Sabtu, 26 Juli 2008

Shalawat Sarana Untuk Pembuka Hijab

Membaca shalawat merupakan sebuah do’a untuk Rasulullah saw. Mendo’akan beliau saw sudah barang tentu tidaklah sama dengan mendo’akan manusia pada umumnya. Sebab, yang kita do’akan itu adalah manusia yang termulia di antara seluruh makhluk Allah. Beliau saw adalah kekasih Allah, yang jika dia murka, maka Allah pun akan murka. Dan jika beliau ridha, maka Allah pun akan ridha.
Lebih dari pada itu, di pintu ’Arsy, telah tertulis namanya di samping nama Allah. Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa semua buraq (yakni kendaraan khusus bagi para nabi dan rasul) telah ditatto dengan nama Nabi Muhammad saw pada keningnya. Pemegang kunci surga pun adalah beliau saw. Pada tataran ini, sejatinya, manusia yang kita do’akan itu adalah manusia termulia dari seluruh makhluk yang ada di dunia ini sejak awal manusia diciptakan hingga akhir kehidupan nanti. Oleh karena itu, bagaimana mungkin kita diperintahkan untuk mendo’akan (baca: membaca shalawat) beliau?
Di sinilah letak perbedaannya dengan do’a yang kita panjatkan untuk manusia atau makhluk lain pada umumnya. Jika kita membaca shalawat untuk Rasulullah saw, maka pada dasarnya, kita bukan mendo’akan beliau. Tetapi memohon kemurahan Allah, agar dengan shalawat kita itu, kita bisa belajar menjadi orang yang cinta kepada beliau dan Allah pun berkenan mengizinkan kekasihNya itu untuk memberikan syafa’atnya kelak di kemudian hari.
Di samping itu, shalawat merupakan pembuka hijab yang menyelimuti amal dan doa kita kepada Allah. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Rasulullah saw, bahwa ”tiada do’a melainkan pasti di antara do’a itu dan langit, terdapat hijab (tabir penghalang), hingga jika dibacakan shalawat untukku, maka terbukalah hijab tersebut dan masuklah do’a seseorang itu. Sekiranya tidak membaca shalawat, maka do’a itu akan kembali” (Hadis dari Anas bin malik ra).
Peran shalawat sebagai pembuka hijab yang menyekat antara do’a dan langit itu, menyebabkan setiap orang senantiasa membaca shalawat sebelum dan sesudah menghaturkan do’anya. Akan tetapi, sebagai seorang hamba yang melakukan sesuatu atas dasar cinta, sudah barang tentu, kita tidak perlu berpikir soal keinginan itu akan terkabul ataukah tidak. Sebab, shalawat yang kita sampaikan itu bukanlah untuk pamrih agar keinginan-keinginannya (baca: do’a) menjadi terkabul. Melainkan karena cinta dan kerinduan kita kepada Rasulullah saw. (Firman)

Tidak ada komentar: