Mewaspadai Gerak Hawa Nafsu
MENJELANG pesta demokrasi tahun 2009, suhu politik di negeri ini, meningkat tajam. Apalagi setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengeluarkan daftar nama-nama partai politik (parpol) yang lolos dan tidak lolos dalam verifikasi. Sontak, hawa politik di Indonesia pun makin memanas.
Gesekan hawa panas yang muncul dari arena perpolitikan di tingkat pusat itu, perlahan tapi pasti, mengalir cukup deras hingga ke tingkat daerah. Arus deras yang panas dari hawa arena politik itu, ibarat sebuah gunung berapi yang bernama hawa nafsu. Sedang gesekan hawa panas itu sendiri, tak ubahnya seperti magma yang keluar dalam jumlah jutaan kubik material dari kepundan gunung berapi.
Celakanya lagi, ketika jutaan kubik material yang keluar dalam bentuk virus penyakit hati itu, justru disambut dengan suka cita oleh orang-orang yang berada di daerah. Mirip seperti orang yang tengah ’menonton’ gunung berapi yang sedang memuntahkan magmanya. Sudah tahu kalau nyawanya bakal terancam akibat terkena lelehan magma yang panas, tapi mereka malah lari mendekat ke arah jalannya arus magma.
Padahal mereka sudah tahu, bahwa magma virus penyakit hati yang panasnya sangat menggelegak itu, benar-benar tak pernah kenal belas kasih. Sebab, ia bisa terjun bebas menerjang dan menggelontor tiap ruang kehidupan yang ada di kaki-kaki gunung hawa nafsu itu. Inilah uniknya manusia Indonesia. Sudah tahu kalau memelihara sumber penyakit itu berbahaya, tapi malah tetap saja dipelihara. Bahkan tak jarang, justru mereka merasa ‘bangga’ karena bisa memelihara sumber penyakit yang berbahaya itu.
Sungguh sangat menyedihkan. Hawa panas yang muncul akibat ulah penyakit hati yang bernama merasa tidak terima, merasa benar, merasa punya hak dan merasa istimewa itu, justru dibiarkan tumbuh-subur. Akibatnya, tak pelak lagi, kita pun akhirnya menyibukkan diri untuk saling tuding, saling adili dan saling salahkan. Inilah resikonya jika kita tidak pernah mau mewaspadai gerak hawa nafsu.
Aib-aib yang sedianya telah tersimpan rapi di dalam toples-toples sejarah masa lalu, kini diongkel-ongkel untuk dipamerkan di hadapan publik. Pintu-pintu kebajikan pun ditutup serapat mungkin. Sedang ruang-ruang kerusakan, dibuka seluas-luasnya, hanya karena kita tak pernah mau mengindahkan pesan-pesan dari atas langit. Sampai kapan masalah ini akan terus terjadi? Hanya Tuhan Yang Sebenarnyalah yang bisa menjawabnya. (Firman)
MENJELANG pesta demokrasi tahun 2009, suhu politik di negeri ini, meningkat tajam. Apalagi setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengeluarkan daftar nama-nama partai politik (parpol) yang lolos dan tidak lolos dalam verifikasi. Sontak, hawa politik di Indonesia pun makin memanas.
Gesekan hawa panas yang muncul dari arena perpolitikan di tingkat pusat itu, perlahan tapi pasti, mengalir cukup deras hingga ke tingkat daerah. Arus deras yang panas dari hawa arena politik itu, ibarat sebuah gunung berapi yang bernama hawa nafsu. Sedang gesekan hawa panas itu sendiri, tak ubahnya seperti magma yang keluar dalam jumlah jutaan kubik material dari kepundan gunung berapi.
Celakanya lagi, ketika jutaan kubik material yang keluar dalam bentuk virus penyakit hati itu, justru disambut dengan suka cita oleh orang-orang yang berada di daerah. Mirip seperti orang yang tengah ’menonton’ gunung berapi yang sedang memuntahkan magmanya. Sudah tahu kalau nyawanya bakal terancam akibat terkena lelehan magma yang panas, tapi mereka malah lari mendekat ke arah jalannya arus magma.
Padahal mereka sudah tahu, bahwa magma virus penyakit hati yang panasnya sangat menggelegak itu, benar-benar tak pernah kenal belas kasih. Sebab, ia bisa terjun bebas menerjang dan menggelontor tiap ruang kehidupan yang ada di kaki-kaki gunung hawa nafsu itu. Inilah uniknya manusia Indonesia. Sudah tahu kalau memelihara sumber penyakit itu berbahaya, tapi malah tetap saja dipelihara. Bahkan tak jarang, justru mereka merasa ‘bangga’ karena bisa memelihara sumber penyakit yang berbahaya itu.
Sungguh sangat menyedihkan. Hawa panas yang muncul akibat ulah penyakit hati yang bernama merasa tidak terima, merasa benar, merasa punya hak dan merasa istimewa itu, justru dibiarkan tumbuh-subur. Akibatnya, tak pelak lagi, kita pun akhirnya menyibukkan diri untuk saling tuding, saling adili dan saling salahkan. Inilah resikonya jika kita tidak pernah mau mewaspadai gerak hawa nafsu.
Aib-aib yang sedianya telah tersimpan rapi di dalam toples-toples sejarah masa lalu, kini diongkel-ongkel untuk dipamerkan di hadapan publik. Pintu-pintu kebajikan pun ditutup serapat mungkin. Sedang ruang-ruang kerusakan, dibuka seluas-luasnya, hanya karena kita tak pernah mau mengindahkan pesan-pesan dari atas langit. Sampai kapan masalah ini akan terus terjadi? Hanya Tuhan Yang Sebenarnyalah yang bisa menjawabnya. (Firman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar