Tak ubahnya seperti seorang dukun yang tengah mencari pengikutnya, para bakal calon anggota legislatif (caleg) berusaha mencari simpati dan dukungan dari masyarakat. Berbagai cara untuk bisa merebut simpati rakyat, telah dipersiapkan dan ditempuh oleh para caleg --- lewat tim suksesnya --- agar bisa memperoleh dukungan suara dari masyarakat.
Mulai dari cara-cara yang halus sampai yang superhalus. Mulai dari cara-cara yang santun sampai dengan cara-cara yang berbau intimidasi. Semua itu mereka lakukan semata-mata karena mereka ingin meraih suara sebanyak-banyaknya dari para pemilihnya.
”Sekarang, rakyat betul-betul sedang naik daun. Posisi mereka seperti raja. Suara mereka sangat berharga. Sampeyan tahu pasalnya kenapa? Karena, suara mereka sangat dibutuhkan oleh para caleg. Tanpa suara mereka, tak mungkin seorang caleg bisa duduk di rumah dewan,” ujar wan Abu ketika membuka sidang rohani di cakruk.
”Oleh karena itu,” lanjut wan Abu, ”sebelum pesta demokrasi dimulai, sebaiknya rakyat harus sudah punya sikap yang jelas. Terutama berkaitan dengan hak suara yang akan mereka berikan. Jangan sampai memberi suara kepada orang yang tak jelas asal-usulnya. Dumeh diiming-imingi akan diberi uang, njur langsung dipilih. Itu sama saja dengan telah membodohi rakyat. Masak untuk urusan selama lima tahun sekali, kalah hanya soal selembar uang.”
***
”APAPUN alasannya, jangan pilih caleg yang suka ngobral janji dan suka bagi-bagi uang. Lebih-lebih terhadap caleg yang haus akan kekuasaan, kedudukan dan derajat. Sebab, caleg seperti itu, kalau sudah jadi, biasanya bakal lupa dengan janjinya sendiri. Mereka tak ubahnya seperti duri dalam daging. Kalau ada yang seperti itu, lupakan saja,” wan Juned pun ndak mau kalah saingan, ikut menyampaikan pidato politiknya dengan nada yang menggebu-gebu di mimbar cakruk.
”Ya, saya setuju! Mari kita ’sikat’ para caleg yang suka ngobral janji dan suka menebar uang di masyarakat. Belum jadi saja perilakunya sudah seperti itu, bagaimana kalau nanti sudah jadi anggota dewan? Bisa-bisa, suara rakyat bakal ’dimanipulasi’ oleh mereka,” timpal wan Abu dengan nada sedikit kesal.
”Tidak setuju dengan cara berpolitik yang dilakukan oleh para caleg, boleh-boleh saja. Tapi, ingat, jangan sampai kebablasan. Sebab, setiap caleg yang maju itu, pasti ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Karena itu, jangan digeneralisir. Itu tidak adil namanya. Kalau memang tidak setuju, ya ndak usah didzahirkan, supaya tidak terjadi ’gesekan’. Toh sudah ada lembaga yang berwenang untuk mengurus babagan tersebut,” komentar wan Ali.
Tak lama setelah wan Ali berkomentar, sontak membuat orang-orang yang hadir di cakruk malam itu pun menjadi diam seribu bahasa. “Saya setuju dengan usul wan Ali. Serahkan saja pada pihak berwenang,” kata wan Amin. (Firman)
Mulai dari cara-cara yang halus sampai yang superhalus. Mulai dari cara-cara yang santun sampai dengan cara-cara yang berbau intimidasi. Semua itu mereka lakukan semata-mata karena mereka ingin meraih suara sebanyak-banyaknya dari para pemilihnya.
”Sekarang, rakyat betul-betul sedang naik daun. Posisi mereka seperti raja. Suara mereka sangat berharga. Sampeyan tahu pasalnya kenapa? Karena, suara mereka sangat dibutuhkan oleh para caleg. Tanpa suara mereka, tak mungkin seorang caleg bisa duduk di rumah dewan,” ujar wan Abu ketika membuka sidang rohani di cakruk.
”Oleh karena itu,” lanjut wan Abu, ”sebelum pesta demokrasi dimulai, sebaiknya rakyat harus sudah punya sikap yang jelas. Terutama berkaitan dengan hak suara yang akan mereka berikan. Jangan sampai memberi suara kepada orang yang tak jelas asal-usulnya. Dumeh diiming-imingi akan diberi uang, njur langsung dipilih. Itu sama saja dengan telah membodohi rakyat. Masak untuk urusan selama lima tahun sekali, kalah hanya soal selembar uang.”
***
”APAPUN alasannya, jangan pilih caleg yang suka ngobral janji dan suka bagi-bagi uang. Lebih-lebih terhadap caleg yang haus akan kekuasaan, kedudukan dan derajat. Sebab, caleg seperti itu, kalau sudah jadi, biasanya bakal lupa dengan janjinya sendiri. Mereka tak ubahnya seperti duri dalam daging. Kalau ada yang seperti itu, lupakan saja,” wan Juned pun ndak mau kalah saingan, ikut menyampaikan pidato politiknya dengan nada yang menggebu-gebu di mimbar cakruk.
”Ya, saya setuju! Mari kita ’sikat’ para caleg yang suka ngobral janji dan suka menebar uang di masyarakat. Belum jadi saja perilakunya sudah seperti itu, bagaimana kalau nanti sudah jadi anggota dewan? Bisa-bisa, suara rakyat bakal ’dimanipulasi’ oleh mereka,” timpal wan Abu dengan nada sedikit kesal.
”Tidak setuju dengan cara berpolitik yang dilakukan oleh para caleg, boleh-boleh saja. Tapi, ingat, jangan sampai kebablasan. Sebab, setiap caleg yang maju itu, pasti ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Karena itu, jangan digeneralisir. Itu tidak adil namanya. Kalau memang tidak setuju, ya ndak usah didzahirkan, supaya tidak terjadi ’gesekan’. Toh sudah ada lembaga yang berwenang untuk mengurus babagan tersebut,” komentar wan Ali.
Tak lama setelah wan Ali berkomentar, sontak membuat orang-orang yang hadir di cakruk malam itu pun menjadi diam seribu bahasa. “Saya setuju dengan usul wan Ali. Serahkan saja pada pihak berwenang,” kata wan Amin. (Firman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar