PESTA demokrasi setiap lima tahun sekali, tak lama lagi akan digelar. Para bakal calon anggota legislatif (caleg) yang masuk dalam daftar calon tetap yang diajukan oleh semua orsospol, sudah mulai terlihat sibuk. Bahkan, jauh sebelum daftar calon tetap itu dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), para bakal caleg sudah mulai kasak-kusuk.
Ada yang sibuk menyiapkan alat peraga kampanye, ada yang sibuk mencari donatur kampanye, dan ada pula yang sibuk mempersiapkan konsep tentang taktik dan strategi yang harus dilakukan oleh anggota tim sukses para bakal caleg. Termasuk sibuk mencari para dukun, paranormal atau ’orang pintar’ yang ampuh di seluruh pelosok negeri.
Mereka pun berbondong-bondong datang ke paranormal atau ‘orang pintar’. Bahkan, menurut sejumlah sumber, mereka tak sungkan-sungkan untuk ngantri, demi bisa mendapat azimat atau pegangan dari para dukun atau ‘orang pintar’. Tujuannya, apalagi kalau bukan untuk melancarkan urusan agar bisa menjadi anggota dewan yang terhormat.
Konon, katanya, para bakal caleg itu tidak merasa takut untuk mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar sekali pun. Semua itu mereka lakukan, karena mereka ingin memperoleh pegangan dari para ’orang pintar’ tersebut.
***
”Wah ... ternyata, menjelang pemilu tahun ini, ’orang pintar’ lagi laris manis, wan Ali. Mirip seperti kacang goreng. Para bakal caleg, banyak yang siap ngantri untuk bisa ketemu dan minta petuah dari ’orang-orang pintar’. Fenomena apa sebenarnya hal ini, wan Ali?” tanya wan Juned.
”Wah ... kalau itu, saya tidak tahu. Yang jelas, di balik peristiwa tersebut, pasti ada pelajaran untuk kita yang berada di luar dunia politik. Apa pelajarannya? Ya, kita lihat saja nanti,” kata wan Ali.
”Apa peristiwa itu pertanda bahwa keyakinan para bakal caleg kita sedang mengalami kerusakan, wan Ali?” selidik wan Juned. ”Bisa ya, bisa juga tidak. Tergantung dari sudut mana kita melihat peristiwa tersebut. Disebut ya, jika kacamata yang kita pakai adalah kacamata syari’at. Sebab, hukum syari’at dengan tegas mengatakan, siapa yang pergi ke dukun, maka perilaku itu sama saja dengan perbuatan syirik,” jawab wan Ali.”Sedang disebut tidak, jika kacamata yang kita pakai itu adalah kacamata ilmu hikmah. Mengapa bisa begitu? Karena, yang namanya ilmu hikmah itu, tidak melihat sebuah persoalan berdasarkan hitam-putih. Sebab, di balik yang hitam itu pasti ada putihnya, jika yang menjalaninya bisa mengolah hatinya. Dan di balik yang putih itu, pasti ada hitamnya, jika yang menjalaninya tidak bisa mengolah hatinya,” imbuh wan Ali. ”Jadi, kesimpulannya, tergantung bagaimana niatnya. Jika niatnya benar, cara yang ditempuh benar, dan alat yang digunakan juga sudah benar, maka insya Allah, hasilnya pun akan benar. Minimal, dekat dengan kebenaran,” tandas wan Ali.
Ada yang sibuk menyiapkan alat peraga kampanye, ada yang sibuk mencari donatur kampanye, dan ada pula yang sibuk mempersiapkan konsep tentang taktik dan strategi yang harus dilakukan oleh anggota tim sukses para bakal caleg. Termasuk sibuk mencari para dukun, paranormal atau ’orang pintar’ yang ampuh di seluruh pelosok negeri.
Mereka pun berbondong-bondong datang ke paranormal atau ‘orang pintar’. Bahkan, menurut sejumlah sumber, mereka tak sungkan-sungkan untuk ngantri, demi bisa mendapat azimat atau pegangan dari para dukun atau ‘orang pintar’. Tujuannya, apalagi kalau bukan untuk melancarkan urusan agar bisa menjadi anggota dewan yang terhormat.
Konon, katanya, para bakal caleg itu tidak merasa takut untuk mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar sekali pun. Semua itu mereka lakukan, karena mereka ingin memperoleh pegangan dari para ’orang pintar’ tersebut.
***
”Wah ... ternyata, menjelang pemilu tahun ini, ’orang pintar’ lagi laris manis, wan Ali. Mirip seperti kacang goreng. Para bakal caleg, banyak yang siap ngantri untuk bisa ketemu dan minta petuah dari ’orang-orang pintar’. Fenomena apa sebenarnya hal ini, wan Ali?” tanya wan Juned.
”Wah ... kalau itu, saya tidak tahu. Yang jelas, di balik peristiwa tersebut, pasti ada pelajaran untuk kita yang berada di luar dunia politik. Apa pelajarannya? Ya, kita lihat saja nanti,” kata wan Ali.
”Apa peristiwa itu pertanda bahwa keyakinan para bakal caleg kita sedang mengalami kerusakan, wan Ali?” selidik wan Juned. ”Bisa ya, bisa juga tidak. Tergantung dari sudut mana kita melihat peristiwa tersebut. Disebut ya, jika kacamata yang kita pakai adalah kacamata syari’at. Sebab, hukum syari’at dengan tegas mengatakan, siapa yang pergi ke dukun, maka perilaku itu sama saja dengan perbuatan syirik,” jawab wan Ali.”Sedang disebut tidak, jika kacamata yang kita pakai itu adalah kacamata ilmu hikmah. Mengapa bisa begitu? Karena, yang namanya ilmu hikmah itu, tidak melihat sebuah persoalan berdasarkan hitam-putih. Sebab, di balik yang hitam itu pasti ada putihnya, jika yang menjalaninya bisa mengolah hatinya. Dan di balik yang putih itu, pasti ada hitamnya, jika yang menjalaninya tidak bisa mengolah hatinya,” imbuh wan Ali. ”Jadi, kesimpulannya, tergantung bagaimana niatnya. Jika niatnya benar, cara yang ditempuh benar, dan alat yang digunakan juga sudah benar, maka insya Allah, hasilnya pun akan benar. Minimal, dekat dengan kebenaran,” tandas wan Ali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar