Rabu, 25 Maret 2009

[2] 'Orang Pintar' pun Diburu Caleg


SUATU ketika, wan Ali, guru hikmah di Ponpes Daarul Qalbu, diundang oleh salah satu orsospol peserta Pemilu. Dia diminta untuk mengisi materi tentang fungsi agama dalam dunia politik pada acara pembekalan para calon anggota legislatif. Pesertanya tentu saja adalah para bakal calon anggota dewan, baik untuk tingkat satu, tingkat dua maupun tingkat pusat.
Dengan mengenakan pakaian ala santri, wan Ali mengajak para bakal calon anggota dewan yang hadir di aula pembekalan saat itu untuk bangun kesyukuran. ”Bersyukur itu penting. Apalagi sebagai bakal calon anggota dewan. Mumpung belum jadi anggota dewan. Sebab, jika sampeyan sudah jadi anggota dewan, mungkin sampeyan sudah tidak punya waktu lagi untuk bisa bersyukur,” ujar wan Ali.
Selain itu, wan Ali juga bercerita tentang ’perilaku aneh’ yang diperlihatkan oleh para bakal calon anggota dewan. ”Saya itu tidak habis pikir menyaksikan ulah para bakal calon anggota legislatif di kampung saya,” wan Ali memulai ceritanya.
”Kalau dilihat dari latar belakang pendidikannya,” imbuh wan Ali, ”rata-rata mereka itu adalah lulusan S1-S2. Bahkan ada yang lulusan S3. Tapi, dalam kaitannya dengan proses pencalonan dirinya menjadi caleg, mereka kok malah meguru pada ’orang pintar’. Padahal, orang yang mengaku sebagai ’orang pintar’ itu, aslinya tidak pernah makan sekolahan. Anehnya lagi, disuruh apa saja oleh ’orang pintar’ itu, mereka kok ya manut. Dalam hati saya bertanya-tanya, jan-jane, yang pintar itu siapa gitu loh?”
***
”Aneh ya manusia itu? Dikaruniai akal pikiran, tapi tidak mau dimanfaatkan dengan baik. Punya cita-cita pingin jadi anggota dewan, tapi tidak mau berusaha untuk mewujudkan cita-citanya itu dengan cara-cara yang fair. Wong waktunya untuk menyiapkan perangkat kampanye, eh ... malah sibuk mencari dukungan politik kesana-kemari dari ’orang-orang pintar’,” kata wan Ali santai sambil melempar senyum khasnya.
Pada kesempatan itu, wan Ali mengingatkan para bakal calon anggota dewan yang mengikuti pembekalan saat itu untuk tidak ’tergoda’ oleh bujuk-rayu hawa nafsu yang ingin meraih kemenangan dengan cara-cara yang tidak fair. “Gusti Allah memberi kita hawa nafsu itu bukan untuk kita ikuti. Tetapi, malah sebaliknya, untuk kita lemahkan. Lewat nafsu itulah, kita bisa belajar untuk tidak ’gila’ pada kekuasaan,” tukas wan Ali.
”Silahkan sampeyan bermain politik, tapi ingat, jangan sampai sampeyan lupa diri. Politik itu adalah alat untuk kita bisa belajar praktik melaksanakan amanah dari rakyat. Jangan gara-gara ingin sukses di dunia politik, iman-Islam sampeyan malah jadi bubrah. Itu konyol namanya,” tandas wan Ali. (Firman)

Tidak ada komentar: