Sabtu, 26 Juli 2008

Belajar Hikmah Dari Kasus Pembunuhan Berantai

BELUM lama ini, kita dikejutkan dengan berita tentang mutilasi. Yaitu aksi pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang dengan cara memotong tiap-tiap bagian anggota tubuh manusia menjadi beberapa bagian. Tujuannya tidak lain adalah untuk menghilangkan jejak agar tidak diketahui siapa si pelakunya.
Celakanya lagi, menurut informasi yang disampaikan oleh media massa, ternyata, kasus tersebut ada hubungannya dengan kasus-kasus serupa yang pernah terjadi sebelumnya di beberapa daerah. Motif dan si pelakunya pun, ternyata sama.
Informasi yang beredar itu seolah-olah ingin menggambarkan pada kita, bahwa si pelaku mutilasi memang cukup profesional. Buktinya, dia bisa lolos dari jerat hukum. Sekiranya dia tidak profesional, tentu tidak akan mungkin ada korban lagi. Nyatanya, si pelaku berhasil merenggut korban lagi. Dan jumlahnya, ternyata, lebih dari satu orang. Itu berarti, si pelaku benar-benar cukup mahir dalam melakukan aksinya.
”Masya Allah, alangkah kejamnya si pelaku. Apa dia tidak punya perasaan, sehingga begitu teganya memotong-motong anggota tubuh korban yang telah dibantainya itu?” demikian komentar banyak orang ketika mendengar dan membaca berita kasus mutilasi yang telah diungkap oleh jajaran kepolisian tersebut.
Ya, begitulah fakta hukum yang ada di hadapan kita. Pertanyaannya sekarang ialah, apa hikmah yang dapat kita petik dari kasus yang telah membuat seluruh penghuni negeri ini menjadi heboh? Paling tidak, ada lima hal penting yang perlu kita renungkan dan segera kita tobati bersama. Yaitu:
Pertama, ada apa pada diri kita sehingga Allah membiarkan peristiwa mutilasi dan pembunuhan berantai itu sampai terjadi di negeri ini? Kedua, ada pesan ilahi apa yang ingin disampaikan oleh Allah dari terungkapnya kasus mutilasi dan pembunuhan berantai itu untuk segera kita tobati? Ketiga, apakah lewat kejadian itu Allah bermaksud ingin menunjukkan tentang bagaimana watak asli dari nafsu kita?
Keempat, apakah melalui peristiwa itu Allah bermaksud ingin menunjukkan tentang di mana letak kesalahan kita dalam mengarungi kehidupan di muka bumi ini? Atau kelima, lewat kasus itu, Allah bermaksud ingin menegur kita, lantaran kita selama ini cukup sering melakukan hal yang sama, tapi dalam wujud yang berbeda?
Mari kita temukan jawabannya pada diri kita masing-masing. Apakah selama ini kita masih cukup akrab dengan perilaku suka memfitnah, mengadu-domba dan mengambil paksa hak makhluk lain? Jika ia, maka apa bedanya kita dengan si pelaku mutilasi tersebut? Wallaahu a’lam bishshawwaab. (Firman)

Tidak ada komentar: