Rabu, 25 Maret 2009

Demam Kekuasaan


KANG Somad, calon tetap anggota legislatif dengan nomor urut lima dari partai berlambang angin puting beliung, mengundang wan Ali untuk menjadi pembicara dalam sebuah pengajian di kampung tetangga. Acara tersebut digelar oleh tim suksesnya dalam rangka untuk mohon doa restu dan dukungan dari warga, sehubungan dengan akan majunya Kang Somad jadi anggota dewan di tingkat dua.
Sebelum acara dimulai, Kang Bejo, asisten pribadinya Kang Somad, membisikkan sebuah permintaan kepada wan Ali. ”Wan Ali, nanti ketika mengisi pengajian, kalau bisa, tolong jangan lupa sampeyan mempromosikan Kang Somad ya? Syukur jika sampeyan berkenan mengarahkan para audience agar memilih Kang Somad dalam pemilu mendatang,” ujar Kang Bejo.
Untuk beberapa saat, wan Ali sempat terperanjat. Tadinya dia ingin mengomentari permintaan Kang Bejo, tapi niat itu dia urungkan. Sejurus kemudian, wan Ali hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tidak jelas apa maksudnya.
***
”MANUSIA itu sukanya berkeluh kesah. Mulai terbitnya matahari hingga tenggelamnya, manusia tak pernah luput dari keluh kesah. Diberi nikmat yang berlimpah, mengeluh. Nikmatnya ditunda, ya tetap mengeluh. Tidak diberi nikmat apalagi,” kata wan Ali.
Kalau setiap satuan waktu dalam kehidupan manusia selalu diisi dan diwarnai dengan keluh kesah, lanjut wan Ali, maka punya rumah yang mewah, harta yang berlimpah dan punya jabatan setinggi langit sekalipun, tak akan bisa membuat manusia menjadi senang. ”Bagaimana mungkin bisa senang, kalau setiap satuan waktu isinya hanya untuk mengeluh?” ujar wan Ali.
Buntut dari penyakit suka mengeluh itu, imbuhnya, manusia pun akhirnya gampang menjadi stress dan depresi. Kecemasan, ketakutan dan kekhawatiran akan menjadi lahan yang subur untuk tumbuhnya bibit prasangka buruk dan haus kekuasaan.
”Jika manusia sudah ’dikuasai’ oleh bibit penyakit hati suka berprasangka buruk dan haus akan kekuasaan, maka tak ada tempat lagi bagi manusia untuk bisa hidup saling menghargai, saling menghormati dan saling berbagi satu sama lain. Yang ada hanyalah bagaimana caranya agar kekuasaan dan derajat yang ada saat itu bisa dipertahankan,” tukas wan Ali.”Ujung dari penyakit hati tersebut,” lanjut dia, ”manusia pun menjadi tidak kenal lagi dengan yang namanya syari’at. Benar-salah dan halal-haram tidak penting. Sebab, segala cara akhirnya menjadi halal untuk dilakukan. Tujuannya tidak lain adalah untuk memperebutkan kekuasaan dan mempertahankan derajat agar tidak jatuh.” (Firman)

Tidak ada komentar: