang pernah dia tulis antara lain: Musibah 27 Mei, Kabar Duka dari Yogya, Cerita di Tengah Bencana; Pesan Untuk Anakku, Wasiat Tentang Menanamkan Keimanan dan Menjaga Hati; Surat Untuk Tuhan (Catatan Harian Seorang Wartawan Terpidana Mati Mencari Kesejatian Cinta); Keluar Dari Kubangan Dosa; Petualangan Politik; ”Jangan Percaya Politikus!” (Kumpulan Essai); Menembus Pintu Langit, Menadah Kemurahan dan Ampunan Allah; Siasat Setan: Tipudaya Setan Menyesatkan Manusia; Jalan Lurus: Jurus Jitu Menangkal Godaan Setan; Keluar Dari Kejahiliahan Nafsu; Ikhtiar Manusia Menguak Rahasia Makhluk Gaib; Dakwah Lewat SMS Yuk …; Jangan Sungkan Katakan Cinta, Perjalanan Cantrik Belajar Ilmu Hikmah: Babakan Merasakan Adanya Penyakit Hati, Jilid 1; Perjalanan Cantrik Belajar Ilmu Hikmah: Hidup Dalam Percikan Air Hikmah, Jilid 2; Nashîhat ar-Rûh ilâ Jawârih al-Badan (Nasihat Ruh Pada Anggota Tubuh); Kisah ‘Kiai Raja Neraka’ Melawan Setan; Lupakan Soal Setan; Petualangan Paimin Menyingkap Kitab Rahasia Hati; Pintu Gerbang Bertemu Tuhan; Akulah Nafsu, Mau Berteman atau Jadi Musuh?
Perjalanan karirnya dalam dunia jurnalistik diawali sejak tahun 1995 hingga sekarang. Ia telah bekerja di sejumlah media cetak lokal maupun nasional. Mulai dari menjadi Korektor, Wartawan, Redaktur Hukum dan Kriminalitas, Redaktur Pelaksana, Kepala Biro/Perwakilan hingga menjadi Wakil Pemimpin Redaksi (Wapemred). Selain, pernah juga menjadi Stringer beberapa kantor berita media asing.
Kamis, 01 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar