Minggu, 20 April 2008

Dulu Difitnah, Kini Jadi Tempat Panuwunan


Ponpes ‘Asali Fadlaailir Rahmah, Sananrejo, Turen, Malang
Ponpes ‘Asali Fadlaailir Rahmah, Sananrejo, Turen, Malang
Dulu Difitnah, Kini Jadi Tempat Panuwunan

PONDOK Pesantren (Ponpes) Salafiyah ‘Asali Fadlaailir Rahmah, (Bi Ba’a Fadlrah) yang berada di Sananrejo, Turen, Malang, sejak didirikan pada 1978 oleh KH Sayyid Ahmad Bahru Mafdoluddin Shaleh Al-Mahbub atau yang bisa disapa santri dengan sebutan Romo Kiai, Pimpinan Ponpes, seringkali difitnah banyak orang. Tapi anehnya, setelah 30 tahun berdiri, Ponpes Bi Ba’a Fadlrah, kini jadi tempat panuwunan (permohonan) banyak orang. Terutama bagi mereka yang punya hajat dalam hidupnya, tapi belum terwujud.
Seperti yang dialami Ny. Budi dari Yogyakarta. Dia mengaku, datang ke pondok karena ingin ‘mengobati’ penyakit yang dialami oleh keponakannya yang baru berusia 26 bulan. “Menurut diagnosis medis, di otak keponakan saya ada rongga, sehingga udara gampang masuk. Akibatnya, keponakan saya itu sering mengalami kejang-kejang. Saya berharap, keponakan saya bisa hidup normal dan selamat seperti anak-anak pada umumnya,” katanya.
Berbeda halnya dengan Ny. Tutik, warga Panggungrejo, Kepanjen, Malang. Dia datang ke pondok dalam kondisi sedang hamil 8 bulan. Lewat santri yang piket di ruang informasi 2, Ny. Tutik menulis pesan untuk minta tolong diaturkan hajatnya kepada Romo Kiai, Pimpinan Ponpes Bi Ba’a Fadlrah.
“Saya nyuwun lancar melahirkan lan dados lare sing shaleh (saya mohon doanya agar proses kelahiran saya bisa berjalan lancar dan anak saya bisa jadi anak yang shaleh),” tulis Ny. Tutik.
Lain halnya dengan ibu Novida Lestari, warga Kepanjen, Malang. Setelah 4 tahun hidup bersama suaminya, dia mengaku belum pernah merasakan ketenangan hidup.
“Sudah 4 tahun lamanya saya hidup serumah dengan suami, tapi dereng nate ngeraosaken tenang (belum pernah merasakan hidup tenang). Baru di tempat inilah (baca: di pondok), saya merasakan betapa nikmatnya bisa hidup tenang,” katanya sembari berharap bisa mendapat barakah keluarga sakinah ma wadah wa rahmah.
Selain itu, tidak sedikit pula para pengunjung yang datang ke pondok Bi Ba’a Fadlrah karena berharap bisa memperoleh jalan keluar dari persoalan yang sedang dihadapinya. Seperti Pak Slamet, warga Kepanjen, Malang dan Pak Anung, warga Gamoingan, Pagak, Malang. Kedua pengunjung ini mengaku, datang ke pondok karena sedang dililit hutang dan usahanya macet.
“Mudah-mudahan, dengan sebab kemurahan Allah dan pertolongan barakah Romo Kiai, resiko yang menjadi hijab sehingga membuat jalan rezeki saya jadi mampet itu, bisa jadi lancar kembali,” ujar Pak Slamet.
Niat Pengunjung
Terkait dengan beragamnya niat dan tujuan para pengunjung yang datang ke pondok, diakui Iphoeng HD Purwanto (32), atau yang akrab disapa Gus Iphoeng, Sekretaris Santri Ponpes Bi Ba’a Fadlrah memang tidak sama. Sebagian besar, katanya, tamu yang datang ke pondok karena memang ingin bisa lepas dari masalah. Jumlah mereka setiap hari selalu bertambah. Terutama sejak awal tahun 2007 lalu.
“Selain itu, ada juga yang ingin sowan ke Romo Kiai dan Bu Nyai. Ada juga yang ingin berobat dan ingin meminta nasihat dari Beliau. Di samping, ada juga yang karena ingin konsultasi dan meminta ditunjukkan jalan keluar dari permasalahan hidup yang sedang mereka hadapi,” imbuh anak pertama dari pasangan bapak Sugito itu.
Menjawab pertanyaan, Gus Iphoeng mengatakan, kalau dulu, tamu yang datang ke Ponpes bisa langsung sowan ke Romo Kiai. Sebab, waktu itu, tamu yang datang jumlahnya masih sedikit. Selain, karena tugas Romo Kiai saat itu memang belum begitu padat seperti sekarang ini.
“Tapi, sejak beberapa tahun belakangan ini, Beliau jarang bisa menerima tamu yang ingin sowan. Sebab, tugas Beliau sudah semakin padat. Oleh karena itu, Beliau kemudian mengamanahkan kepada para santri untuk melayani keperluan para tamu yang ingin sowan pada Beliau,” ujar Gus Iphoeng.
“Biasanya,” lanjut dia, “kalau ada tamu yang ingin menyampaikan keluhan, kita sarankan untuk disampaikan secara tertulis kepada para santri yang sedang piket. Keluhan tersebut nantinya akan disampaikan petugas piket kepada Romo Kiai lewat jalur telephone yang terhubung dari tempat piket ke lantai 4. Yaitu tempat tinggal Beliau.”
Tamunya Pondok
Menurut Gus Iphoeng, setiap hari, ada ribuan orang dari berbagai daerah yang datang ke pondok. “Apalagi kalau hari Sabtu, Ahad dan hari libur nasional, jumlah tamu yang datang bisa mencapai 20-30 ribuan orang,” ujar Gus Iphoeng seraya menyebutkan beberapa nama daerah asal pengunjung.
“Semua itu bisa terjadi,” imbuh santri bujang asal Banguntapan, Bantul, Yogyakarta yang mengaku menetap di pondok pada tahun 2002 lalu itu, “karena adanya kemurahan dari Tuhan Yang Sebenarnya. Dia-lah yang telah menggerakkan orang-orang yang berasal dari berbagai daerah itu untuk datang ke pondok ini.”
Padahal, lanjutnya, kalau mengingat bagaimana kisah perjalanan sejarah ketika Ponpes Bi Ba’a Fadlrah itu didirikan, rasa-rasanya seperti tidak masuk akal. “Betapa tidak. Ketika bangunan inti baru saja selesai digarap, tiba-tiba proses pembangunannya dihentikan oleh Romo Kiai, lantaran banyak orang memfitnah pondok ini telah menyebarkan ajaran sesat,” kata pria yang mengenakan kacamata minus itu.
Setelah 21 tahun kemudian, barulah proses pembangunan pondok yang direncanakan akan dibangun 10 lantai di atas tanah seluas ± 5 Ha tersebut, dilanjutkan kembali hingga sekarang ini. “Yang jelas, bangunan yang sudah ada sekarang ini, baru nol koma sekian persennya saja dari keseluruhan rencana pembangunan pondok,” tukas Gus Iphoeng di sela-sela kesibukkannya menggarap Taman Pondok yang berada di selatan Ponpes.
Imbas Berita Negatif
Ketika di Indonesia sedang marak pemberitaan negatif mengenai ajaran sesat dan aktivitas terorisme yang dihubungkan dengan keberadaan pesantren, Ponpes yang memiliki santri sebanyak 200 orang itu pun, ternyata tak luput dari incaran pihak-pihak yang memang ingin mendiskreditkan umat Islam dan dunia pesantren.
“Pondok ini juga sempat jadi korban dari pemberitaan yang negatif itu. Tapi, karena ‘tuduhan’ itu tak ada buktinya, maka berita-berita negatif itu pun akhirnya hilang dengan sendirinya. Malah hikmahnya besar sekali. Banyak orang yang datang ke mari,” kata Gus Iphoeng.
Bahkan, lanjutnya, yang lebih menghebohkan lagi adalah, peristiwa yang terjadi pada awal 2007 lalu. “Waktu itu, tersebar berita dari mulut ke mulut. Isi beritanya, di Desa Sananrejo, Kecamatan Turen, ada sebuah bangunan megah yang secara tiba-tiba muncul dari dalam tanah,” ujar Gus Iphoeng sambil tersenyum.
“Akibatnya,” lanjut dia, ”masyarakat sekitar Malang Raya ini pun, berduyun-duyun datang ke sini. Mereka ingin menyaksikan dan membuktikan kebenaran informasi yang menyebar dari mulut ke mulut itu.”
Selain itu, tukas Gus Iphoeng, juga ada orang yang menyebarkan informasi, bahwa bangunan Ponpes tempatnya belajar ilmu hikmah itu, proses pembangunannya dikerjakan oleh bangsa Jin, sebagaimana yang terjadi pada masa Nabi Sulaiman as. Benarkah bangunan Ponpes Bi Ba’a Fadlrah itu muncul sendiri dari dalam tanah? Siapa sebetulnya yang telah mengerjakan seluruh bangunan tersebut?
Pembangunan Pondok
BENTUK bangunan Ponpes Bi Ba’a Fadlrah di Sananrejo, memang tidak seperti bangunan Ponpes pada umumnya. Hampir di setiap lokasi bangunan pondok mencerminkan keindahan, kebersihan dan keserasian. Tak ada kesan kumuh barang sedikit pun.
Model bangunannya pun, sangat unik. Sepintas, gaya bangunannya mirip seperti gaya bangunan ala Timur-Tengah. Tapi, jika dicermati lebih teliti lagi, kesan modern dan warna ke-Indonesia-an pada bentuk bangunannya, terasa begitu sangat kental sekali.
Beberapa kubah, misalnya, baik yang berukuran besar maupun kecil, berdiri dengan megah di lantai 1, 5, 6 hingga di lantai 10. Dari jarak kejauhan, bangunan Ponpes itu terkesan seperti sebuah istana yang ada di dalam kisah cerita 1001 malam. Apalagi kalau seluruh lampu yang ada di bangunan itu dinyalakan semua.
“Setiap ada acara-acara besar, semua lampu yang ada di pondok ini dinyalakan. Untuk menyalakan lampu dan seluruh perangkat elektronik yang ada di pondok ini dibutuhkan daya listrik sekitar 21.000 watt. Sedang pada hari-hari biasa, lampu yang menyala hanya di tempat-tempat khusus saja,” kata Gus Iphoeng.
Sebagaimana Pondok Pesantren pada umumnya, Ponpes Bi Ba’a Fadlrah juga dibangun oleh tenaga-tenaga ahli dan menguasai dalam bidangnya masing-masing. Bedanya, jika di Ponpes lain, tenaga ahli yang membangun gedungnya lebih banyak berasal dari luar pondok.
Sedang di Ponpes yang berada di jalan Anggur RT 27/RW 06 Desa Sananrejo, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang itu, yang menggarap proses pembangunan gedungnya adalah para santri yang bermukim di lingkungan pondok itu sendiri.
“Semua yang mengerjakan bangunan ini adalah para santri atas petunjuk dari Romo Kiai. Di sini, santri hanya menjalankan apa yang telah ditugaskan oleh Romo Kiai. Kalau tidak ada dhawuh (perintah) dari Beliau, santri tidak ada yang berani melakukannya,” ujarnya.
“Jadi,” lanjut anak pertama dari lima bersaudara itu, “tidak benar kalau yang mengerjakan pembangunan Ponpes ini adalah bangsa jin. Semua yang mengerjakannya adalah para santri atas petunjuk dari Romo Kiai.”
Jadwal Kerja
Selama berada di lokasi Ponpes itu, penulis sendiri menyaksikan dari dekat bagaimana para santri --- baik bujang maupun yang telah berkeluarga --- yang ada di lingkungan Ponpes, bekerja dengan sungguh-sungguh. Sejak ba’da shalat Subuh, tepatnya pukul 06.00 WIB, semua santri laki-laki telah siap melaksanakan pekerjaan sesuai dengan bidang garapnya masing-masing. Sedang beberapa santri wanita, ada yang telah melakukan aktivitas garapannya sejak pukul 03.00 WIB.
Sebelum mengerjakan garapannya, para santri laki-laki dan wanita mengisi daftar hadir di sebuah whiteboard yang terpasang pada bangunan di sisi sebelah timur. Setelah itu, barulah mereka menuju ke lokasi tempat bekerjanya masing-masing.
Ada yang di lantai dasar hingga lantai 10. Adapun jenis pekerjaan yang mereka garap yaitu: menyapu atau bersih-bersih halaman pondok seluas ± 5 Ha, ngepel lantai yang ada di tiap tingkat dan melakukan pekerjaan dapur.
“Jadwal kerja para santri di pondok ini, semua sudah ditentukan. Pagi mulai jam 06.00 - 11.30 WIB. Selesai shalat Dzuhur, dilanjut lagi hingga Ashar. Setelah itu istirahat hingga selesai shalat Isya. Lalu mulai jam 20.30 – 24.00 WIB lembur lagi. Begitu setiap harinya,” jelas Gus Iphoeng.
Terkait dengan ‘rumor’ yang mengatakan bahwa bangunan Ponpes yang menggunakan fasilitas lift dan dilengkapi dengan kamera CCTV hingga ke lantai 9 itu muncul sendiri secara tiba-tiba dari dalam tanah, ditanggapi Gus Iphoeng dengan tersenyum.
“Apa ya ada pohon kelapa yang muncul tiba-tiba tanpa sebuah proses terlebih dahulu? Wong manusia saja, sebelum lahir dan tumbuh-kembang, harus lewat proses yang panjang terlebih dahulu. Masak bangunan yang sebegini luasnya, ujuk-ujuk (tiba-tiba) muncul dari dalam tanah?” komentarnya sembari tersenyum.
Menjawab pertanyaan, mantan pelatih drama pada salah satu SMU di Yogyakarta itu mengatakan, sebagian besar dana yang dipergunakan untuk keperluan pembangunan pondok tersebut, murni berasal dari swadaya pimpinan pondok. Di samping itu, lanjutnya, ada juga yang berasal dari sumbangan para donatur, santri dan jama’ah yang mempercayakan hartanya kepada pimpinan pondok.
“Selain menyumbang dalam bentuk harta, ada juga yang menyumbang dalam bentuk tenaga dan do’a. Di sini, yang penting ikhlas. Bukan besar-kecilnya sumbangan yang diberikan,” kata Gus Iphoeng.
Bentuk Bangunan
Design bangunan Ponpes Bi Ba’a Fadlrah Malang, memang termasuk salah satu Ponpes paling ‘unik’ dan paling ‘megah’ di Indonesia. Mungkin juga di dunia. Disebut ‘unik’, karena arsitektur bangunannya terbilang sangat rumit dan relatif cukup njelimet. Sedang disebut ‘megah’, karena Ponpes yang didirikan di tengah sebuah perkampungan terpencil di selatan Kabupaten Malang tersebut, bangunannya berdiri kokoh bak sebuah istana.
Di mana, antara bangunan induk dengan bangunan lainnya, saling berhubungan satu sama lainnya. Dan uniknya lagi, tiap-tiap Ponpes akan melanjutkan proses pembangunan gedungnya, konsep pembangunannya justru menyesuaikan dengan postur tanah dan bentuk tanaman yang ada di lingkungan Ponpes.
“Jika ada tanaman yang masih hidup berada di lokasi yang akan dibangun, maka tanaman tersebut tetap akan dipertahankan. Jadi, bangunannya yang akan menyesuaikan dengan kondisi tanah dan tanaman yang ada di sekitarnya,” ujar Gus Iphoeng seraya menunjukkan beberapa lokasi bangunan yang designnya menyesuaikan dengan kondisi tanah dan tanaman yang ada di sekitarnya.
Misalnya di lantai empat sebelah timur. Ada sebuah pohon kelapa yang tetap dibiarkan tumbuh subur di antara bangunan yang telah selesai pengerjaannya. Selain itu, juga ditunjukkan lokasi bangunan bawah tanah yang berada di lantai satu, tempat pintu masuk para pengunjung. Termasuk lokasi tempat makan para tamu yang berada di lantai 2.
“Di sini, keselarasan terhadap lingkungan hidup sangat diperhatikan. Romo Kiai selalu menanamkan kepada para santri untuk mencintai dan menyayangi tumbuh-tumbuhan yang ada di lingkungan pondok ini. Termasuk kepada hewan dan sesama manusia tentunya,” papar Gus Iphoeng.
Selain itu, ada banyak ornamen-ornamen yang terdapat pada bagian dinding bangunan di setiap lantainya. Hampir sebagian besar, relief-relief atau ornamen yang berada di lingkungan pondok tersebut, terdapat lafadz Arabnya.
Uniknya lagi, seluruh model bangunan megah dan ornamen di pondok itu, yang mengerjakannya adalah para santri sendiri dengan hanya menggunakan alat-alat serba sederhana. Misalnya, untuk keperluan melakukan pengecoran di tiap lantai. Alat yang dipergunakan hanya memakai dua buah perangkat mollen. Padahal, area yang akan dicor terbilang cukup luas.
“Kalau di luar, untuk membangun gedung bertingkat lebih dari dua lantai, orang biasanya menggunakan mesin cor dengan teknologi modern. Sedang di sini, alat yang dipakai hanya mollen biasa. Itu pun jumlahnya hanya dua,” tandasnya ketika memandu menyusuri tiap tempat yang ada di lingkungan Ponpes.
Pintu Masuk
Pintu masuk ke dalam pondok itu, juga terbilang cukup unik. Disebut demikian karena jalannya naik-turun dan menyusuri lorong bawah tanah. Setiap lorong jalan yang dilalui, ada namanya.
“Di sini, jalan untuk laki-laki dan wanita terpisah. Begitu juga halnya ruang untuk istirahat. Jadi, meskipun pengunjung yang datang ke sini suami-istri, tapi jalan masuk dan tempat istirahatnya tetap terpisah,” ujar Gus Iphoeng kepada penulis.
Setiap jalan di tiap lantai dalam bangunan Ponpes yang bentuk bangunan dalamnya menyerupai sarang lebah tersebut, ada namanya. Misalnya, jalan masuk untuk tamu laki-laki yang berada di lantai dasar, diberi nama jalan Rohmah Rojul. Jalan ini akan menuju ke ruang istirahat tamu laki-laki yang diberi nama al-Mabqiyah dan al-Mirotsiyah. Di dekat ruang itu, ada jalan melingkar antara lantai 2 dan 3 yang diberi nama jalan Darojah 2-3. Sedang jalan lorong yang akan menuju ke musholla, diberi nama al-Mishbariyah.
Begitu juga halnya dengan jalan khusus untuk wanita. Namanya jalan Ziaroh. Sedang ruang istirahat wanita diberi nama al-Mibda’iyah. Tak jauh dari ruang istirahat wanita itu, ada jalan menuju menara dekat musholla yang beri nama al-Mintaqomiyah. Selain itu, ada ruang kaca 9 yang diberi nama al-Mikhfadhiyah. Naik ke lantai 3-4 ada jalan Taufik. Sedang jalan yang menuju ke Musholla diberi nama al-Mirqobinnah.
Jalan lorong bawah tanah dengan ruas sekitar ± 1,5 meteran yang ada di lantai dasar, mengitari lorong-lorong yang ada di setiap bangunan di lantai 1-4. Jalan tersebut bermuara ke sebuah bangunan berbentuk kubus dengan ukuran 10 x 10 meter. Namanya Jeding. Yaitu, tempat untuk wudlu para santri dan pengunjung laki-laki. Di atas bangunan itu ada pagar yang mengelilingi sebuah tiang yang dipenuhi oleh marmer kecil-kecil bermotif bunga warna hijau tua dan hijau muda. Sedang di lantai jalan menuju bangunan Jeding itu, terdapat kaca-kaca berukuran kecil yang disusun rapi sehingga berbentuk lantai.
Dari bangunan Jeding itu, pengunjung bisa naik ke lantai 3. Di lantai ini, ada sebuah ruangan yang sering dijadikan sebagai tempat untuk para santri, jama’ah dan pengunjung melakukan shalat berjama’ah. Lantai dan dinding ruangannya dipenuhi marmer yang sengaja didatangkan dari Turki dengan ukuran 1 x 1 meter berwarna putih keabu-abuan. Di atas ruangan itu, ada tanaman pohon kelapa berwarna kuning yang terbuat dari marmer asal Tulungagung. Jika malam hari, lampu pada pohon tersebut menyala. Pemandangannya sangat indah sekali.
Di lantai 4, pengunjung bisa memasuki sebuah ruangan yang sangat luas. Di dinding tembok ruangannya, terdapat ornamen berlafadz Arab yang dicat dengan warna keemasan. Sedang di atas lantai marmer asal Turki berukuran 1,5 x 1,5 meter, terdapat beberapa permadani berwarna hijau tua dengan motif bunga yang berasal dari Timur Tengah. Ada juga yang berwarna merah maron.
“Di ruang inilah Bu Nyai, istri Pimpinan Ponpes ini, biasanya menerima sejumlah tamu, santri dan jama’ah wanita yang ingin sowan. Tapi, karena belakangan ini sudah semakin sibuk, Beliau jarang bisa menerima tamu yang ingin sowan,” ujar Gus Iphoeng.
Mirip Istana
Menyusuri lorong bawah tanah dari pintu masuk bagian selatan Ponpes Bi Ba’a Fadlrah di Sananrejo, Turen, Malang, memang sangat menyenangkan. Meski belum selesai proses pembangunan jalan lorong bawah tanah itu, namun tak urung membuat para pengunjung tetap berdecak kagum ketika melewati tiap tangga yang ada di lorong tersebut.
“Saya tidak bisa membayangkan bagaimana bentuk bangunan pondok ini kalau telah selesai. Wong belum selesai saja sudah sedemikian megahnya. Mirip seperti sebuah istana. Apalagi kalau sudah selesai,” ungkap Agung Mabruri (41), salah seorang pengunjung asal Wates, Kulonprogo, Yogyakarta ketika bertemu di pondok tersebut.
Berbeda halnya dengan Retno Dwi, warga Kesamben Nganjum RT 3 RW 6 Malang. Menyaksikan dari dekat bentuk bangunan pondok, dia merasa seperti sedang melihat suatu keajaiban yang luar biasa.
“Dengan melihat pondok ini, saya jadi berpikir, betapa Maha hebatnya Allah. Buktinya, ya pondok ini. Karena orang yang punya pondok ini dekat dengan Allah, maka beliau pun akhirnya diberi kemampuan menciptakan suatu bentuk bangunan yang bermanfaat dan bisa menjadi contoh yang bisa diandalkan,” kata Retno.
Hal senada juga diungkapkan oleh Elyanto, warga Bandungrejo Bantur, Malang. Ketika ia datang ke pondok, ia merasa sangat terharu atas kebesaran Allah yang dilimpahkan kepada pondok pesantren tersebut. “Saya betul-betul terharu menyaksikan kebesaran Allah lewat bangunan pondok ini. Mudah-mudahan, bangunan ini bisa menjadi jalaran untuk terbukanya pintu hidayah bagi para pengunjung yang datang ke sini,” ujar Elyanto.

PONDOK Pesantren (Ponpes) Salafiyah ‘Asali Fadlaailir Rahmah, (Bi Ba’a Fadlrah) yang berada di Sananrejo, Turen, Malang, sejak didirikan pada 1978 oleh KH Sayyid Ahmad Bahru Mafdoluddin Shaleh Al-Mahbub atau yang bisa disapa santri dengan sebutan Romo Kiai, Pimpinan Ponpes, seringkali difitnah banyak orang. Tapi anehnya, setelah 30 tahun berdiri, Ponpes Bi Ba’a Fadlrah, kini jadi tempat panuwunan (permohonan) banyak orang. Terutama bagi mereka yang punya hajat dalam hidupnya, tapi belum terwujud.
Seperti yang dialami Ny. Budi dari Yogyakarta. Dia mengaku, datang ke pondok karena ingin ‘mengobati’ penyakit yang dialami oleh keponakannya yang baru berusia 26 bulan. “Menurut diagnosis medis, di otak keponakan saya ada rongga, sehingga udara gampang masuk. Akibatnya, keponakan saya itu sering mengalami kejang-kejang. Saya berharap, keponakan saya bisa hidup normal dan selamat seperti anak-anak pada umumnya,” katanya.
Berbeda halnya dengan Ny. Tutik, warga Panggungrejo, Kepanjen, Malang. Dia datang ke pondok dalam kondisi sedang hamil 8 bulan. Lewat santri yang piket di ruang informasi 2, Ny. Tutik menulis pesan untuk minta tolong diaturkan hajatnya kepada Romo Kiai, Pimpinan Ponpes Bi Ba’a Fadlrah.
“Saya nyuwun lancar melahirkan lan dados lare sing shaleh (saya mohon doanya agar proses kelahiran saya bisa berjalan lancar dan anak saya bisa jadi anak yang shaleh),” tulis Ny. Tutik.
Lain halnya dengan ibu Novida Lestari, warga Kepanjen, Malang. Setelah 4 tahun hidup bersama suaminya, dia mengaku belum pernah merasakan ketenangan hidup.
“Sudah 4 tahun lamanya saya hidup serumah dengan suami, tapi dereng nate ngeraosaken tenang (belum pernah merasakan hidup tenang). Baru di tempat inilah (baca: di pondok), saya merasakan betapa nikmatnya bisa hidup tenang,” katanya sembari berharap bisa mendapat barakah keluarga sakinah ma wadah wa rahmah.
Selain itu, tidak sedikit pula para pengunjung yang datang ke pondok Bi Ba’a Fadlrah karena berharap bisa memperoleh jalan keluar dari persoalan yang sedang dihadapinya. Seperti Pak Slamet, warga Kepanjen, Malang dan Pak Anung, warga Gamoingan, Pagak, Malang. Kedua pengunjung ini mengaku, datang ke pondok karena sedang dililit hutang dan usahanya macet.
“Mudah-mudahan, dengan sebab kemurahan Allah dan pertolongan barakah Romo Kiai, resiko yang menjadi hijab sehingga membuat jalan rezeki saya jadi mampet itu, bisa jadi lancar kembali,” ujar Pak Slamet.
Niat Pengunjung
Terkait dengan beragamnya niat dan tujuan para pengunjung yang datang ke pondok, diakui Iphoeng HD Purwanto (32), atau yang akrab disapa Gus Iphoeng, Sekretaris Santri Ponpes Bi Ba’a Fadlrah memang tidak sama. Sebagian besar, katanya, tamu yang datang ke pondok karena memang ingin bisa lepas dari masalah. Jumlah mereka setiap hari selalu bertambah. Terutama sejak awal tahun 2007 lalu.
“Selain itu, ada juga yang ingin sowan ke Romo Kiai dan Bu Nyai. Ada juga yang ingin berobat dan ingin meminta nasihat dari Beliau. Di samping, ada juga yang karena ingin konsultasi dan meminta ditunjukkan jalan keluar dari permasalahan hidup yang sedang mereka hadapi,” imbuh anak pertama dari pasangan bapak Sugito itu.
Menjawab pertanyaan, Gus Iphoeng mengatakan, kalau dulu, tamu yang datang ke Ponpes bisa langsung sowan ke Romo Kiai. Sebab, waktu itu, tamu yang datang jumlahnya masih sedikit. Selain, karena tugas Romo Kiai saat itu memang belum begitu padat seperti sekarang ini.
“Tapi, sejak beberapa tahun belakangan ini, Beliau jarang bisa menerima tamu yang ingin sowan. Sebab, tugas Beliau sudah semakin padat. Oleh karena itu, Beliau kemudian mengamanahkan kepada para santri untuk melayani keperluan para tamu yang ingin sowan pada Beliau,” ujar Gus Iphoeng.
“Biasanya,” lanjut dia, “kalau ada tamu yang ingin menyampaikan keluhan, kita sarankan untuk disampaikan secara tertulis kepada para santri yang sedang piket. Keluhan tersebut nantinya akan disampaikan petugas piket kepada Romo Kiai lewat jalur telephone yang terhubung dari tempat piket ke lantai 4. Yaitu tempat tinggal Beliau.”
Tamunya Pondok
Menurut Gus Iphoeng, setiap hari, ada ribuan orang dari berbagai daerah yang datang ke pondok. “Apalagi kalau hari Sabtu, Ahad dan hari libur nasional, jumlah tamu yang datang bisa mencapai 20-30 ribuan orang,” ujar Gus Iphoeng seraya menyebutkan beberapa nama daerah asal pengunjung.
“Semua itu bisa terjadi,” imbuh santri bujang asal Banguntapan, Bantul, Yogyakarta yang mengaku menetap di pondok pada tahun 2002 lalu itu, “karena adanya kemurahan dari Tuhan Yang Sebenarnya. Dia-lah yang telah menggerakkan orang-orang yang berasal dari berbagai daerah itu untuk datang ke pondok ini.”
Padahal, lanjutnya, kalau mengingat bagaimana kisah perjalanan sejarah ketika Ponpes Bi Ba’a Fadlrah itu didirikan, rasa-rasanya seperti tidak masuk akal. “Betapa tidak. Ketika bangunan inti baru saja selesai digarap, tiba-tiba proses pembangunannya dihentikan oleh Romo Kiai, lantaran banyak orang memfitnah pondok ini telah menyebarkan ajaran sesat,” kata pria yang mengenakan kacamata minus itu.
Setelah 21 tahun kemudian, barulah proses pembangunan pondok yang direncanakan akan dibangun 10 lantai di atas tanah seluas ± 5 Ha tersebut, dilanjutkan kembali hingga sekarang ini. “Yang jelas, bangunan yang sudah ada sekarang ini, baru nol koma sekian persennya saja dari keseluruhan rencana pembangunan pondok,” tukas Gus Iphoeng di sela-sela kesibukkannya menggarap Taman Pondok yang berada di selatan Ponpes.
Imbas Berita Negatif
Ketika di Indonesia sedang marak pemberitaan negatif mengenai ajaran sesat dan aktivitas terorisme yang dihubungkan dengan keberadaan pesantren, Ponpes yang memiliki santri sebanyak 200 orang itu pun, ternyata tak luput dari incaran pihak-pihak yang memang ingin mendiskreditkan umat Islam dan dunia pesantren.
“Pondok ini juga sempat jadi korban dari pemberitaan yang negatif itu. Tapi, karena ‘tuduhan’ itu tak ada buktinya, maka berita-berita negatif itu pun akhirnya hilang dengan sendirinya. Malah hikmahnya besar sekali. Banyak orang yang datang ke mari,” kata Gus Iphoeng.
Bahkan, lanjutnya, yang lebih menghebohkan lagi adalah, peristiwa yang terjadi pada awal 2007 lalu. “Waktu itu, tersebar berita dari mulut ke mulut. Isi beritanya, di Desa Sananrejo, Kecamatan Turen, ada sebuah bangunan megah yang secara tiba-tiba muncul dari dalam tanah,” ujar Gus Iphoeng sambil tersenyum.
“Akibatnya,” lanjut dia, ”masyarakat sekitar Malang Raya ini pun, berduyun-duyun datang ke sini. Mereka ingin menyaksikan dan membuktikan kebenaran informasi yang menyebar dari mulut ke mulut itu.”
Selain itu, tukas Gus Iphoeng, juga ada orang yang menyebarkan informasi, bahwa bangunan Ponpes tempatnya belajar ilmu hikmah itu, proses pembangunannya dikerjakan oleh bangsa Jin, sebagaimana yang terjadi pada masa Nabi Sulaiman as. Benarkah bangunan Ponpes Bi Ba’a Fadlrah itu muncul sendiri dari dalam tanah? Siapa sebetulnya yang telah mengerjakan seluruh bangunan tersebut?
Pembangunan Pondok
BENTUK bangunan Ponpes Bi Ba’a Fadlrah di Sananrejo, memang tidak seperti bangunan Ponpes pada umumnya. Hampir di setiap lokasi bangunan pondok mencerminkan keindahan, kebersihan dan keserasian. Tak ada kesan kumuh barang sedikit pun.
Model bangunannya pun, sangat unik. Sepintas, gaya bangunannya mirip seperti gaya bangunan ala Timur-Tengah. Tapi, jika dicermati lebih teliti lagi, kesan modern dan warna ke-Indonesia-an pada bentuk bangunannya, terasa begitu sangat kental sekali.
Beberapa kubah, misalnya, baik yang berukuran besar maupun kecil, berdiri dengan megah di lantai 1, 5, 6 hingga di lantai 10. Dari jarak kejauhan, bangunan Ponpes itu terkesan seperti sebuah istana yang ada di dalam kisah cerita 1001 malam. Apalagi kalau seluruh lampu yang ada di bangunan itu dinyalakan semua.
“Setiap ada acara-acara besar, semua lampu yang ada di pondok ini dinyalakan. Untuk menyalakan lampu dan seluruh perangkat elektronik yang ada di pondok ini dibutuhkan daya listrik sekitar 21.000 watt. Sedang pada hari-hari biasa, lampu yang menyala hanya di tempat-tempat khusus saja,” kata Gus Iphoeng.
Sebagaimana Pondok Pesantren pada umumnya, Ponpes Bi Ba’a Fadlrah juga dibangun oleh tenaga-tenaga ahli dan menguasai dalam bidangnya masing-masing. Bedanya, jika di Ponpes lain, tenaga ahli yang membangun gedungnya lebih banyak berasal dari luar pondok.
Sedang di Ponpes yang berada di jalan Anggur RT 27/RW 06 Desa Sananrejo, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang itu, yang menggarap proses pembangunan gedungnya adalah para santri yang bermukim di lingkungan pondok itu sendiri.
“Semua yang mengerjakan bangunan ini adalah para santri atas petunjuk dari Romo Kiai. Di sini, santri hanya menjalankan apa yang telah ditugaskan oleh Romo Kiai. Kalau tidak ada dhawuh (perintah) dari Beliau, santri tidak ada yang berani melakukannya,” ujarnya.
“Jadi,” lanjut anak pertama dari lima bersaudara itu, “tidak benar kalau yang mengerjakan pembangunan Ponpes ini adalah bangsa jin. Semua yang mengerjakannya adalah para santri atas petunjuk dari Romo Kiai.”
Jadwal Kerja
Selama berada di lokasi Ponpes itu, penulis sendiri menyaksikan dari dekat bagaimana para santri --- baik bujang maupun yang telah berkeluarga --- yang ada di lingkungan Ponpes, bekerja dengan sungguh-sungguh. Sejak ba’da shalat Subuh, tepatnya pukul 06.00 WIB, semua santri laki-laki telah siap melaksanakan pekerjaan sesuai dengan bidang garapnya masing-masing. Sedang beberapa santri wanita, ada yang telah melakukan aktivitas garapannya sejak pukul 03.00 WIB.
Sebelum mengerjakan garapannya, para santri laki-laki dan wanita mengisi daftar hadir di sebuah whiteboard yang terpasang pada bangunan di sisi sebelah timur. Setelah itu, barulah mereka menuju ke lokasi tempat bekerjanya masing-masing.
Ada yang di lantai dasar hingga lantai 10. Adapun jenis pekerjaan yang mereka garap yaitu: menyapu atau bersih-bersih halaman pondok seluas ± 5 Ha, ngepel lantai yang ada di tiap tingkat dan melakukan pekerjaan dapur.
“Jadwal kerja para santri di pondok ini, semua sudah ditentukan. Pagi mulai jam 06.00 - 11.30 WIB. Selesai shalat Dzuhur, dilanjut lagi hingga Ashar. Setelah itu istirahat hingga selesai shalat Isya. Lalu mulai jam 20.30 – 24.00 WIB lembur lagi. Begitu setiap harinya,” jelas Gus Iphoeng.
Terkait dengan ‘rumor’ yang mengatakan bahwa bangunan Ponpes yang menggunakan fasilitas lift dan dilengkapi dengan kamera CCTV hingga ke lantai 9 itu muncul sendiri secara tiba-tiba dari dalam tanah, ditanggapi Gus Iphoeng dengan tersenyum.
“Apa ya ada pohon kelapa yang muncul tiba-tiba tanpa sebuah proses terlebih dahulu? Wong manusia saja, sebelum lahir dan tumbuh-kembang, harus lewat proses yang panjang terlebih dahulu. Masak bangunan yang sebegini luasnya, ujuk-ujuk (tiba-tiba) muncul dari dalam tanah?” komentarnya sembari tersenyum.
Menjawab pertanyaan, mantan pelatih drama pada salah satu SMU di Yogyakarta itu mengatakan, sebagian besar dana yang dipergunakan untuk keperluan pembangunan pondok tersebut, murni berasal dari swadaya pimpinan pondok. Di samping itu, lanjutnya, ada juga yang berasal dari sumbangan para donatur, santri dan jama’ah yang mempercayakan hartanya kepada pimpinan pondok.
“Selain menyumbang dalam bentuk harta, ada juga yang menyumbang dalam bentuk tenaga dan do’a. Di sini, yang penting ikhlas. Bukan besar-kecilnya sumbangan yang diberikan,” kata Gus Iphoeng.
Bentuk Bangunan
Design bangunan Ponpes Bi Ba’a Fadlrah Malang, memang termasuk salah satu Ponpes paling ‘unik’ dan paling ‘megah’ di Indonesia. Mungkin juga di dunia. Disebut ‘unik’, karena arsitektur bangunannya terbilang sangat rumit dan relatif cukup njelimet. Sedang disebut ‘megah’, karena Ponpes yang didirikan di tengah sebuah perkampungan terpencil di selatan Kabupaten Malang tersebut, bangunannya berdiri kokoh bak sebuah istana.
Di mana, antara bangunan induk dengan bangunan lainnya, saling berhubungan satu sama lainnya. Dan uniknya lagi, tiap-tiap Ponpes akan melanjutkan proses pembangunan gedungnya, konsep pembangunannya justru menyesuaikan dengan postur tanah dan bentuk tanaman yang ada di lingkungan Ponpes.
“Jika ada tanaman yang masih hidup berada di lokasi yang akan dibangun, maka tanaman tersebut tetap akan dipertahankan. Jadi, bangunannya yang akan menyesuaikan dengan kondisi tanah dan tanaman yang ada di sekitarnya,” ujar Gus Iphoeng seraya menunjukkan beberapa lokasi bangunan yang designnya menyesuaikan dengan kondisi tanah dan tanaman yang ada di sekitarnya.
Misalnya di lantai empat sebelah timur. Ada sebuah pohon kelapa yang tetap dibiarkan tumbuh subur di antara bangunan yang telah selesai pengerjaannya. Selain itu, juga ditunjukkan lokasi bangunan bawah tanah yang berada di lantai satu, tempat pintu masuk para pengunjung. Termasuk lokasi tempat makan para tamu yang berada di lantai 2.
“Di sini, keselarasan terhadap lingkungan hidup sangat diperhatikan. Romo Kiai selalu menanamkan kepada para santri untuk mencintai dan menyayangi tumbuh-tumbuhan yang ada di lingkungan pondok ini. Termasuk kepada hewan dan sesama manusia tentunya,” papar Gus Iphoeng.
Selain itu, ada banyak ornamen-ornamen yang terdapat pada bagian dinding bangunan di setiap lantainya. Hampir sebagian besar, relief-relief atau ornamen yang berada di lingkungan pondok tersebut, terdapat lafadz Arabnya.
Uniknya lagi, seluruh model bangunan megah dan ornamen di pondok itu, yang mengerjakannya adalah para santri sendiri dengan hanya menggunakan alat-alat serba sederhana. Misalnya, untuk keperluan melakukan pengecoran di tiap lantai. Alat yang dipergunakan hanya memakai dua buah perangkat mollen. Padahal, area yang akan dicor terbilang cukup luas.
“Kalau di luar, untuk membangun gedung bertingkat lebih dari dua lantai, orang biasanya menggunakan mesin cor dengan teknologi modern. Sedang di sini, alat yang dipakai hanya mollen biasa. Itu pun jumlahnya hanya dua,” tandasnya ketika memandu menyusuri tiap tempat yang ada di lingkungan Ponpes.
Pintu Masuk
Pintu masuk ke dalam pondok itu, juga terbilang cukup unik. Disebut demikian karena jalannya naik-turun dan menyusuri lorong bawah tanah. Setiap lorong jalan yang dilalui, ada namanya.
“Di sini, jalan untuk laki-laki dan wanita terpisah. Begitu juga halnya ruang untuk istirahat. Jadi, meskipun pengunjung yang datang ke sini suami-istri, tapi jalan masuk dan tempat istirahatnya tetap terpisah,” ujar Gus Iphoeng kepada penulis.
Setiap jalan di tiap lantai dalam bangunan Ponpes yang bentuk bangunan dalamnya menyerupai sarang lebah tersebut, ada namanya. Misalnya, jalan masuk untuk tamu laki-laki yang berada di lantai dasar, diberi nama jalan Rohmah Rojul. Jalan ini akan menuju ke ruang istirahat tamu laki-laki yang diberi nama al-Mabqiyah dan al-Mirotsiyah. Di dekat ruang itu, ada jalan melingkar antara lantai 2 dan 3 yang diberi nama jalan Darojah 2-3. Sedang jalan lorong yang akan menuju ke musholla, diberi nama al-Mishbariyah.
Begitu juga halnya dengan jalan khusus untuk wanita. Namanya jalan Ziaroh. Sedang ruang istirahat wanita diberi nama al-Mibda’iyah. Tak jauh dari ruang istirahat wanita itu, ada jalan menuju menara dekat musholla yang beri nama al-Mintaqomiyah. Selain itu, ada ruang kaca 9 yang diberi nama al-Mikhfadhiyah. Naik ke lantai 3-4 ada jalan Taufik. Sedang jalan yang menuju ke Musholla diberi nama al-Mirqobinnah.
Jalan lorong bawah tanah dengan ruas sekitar ± 1,5 meteran yang ada di lantai dasar, mengitari lorong-lorong yang ada di setiap bangunan di lantai 1-4. Jalan tersebut bermuara ke sebuah bangunan berbentuk kubus dengan ukuran 10 x 10 meter. Namanya Jeding. Yaitu, tempat untuk wudlu para santri dan pengunjung laki-laki. Di atas bangunan itu ada pagar yang mengelilingi sebuah tiang yang dipenuhi oleh marmer kecil-kecil bermotif bunga warna hijau tua dan hijau muda. Sedang di lantai jalan menuju bangunan Jeding itu, terdapat kaca-kaca berukuran kecil yang disusun rapi sehingga berbentuk lantai.
Dari bangunan Jeding itu, pengunjung bisa naik ke lantai 3. Di lantai ini, ada sebuah ruangan yang sering dijadikan sebagai tempat untuk para santri, jama’ah dan pengunjung melakukan shalat berjama’ah. Lantai dan dinding ruangannya dipenuhi marmer yang sengaja didatangkan dari Turki dengan ukuran 1 x 1 meter berwarna putih keabu-abuan. Di atas ruangan itu, ada tanaman pohon kelapa berwarna kuning yang terbuat dari marmer asal Tulungagung. Jika malam hari, lampu pada pohon tersebut menyala. Pemandangannya sangat indah sekali.
Di lantai 4, pengunjung bisa memasuki sebuah ruangan yang sangat luas. Di dinding tembok ruangannya, terdapat ornamen berlafadz Arab yang dicat dengan warna keemasan. Sedang di atas lantai marmer asal Turki berukuran 1,5 x 1,5 meter, terdapat beberapa permadani berwarna hijau tua dengan motif bunga yang berasal dari Timur Tengah. Ada juga yang berwarna merah maron.
“Di ruang inilah Bu Nyai, istri Pimpinan Ponpes ini, biasanya menerima sejumlah tamu, santri dan jama’ah wanita yang ingin sowan. Tapi, karena belakangan ini sudah semakin sibuk, Beliau jarang bisa menerima tamu yang ingin sowan,” ujar Gus Iphoeng.
Mirip Istana
Menyusuri lorong bawah tanah dari pintu masuk bagian selatan Ponpes Bi Ba’a Fadlrah di Sananrejo, Turen, Malang, memang sangat menyenangkan. Meski belum selesai proses pembangunan jalan lorong bawah tanah itu, namun tak urung membuat para pengunjung tetap berdecak kagum ketika melewati tiap tangga yang ada di lorong tersebut.
“Saya tidak bisa membayangkan bagaimana bentuk bangunan pondok ini kalau telah selesai. Wong belum selesai saja sudah sedemikian megahnya. Mirip seperti sebuah istana. Apalagi kalau sudah selesai,” ungkap Agung Mabruri (41), salah seorang pengunjung asal Wates, Kulonprogo, Yogyakarta ketika bertemu di pondok tersebut.
Berbeda halnya dengan Retno Dwi, warga Kesamben Nganjum RT 3 RW 6 Malang. Menyaksikan dari dekat bentuk bangunan pondok, dia merasa seperti sedang melihat suatu keajaiban yang luar biasa.
“Dengan melihat pondok ini, saya jadi berpikir, betapa Maha hebatnya Allah. Buktinya, ya pondok ini. Karena orang yang punya pondok ini dekat dengan Allah, maka beliau pun akhirnya diberi kemampuan menciptakan suatu bentuk bangunan yang bermanfaat dan bisa menjadi contoh yang bisa diandalkan,” kata Retno.
Hal senada juga diungkapkan oleh Elyanto, warga Bandungrejo Bantur, Malang. Ketika ia datang ke pondok, ia merasa sangat terharu atas kebesaran Allah yang dilimpahkan kepada pondok pesantren tersebut. “Saya betul-betul terharu menyaksikan kebesaran Allah lewat bangunan pondok ini. Mudah-mudahan, bangunan ini bisa menjadi jalaran untuk terbukanya pintu hidayah bagi para pengunjung yang datang ke sini,” ujar Elyanto. [firman rudiansyah]

1 komentar:

Unknown mengatakan...

seluruh aktivitas yang dikerjakan di pondok hanya satu tujuannya: gawe bungahe liyan ( membuat senang dan bahagia orang lain ) . caranya dengan membersihkan hati para tamu / pengunjung pondok. harapannya - muncul rasa dekat dan cinta kepada Allah. wujudnya rasa kasih sayang kepada sesama makhluk.
membersihkan sesuatu selalu ada kotorannya dan harus dibuang ketempat sampah - demikian juga membersihkan hati. atas keadilan Allah kotoran hati ditempatkan pada orang orang yang tidak senang kepada pondok. kalau kita benci kepada A kejelekan A kita ambil, sebaliknya kebaikan kita ditarik ke A. begitu hukumnya. oleh karena semakin di pondok dilakukan pembersihan hati semakin gencar dan intens cercaan dan fitnah yang timbul. Romo Kyai tidak pernah marah untuk urusan ini. santri dan jamaah diminta untuk mendoakan sapai tuntas. Beliau mencari jalan keluarnya - apakah membangun - melakukan finishing atau mengadakan sesuatu. begitu yang diajarkan di pondok. itu salah satu wujud dari akhlak yang terpuji.
pondok sudah kenyang denganissues, rumors dan fitnah sudah sangat banyak. semoga limpahan taufik, hidayah, ridho, inayah dan mahabah serta kemanjaan Allah yang tidak berhenti maupun terputus selalu dapat diterima oleh semua makhluk termasuk yang tidak senang kepada pondok. Amin Ya Robbal Alamin