[ 9 ]
Pemilu = Pestanya Hawa Nafsu?
WAN Ali mengingatkan jama’ah pengajian rutin yang hadir setiap malam Jum’at di kampungnya. Mereka diminta untuk mewaspadai hawa negatif yang menyertai perkembangan situasi politik yang makin memanas. Terutama setelah KPU mengeluarkan secara resmi daftar nama-nama calon tetap anggota legislatif untuk tingkat I, II dan pusat.
”Saudaraku, situasi politik di negeri kita akhir-akhir ini, panasnya terasa semakin menyengat. Hawa negatif yang ikut serta dalam kendaraan masing-masing bakal calon anggota dewan, mulai menebarkan aroma yang kurang bersahabat. Karena itu, sampeyan sedaya harus kuat pegangannya pada tali Allah. Sebab, sekarang ini, banyak orang yang sudah lupa dengan tujuan hidup di dunia,” ujar wan Ali.
”Apa sebabnya sehingga manusia banyak yang sudah lupa dengan tujuan hidup di dunia ini? Karena kebanyakan di antara manusia itu, memberi ruang yang lebar untuk bangkitnya hawa nafsu di dalam diri mereka sendiri. Akibatnya, mereka jadi kehilangan kendali untuk bisa mengontrol gerak hawa nafsu mereka sendiri,” lanjut wan Ali.
”Satu-satunya cara yang bisa kita lakukan sekarang ini adalah,” imbuhnya, ”mari kita belajar menahan diri. Belajar melemahkan kehendak hawa nafsu. Sebab, yang namanya kehendak hawa nafsu itu, bisanya, selalu cenderung mengajak tuannya untuk menuju ke arah negatif daripada positif. Jika hal itu sampai terjadi, yang bakal rugi adalah diri kita sendiri.”
***
PADA kesempatan itu, wan Ali juga mengingatkan para jama’ahnya agar tidak mudah terprovokasi oleh bujuk rayu dan iming-iming dari para politik yang haus akan kekuasaan. Sebab, bujuk rayu dan iming-iming itu, aslinya adalah, bentuk lain dari hawa nafsu yang didzahirkan.
”Kalau memang sampeyan sedaya ingin memberi suara, maka pilihlah calon yang memang sampeyan kenal dan telah terbukti amanah. Jangan sembarang pilih atau memilih asal-asalan. Apalagi memilih karena pengaruh selembar uang. Itu namanya jual-beli suara,” kata wan Ali.
”Negeri ini tidak akan pernah bisa bersih, kalau kita masih memberi ruang untuk berkiprah bagi para politikus yang haus akan kekuasaan. Apapun alasannya, jual-beli suara itu, bukanlah jalan keluar yang tepat untuk bisa mengubah nasib negeri ini di masa datang. Kalau memang kita ingin merubah negeri ini, mari kita rubah sifat buruk yang masih mendekam di dalam diri kita masing-masing,” tukas wan Ali dengan nada yang agak bergetar.
”Yang tak kalah pentingnya lagi untuk kita perhatikan adalah,” tandasnya, ”apakah pesta demokrasi kali ini mau kita jadikan sebagai sarana untuk belajar hidup beragama, atau malah sebaliknya? Yaitu, kita jadikan sebagai ajang untuk bisa menyalurkan keinginan hawa nafsu yang selama ini masih terpendam di dalam diri kita masing-masing?” (Firman)
[ 10 ]
Menata Kampanye di Ruang Publik
”GAWAT! Diam-diam, ternyata, di negeri ini, masih cukup banyak orang yang ’gila’ pada kekuasaan. Lihat saja gambar-gambar yang dipasang di setiap ruang kosong milik publik. Mereka berebut tampil di tempat-tempat yang strategis agar bisa dikenal dan diingat oleh banyak orang. Semua itu, merupakan bukti nyata dari betapa banyaknya orang-orang yang gila pada kekuasaan,” ujar wan Juned dengan nada sinis ketika mengomentari foto-foto para caleg yang ada di sepanjang jalan utama menuju ke kampungnya.
“Huuussssst … jangan bicara seperti itu. Nanti bisa-bisa ada orang yang tersinggung,” tegur wan Ali sembari menuangkan air hangat ke dalam cangkir kopi dan kemudian mengaduk-aduknya.
”Lho ... ini fakta, wan Ali. Saya bicara bukan asal ngomong. Kalau tidak percaya, silahkan saja sampeyan lihat sendiri foto-foto yang terpampang di sepanjang jalan menuju ke kampung kita ini,” sergah wan Juned.
”Iya, saya tahu. Tapi, jangan terlalu frontal seperti itu. Kurang bagus dalam situasi seperti sekarang ini. Kalau sampeyan tidak setuju, ya jangan dilahirkan seperti itu. Cukup disimpan dalam hati saja,” imbuh wan Ali.
”Kurang bagus bagaimana maksud sampeyan? Apa sampeyan tidak merasa ‘risih’ menyaksikan kondisi kampung kita sekarang ini? Dulu rapi, indah dan asri. Sekarang, malah kesannya sangat kumuh. Pasalnya kenapa? Karena, banyak foto, bendera, spanduk dan baliho yang dipasang di sepanjang jalan menuju ke arah kampung kita ini,” sahut wan Juned.
“Memangnya salah mereka melakukan hal itu, wan Juned?” tanya wan Abu.
”Ini bukan perkara salah benar, wan Abu. Ini soal estetika dalam berpolitik. Masak masang foto, spanduk, bendera dan baliho sak enak-e dewe. Mbok ya-o, ditata sing apik ngono lho. Ben kesan asri-ne tetep kethok. Ojo waton lan sembrono. Iku jeneng-e, ngawur,” jawab wan Juned.
“Kok sampeyan malah jadi sewot to, wan Juned? Wong sing berwenang ngurusi masalah itu, meneng saja. Ngapain kita malah pusing ngurusi perkara yang kayak begituan,” ujar wan Ali.
“Saya itu bukannya sewot, wan Ali. Saya itu tidak setuju dengan cara berpolitik seperti itu. Kalau memang ingin berpolitik tenanan, mbok ya-o, main-ne sing apik. Buat apa berpolitik kalau hanya untuk membuat masyarakat menjadi sumpek dan jibek.,” jawab wan Juned.
“Ooo … itu to yang sampeyan inginkan. Ya, sudah. Kalau begitu, nanti, jika saya ketemu dengan pihak KPU dan Panwaslu, insya Allah akan saya sampaikan uneg-unegnya sampeyan. Mudah-mudahan mereka mau memperhatikan saran yang sampeyan usulkan tadi,” tandas wan Ali.
Sejurus kemudian, suasana di mimbar cakruk pun akhirnya menjadi hening. Mereka sungkan untuk melanjutkan perdebatan malam itu. Yang terdengar hanyalah suara jangkrik, kodok, nyamuk dan tokek. Mirip seperti sebuah orkestra simfony. (Firman)
[ 11 ]
Berpolitik: Tujuan atau Alat Mepet?
”POLITIK itu licik, sadis dan kotor. Disebut licik, karena tujuan berpolitik itu adalah untuk bisa meraih kemenangan. Sedang disebut sadis, karena dalam dunia politik, biasanya tidak mengenal adanya belas kasih. Adapun disebut kotor, karena pada umumnya, untuk bisa merealisasikan tujuan politiknya, para politikus terkadang melakukannya dengan cara-cara yang kotor,” ujar wan Abu, ketika menjawab pertanyaan Kang Bahrun tentang alasan wan Abu tidak mau terjun ke dunia politik. Padahal, menurut Kang Bahrun, wan Abu punya potensi dan punya peluang yang besar untuk bisa sukses di dunia politik.
”Apa orang yang berpolitik itu selalu identik dengan perbuatan kotor, wan Abu?” tanya Kang Bahrun yang merasa masih penasaran dengan sikap wan Abu yang seringkali terkesan sinis dengan para politikus.
”Biasanya sih seperti itu. Sebab, pada umumnya, tak ada ruang yang kosong untuk kebajikan di dalam dunia politik. Yang ada hanyalah ruang kotor dan kotor. Karena itulah, saya tak mau terjun ke dunia politik. Pasalnya, sebelum terjun ke dunia politik saja, aslinya saya sudah bergelimang dengan kotoran. Apalagi jika saya sampai berada di ruang tersebut,” ungkap wan Abu, seraya menceritakan tentang segudang pengalaman pahitnya ketika masih aktif menjadi mahasiswa fakultas ilmu politik. Termasuk tentang kekecewaannya kepada teman-teman sesama mahasiswa di kampusnya yang sering bermain politik praktis dengan cara-cara yang kotor.
***
”PENGALAMAN hidup itu adalah guru terbaik bagi orang-orang yang mau belajar meningkatkan kualitas rohaninya. Syaratnya, yang menjalani harus mau belajar nrima dan belajar mensyukuri kisah perjalanan hidupnya sendiri. Sebaliknya, pengalaman hidup juga terkadang bisa jadi kuburan yang sangat menakutkan, jika yang menjalani tidak mau membuka diri,” sindir wan Ali, tak lama setelah wan Abu menceritakan tentang kisah memilukan yang pernah dialaminya ketika masih jadi mahasiswa dulu.
”Karena itu,” imbuh wan Ali, ”jika sampeyan pernah punya pengalaman hidup yang kurang menyenangkan, sebaiknya jangan terlalu lama dipendam dalam hati dan ingatan. Sebab, perbuatan tersebut bisa merugikan diri sampeyan sendiri.”
”Wong zaman saja bisa berubah, masak situasi tak ikut berubah? Boleh jadi, berpolitik itu kotor, sadis dan licik. Tapi tidak berarti, selamanya politik itu kotor, sadis dan licik. Adakalanya, berpolitik itu juga indah dan menyenangkan. Tergantung bagaimana akhlak orang-orang yang berkiprah di arena tersebut. Kalau politik dijadikan sebagai tujuan, tentu akan sulit untuk bisa steeril dari sifat kotor. Tapi sebaliknya, jika berpolitik dijadikan sebagai alat untuk berjuang mengajak orang agar bisa mepet lan eling marang Sing Maha Kuasa, insya Allah akan menyenangkan,” ujar wan Ali seraya mengepulkan asap rokok kretek kesukaannya. (Firman)
[ 12 ]
Politik Prasangka atau Prasangka Politik?
PADA dasarnya, manusia suka pada keindahan dan suka dengan situasi yang bersih. Siapapun orangnya, ketika melihat sesuatu keadaan itu dalam kondisi bersih, rapi, indah dan asri, maka pastilah hatinya akan merasa senang. Begitu pula sebaliknya, ketika kondisi yang dilihatnya itu dalam keadaan kotor, kumuh dan lusuh, maka pastilah hatinya akan ikut-ikutan jadi sumpek.
”Manusia itu memang tidak tahu diri. Diutus untuk resik-resik penyakit hati, malah sibuk mengotori hatinya dengan melakukan banyak pelanggaran. Edan tenan manungso niku,” ujar wan Aziz ketika ngomong-ngomong santai di depan teras rumahnya bersama wan Abu, wan Amin dan wan Ali.
”Lho ... kok sampeyan punya kesimpulan semacam itu, wan Aziz? Memangnya ada apa?” tanya wan Ali seraya nyeruput kopi hangat yang telah dihidangkan oleh wan Aziz.
Sejurus kemudian, wan Aziz pun menceritakan berbagai kisah tentang pengalaman yang kurang menyenangkan yang pernah dialaminya pada pemilu lima tahun yang lalu. Dia mengaku pernah dibuat kecewa oleh para politikus yang telah membuat ekonomi keluarganya menjadi terpuruk.
”Katanya, kalau sudah terpilih jadi anggota dewan akan memberi proyek. Faktanya, nol besar. Jangankan memberi proyek, ditemui saja susah. Alasannya macam-macam. Rapatlah, meetinglah. Akh, saya sudah tidak percaya lagi dengan para politikus,” imbuh wan Aziz dengan nada kesal.
***
”SALAH satu ujian paling berat yang dihadapi manusia ketika hidup di dunia ini adalah, menjaga prasangka baik kepada sesama makhluk Allah. Apalagi berprasangka baik kepada Allah. Lebih sulit lagi. Tapi, yang namanya pelajaran bangun prasangka baik, ya tetap saja akan dilalui oleh manusia. Terlepas apakah dia suka atau tidak suka, dan siap atau tidak siap,” ujar wan Ali ketika menyampaikan ’pidato politiknya’ di rumah wan Aziz.
”Oleh karena itu,” lanjutnya, ”kita perlu ekstra hati-hati. Terutama dalam menyikapi sebuah persoalan yang ada di hadapan kita. Jangan cepat-cepat mengambil kesimpulan sebelum kita tahu duduk persoalan yang sebenarnya.”
”Kenapa harus seperti itu, wan Ali?” wan Abu tergoda untuk bertanya.
”Karena, kesimpulan yang kita ambil itu, boleh jadi, bukanlah yang sebenarnya. Ibarat kita ingin pergi ke sebuah tempat yang belum kita kenal. Kesimpulan yang tergesa-gesa itu, tak ubahnya seperti sebuah terminal antara. Sedang terminal yang sebenarnya, belum sampai,” jawab wan Ali.
”Benar, boleh jadi, sikap seorang politikus itu --- berdasarkan kaca mata syari’at --- kelihatannya salah. Tapi, apa betul dia benar-benar salah? Kalau, misalnya, lewat perbuatan yang salah itu ia kemudian mendapat ‘hadiah’ hidayah dari Gusti Allah, bagaimana? Apa ndak malah kewirangan kita kepada Gusti Allah? Karena itu, jangan gampang berprasangka buruk,” tandas wan Ali. (Firman)
Pemilu = Pestanya Hawa Nafsu?
WAN Ali mengingatkan jama’ah pengajian rutin yang hadir setiap malam Jum’at di kampungnya. Mereka diminta untuk mewaspadai hawa negatif yang menyertai perkembangan situasi politik yang makin memanas. Terutama setelah KPU mengeluarkan secara resmi daftar nama-nama calon tetap anggota legislatif untuk tingkat I, II dan pusat.
”Saudaraku, situasi politik di negeri kita akhir-akhir ini, panasnya terasa semakin menyengat. Hawa negatif yang ikut serta dalam kendaraan masing-masing bakal calon anggota dewan, mulai menebarkan aroma yang kurang bersahabat. Karena itu, sampeyan sedaya harus kuat pegangannya pada tali Allah. Sebab, sekarang ini, banyak orang yang sudah lupa dengan tujuan hidup di dunia,” ujar wan Ali.
”Apa sebabnya sehingga manusia banyak yang sudah lupa dengan tujuan hidup di dunia ini? Karena kebanyakan di antara manusia itu, memberi ruang yang lebar untuk bangkitnya hawa nafsu di dalam diri mereka sendiri. Akibatnya, mereka jadi kehilangan kendali untuk bisa mengontrol gerak hawa nafsu mereka sendiri,” lanjut wan Ali.
”Satu-satunya cara yang bisa kita lakukan sekarang ini adalah,” imbuhnya, ”mari kita belajar menahan diri. Belajar melemahkan kehendak hawa nafsu. Sebab, yang namanya kehendak hawa nafsu itu, bisanya, selalu cenderung mengajak tuannya untuk menuju ke arah negatif daripada positif. Jika hal itu sampai terjadi, yang bakal rugi adalah diri kita sendiri.”
***
PADA kesempatan itu, wan Ali juga mengingatkan para jama’ahnya agar tidak mudah terprovokasi oleh bujuk rayu dan iming-iming dari para politik yang haus akan kekuasaan. Sebab, bujuk rayu dan iming-iming itu, aslinya adalah, bentuk lain dari hawa nafsu yang didzahirkan.
”Kalau memang sampeyan sedaya ingin memberi suara, maka pilihlah calon yang memang sampeyan kenal dan telah terbukti amanah. Jangan sembarang pilih atau memilih asal-asalan. Apalagi memilih karena pengaruh selembar uang. Itu namanya jual-beli suara,” kata wan Ali.
”Negeri ini tidak akan pernah bisa bersih, kalau kita masih memberi ruang untuk berkiprah bagi para politikus yang haus akan kekuasaan. Apapun alasannya, jual-beli suara itu, bukanlah jalan keluar yang tepat untuk bisa mengubah nasib negeri ini di masa datang. Kalau memang kita ingin merubah negeri ini, mari kita rubah sifat buruk yang masih mendekam di dalam diri kita masing-masing,” tukas wan Ali dengan nada yang agak bergetar.
”Yang tak kalah pentingnya lagi untuk kita perhatikan adalah,” tandasnya, ”apakah pesta demokrasi kali ini mau kita jadikan sebagai sarana untuk belajar hidup beragama, atau malah sebaliknya? Yaitu, kita jadikan sebagai ajang untuk bisa menyalurkan keinginan hawa nafsu yang selama ini masih terpendam di dalam diri kita masing-masing?” (Firman)
[ 10 ]
Menata Kampanye di Ruang Publik
”GAWAT! Diam-diam, ternyata, di negeri ini, masih cukup banyak orang yang ’gila’ pada kekuasaan. Lihat saja gambar-gambar yang dipasang di setiap ruang kosong milik publik. Mereka berebut tampil di tempat-tempat yang strategis agar bisa dikenal dan diingat oleh banyak orang. Semua itu, merupakan bukti nyata dari betapa banyaknya orang-orang yang gila pada kekuasaan,” ujar wan Juned dengan nada sinis ketika mengomentari foto-foto para caleg yang ada di sepanjang jalan utama menuju ke kampungnya.
“Huuussssst … jangan bicara seperti itu. Nanti bisa-bisa ada orang yang tersinggung,” tegur wan Ali sembari menuangkan air hangat ke dalam cangkir kopi dan kemudian mengaduk-aduknya.
”Lho ... ini fakta, wan Ali. Saya bicara bukan asal ngomong. Kalau tidak percaya, silahkan saja sampeyan lihat sendiri foto-foto yang terpampang di sepanjang jalan menuju ke kampung kita ini,” sergah wan Juned.
”Iya, saya tahu. Tapi, jangan terlalu frontal seperti itu. Kurang bagus dalam situasi seperti sekarang ini. Kalau sampeyan tidak setuju, ya jangan dilahirkan seperti itu. Cukup disimpan dalam hati saja,” imbuh wan Ali.
”Kurang bagus bagaimana maksud sampeyan? Apa sampeyan tidak merasa ‘risih’ menyaksikan kondisi kampung kita sekarang ini? Dulu rapi, indah dan asri. Sekarang, malah kesannya sangat kumuh. Pasalnya kenapa? Karena, banyak foto, bendera, spanduk dan baliho yang dipasang di sepanjang jalan menuju ke arah kampung kita ini,” sahut wan Juned.
“Memangnya salah mereka melakukan hal itu, wan Juned?” tanya wan Abu.
”Ini bukan perkara salah benar, wan Abu. Ini soal estetika dalam berpolitik. Masak masang foto, spanduk, bendera dan baliho sak enak-e dewe. Mbok ya-o, ditata sing apik ngono lho. Ben kesan asri-ne tetep kethok. Ojo waton lan sembrono. Iku jeneng-e, ngawur,” jawab wan Juned.
“Kok sampeyan malah jadi sewot to, wan Juned? Wong sing berwenang ngurusi masalah itu, meneng saja. Ngapain kita malah pusing ngurusi perkara yang kayak begituan,” ujar wan Ali.
“Saya itu bukannya sewot, wan Ali. Saya itu tidak setuju dengan cara berpolitik seperti itu. Kalau memang ingin berpolitik tenanan, mbok ya-o, main-ne sing apik. Buat apa berpolitik kalau hanya untuk membuat masyarakat menjadi sumpek dan jibek.,” jawab wan Juned.
“Ooo … itu to yang sampeyan inginkan. Ya, sudah. Kalau begitu, nanti, jika saya ketemu dengan pihak KPU dan Panwaslu, insya Allah akan saya sampaikan uneg-unegnya sampeyan. Mudah-mudahan mereka mau memperhatikan saran yang sampeyan usulkan tadi,” tandas wan Ali.
Sejurus kemudian, suasana di mimbar cakruk pun akhirnya menjadi hening. Mereka sungkan untuk melanjutkan perdebatan malam itu. Yang terdengar hanyalah suara jangkrik, kodok, nyamuk dan tokek. Mirip seperti sebuah orkestra simfony. (Firman)
[ 11 ]
Berpolitik: Tujuan atau Alat Mepet?
”POLITIK itu licik, sadis dan kotor. Disebut licik, karena tujuan berpolitik itu adalah untuk bisa meraih kemenangan. Sedang disebut sadis, karena dalam dunia politik, biasanya tidak mengenal adanya belas kasih. Adapun disebut kotor, karena pada umumnya, untuk bisa merealisasikan tujuan politiknya, para politikus terkadang melakukannya dengan cara-cara yang kotor,” ujar wan Abu, ketika menjawab pertanyaan Kang Bahrun tentang alasan wan Abu tidak mau terjun ke dunia politik. Padahal, menurut Kang Bahrun, wan Abu punya potensi dan punya peluang yang besar untuk bisa sukses di dunia politik.
”Apa orang yang berpolitik itu selalu identik dengan perbuatan kotor, wan Abu?” tanya Kang Bahrun yang merasa masih penasaran dengan sikap wan Abu yang seringkali terkesan sinis dengan para politikus.
”Biasanya sih seperti itu. Sebab, pada umumnya, tak ada ruang yang kosong untuk kebajikan di dalam dunia politik. Yang ada hanyalah ruang kotor dan kotor. Karena itulah, saya tak mau terjun ke dunia politik. Pasalnya, sebelum terjun ke dunia politik saja, aslinya saya sudah bergelimang dengan kotoran. Apalagi jika saya sampai berada di ruang tersebut,” ungkap wan Abu, seraya menceritakan tentang segudang pengalaman pahitnya ketika masih aktif menjadi mahasiswa fakultas ilmu politik. Termasuk tentang kekecewaannya kepada teman-teman sesama mahasiswa di kampusnya yang sering bermain politik praktis dengan cara-cara yang kotor.
***
”PENGALAMAN hidup itu adalah guru terbaik bagi orang-orang yang mau belajar meningkatkan kualitas rohaninya. Syaratnya, yang menjalani harus mau belajar nrima dan belajar mensyukuri kisah perjalanan hidupnya sendiri. Sebaliknya, pengalaman hidup juga terkadang bisa jadi kuburan yang sangat menakutkan, jika yang menjalani tidak mau membuka diri,” sindir wan Ali, tak lama setelah wan Abu menceritakan tentang kisah memilukan yang pernah dialaminya ketika masih jadi mahasiswa dulu.
”Karena itu,” imbuh wan Ali, ”jika sampeyan pernah punya pengalaman hidup yang kurang menyenangkan, sebaiknya jangan terlalu lama dipendam dalam hati dan ingatan. Sebab, perbuatan tersebut bisa merugikan diri sampeyan sendiri.”
”Wong zaman saja bisa berubah, masak situasi tak ikut berubah? Boleh jadi, berpolitik itu kotor, sadis dan licik. Tapi tidak berarti, selamanya politik itu kotor, sadis dan licik. Adakalanya, berpolitik itu juga indah dan menyenangkan. Tergantung bagaimana akhlak orang-orang yang berkiprah di arena tersebut. Kalau politik dijadikan sebagai tujuan, tentu akan sulit untuk bisa steeril dari sifat kotor. Tapi sebaliknya, jika berpolitik dijadikan sebagai alat untuk berjuang mengajak orang agar bisa mepet lan eling marang Sing Maha Kuasa, insya Allah akan menyenangkan,” ujar wan Ali seraya mengepulkan asap rokok kretek kesukaannya. (Firman)
[ 12 ]
Politik Prasangka atau Prasangka Politik?
PADA dasarnya, manusia suka pada keindahan dan suka dengan situasi yang bersih. Siapapun orangnya, ketika melihat sesuatu keadaan itu dalam kondisi bersih, rapi, indah dan asri, maka pastilah hatinya akan merasa senang. Begitu pula sebaliknya, ketika kondisi yang dilihatnya itu dalam keadaan kotor, kumuh dan lusuh, maka pastilah hatinya akan ikut-ikutan jadi sumpek.
”Manusia itu memang tidak tahu diri. Diutus untuk resik-resik penyakit hati, malah sibuk mengotori hatinya dengan melakukan banyak pelanggaran. Edan tenan manungso niku,” ujar wan Aziz ketika ngomong-ngomong santai di depan teras rumahnya bersama wan Abu, wan Amin dan wan Ali.
”Lho ... kok sampeyan punya kesimpulan semacam itu, wan Aziz? Memangnya ada apa?” tanya wan Ali seraya nyeruput kopi hangat yang telah dihidangkan oleh wan Aziz.
Sejurus kemudian, wan Aziz pun menceritakan berbagai kisah tentang pengalaman yang kurang menyenangkan yang pernah dialaminya pada pemilu lima tahun yang lalu. Dia mengaku pernah dibuat kecewa oleh para politikus yang telah membuat ekonomi keluarganya menjadi terpuruk.
”Katanya, kalau sudah terpilih jadi anggota dewan akan memberi proyek. Faktanya, nol besar. Jangankan memberi proyek, ditemui saja susah. Alasannya macam-macam. Rapatlah, meetinglah. Akh, saya sudah tidak percaya lagi dengan para politikus,” imbuh wan Aziz dengan nada kesal.
***
”SALAH satu ujian paling berat yang dihadapi manusia ketika hidup di dunia ini adalah, menjaga prasangka baik kepada sesama makhluk Allah. Apalagi berprasangka baik kepada Allah. Lebih sulit lagi. Tapi, yang namanya pelajaran bangun prasangka baik, ya tetap saja akan dilalui oleh manusia. Terlepas apakah dia suka atau tidak suka, dan siap atau tidak siap,” ujar wan Ali ketika menyampaikan ’pidato politiknya’ di rumah wan Aziz.
”Oleh karena itu,” lanjutnya, ”kita perlu ekstra hati-hati. Terutama dalam menyikapi sebuah persoalan yang ada di hadapan kita. Jangan cepat-cepat mengambil kesimpulan sebelum kita tahu duduk persoalan yang sebenarnya.”
”Kenapa harus seperti itu, wan Ali?” wan Abu tergoda untuk bertanya.
”Karena, kesimpulan yang kita ambil itu, boleh jadi, bukanlah yang sebenarnya. Ibarat kita ingin pergi ke sebuah tempat yang belum kita kenal. Kesimpulan yang tergesa-gesa itu, tak ubahnya seperti sebuah terminal antara. Sedang terminal yang sebenarnya, belum sampai,” jawab wan Ali.
”Benar, boleh jadi, sikap seorang politikus itu --- berdasarkan kaca mata syari’at --- kelihatannya salah. Tapi, apa betul dia benar-benar salah? Kalau, misalnya, lewat perbuatan yang salah itu ia kemudian mendapat ‘hadiah’ hidayah dari Gusti Allah, bagaimana? Apa ndak malah kewirangan kita kepada Gusti Allah? Karena itu, jangan gampang berprasangka buruk,” tandas wan Ali. (Firman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar