Rabu, 25 Maret 2009

Milih (Politik) Milih?


[ 20 ]
Milih Sing Paling Bener

SEKELOMPOK petinggi kampung beserta beberapa warga datang menemui wan Ali di padepokan hikmahnya. Mereka mau meminta fatwa dari wan Ali terkait dengan masalah pemilu tahun ini. Terutama tentang partai apa dan siapa caleg yang sebaiknya harus mereka pilih.
Sebab, mereka bingung dalam menentukan pilihan. Apalagi faktanya, jumlah parpol dan jumlah calegnya banyak sekali. Tak heran jika kemudian masyarakat banyak yang bingung. Mana teknis pemilihannya lain daripada yang lain. Yaitu dicontreng.
”Bagaimana saenya menurut sampeyan, wan Ali? Apa yang sebaiknya dipilih atau dicontreng oleh warga?” tanya wan Syamsul setelah menjelaskan tentang maksud kedatangan mereka sore itu.
”Wah, kalau soal apa yang harus dipilih, ya terserah sampeyan sedaya. Wong pemilu itu sifatnya langsung, bebas dan rahasia. Jadi, tak ada satu pun orang yang boleh mencampuri dan memaksakan kehendaknya kepada para pemilih,” jawab wan Ali seraya mempersilahkan para tamunya untuk menyantap kue yang telah dihidangkan di meja tamu.
“Tapi, jika sampeyan meminta pendapat saya tentang bagaimana caranya untuk memilih, maka menurut pendapat saya, pilihlah yang paling bener. Ukurannya, silahkan tanyakan pada hati kecil sampeyan sendiri. Tapi ingat, mboten pareng rumongso bener dewe. Ciri-cirine, saged nrimo pendapat tiyang sanes,” lanjut wan Ali.
Pada dasarnya, sambung wan Ali, semua peserta pemilu dan para calegnya itu, punya keistimewaannya masing-masing. Persoalannya kembali ke pribadi kita masing-masing. Apakah kita mengenalinya atau tidak? ”Pedomannya, lihat bagaimana akhlaknya ketika melakukan kampanye terbuka. Apakah caleg tersebut suka mengadili perjalanan orang lain atau tidak? Tapi menilainya dengan hati, jangan pakai emosi,” kata wan Ali.
”Yang jelas,” tandas wan Ali, ”apa saja yang sampeyan pilih dalam pemilu kali ini, pasti akan ada pelajarannya masing-masing. Apa pelajarannya? Ya kita tunggu saja perkembangannya setelah pemilu usai nanti.” (Firman)


[ 21 ]
Kena Penyakit Rumongso

SEJAK kampanye terbuka digelar, banyak warga yang datang ke pondok hikmah milik wan Ali. Selain meminta fatwa tentang persoalan politik, mereka juga terkadang ikut dalam pengajian rutin setiap ba’da salat Isya.
Adapun materi yang dikupas tentu saja adalah tentang babagan penyakit hati. Sedang pembicaranya, selain wan Ali, juga terkadang mendatangkan para pembicara dari luar padepokan. Terutama kalau wan Ali sedang berhalangan hadir karena ada acara lain di luar padepokan.
”Saudaraku, hati-hati. Sekarang ini sedang beredar sebuah virus penyakit hati yang sangat berbahaya bagi masyarakat kita. Yaitu virus penyakit hati rumongso bisa (merasa bisa). Virus ini, meski tidak nampak, tapi bisa dirasakan kehadirannya dalam diri kita masing-masing,” ujar wan Ali.
”Mengapa kita perlu hati-hati terhadap virus penyakit hati rumongso bisa tersebut? Karena, kalau virus itu telah berhasil menguasai isi hati dan pikiran manusia, maka tak ada manusia yang bisa selamat. Sebab, sistem kerja virus itu dalam mempengaruhi manusia, terbilang super halus,” imbuh wan Ali.
Dari berbagai pengalaman yang pernah dilalui oleh para pejalan rohani, lanjut wan Ali, hampir sebagian besar orang yang telah dikuasai virus itu mengaku, tak bisa berbuat banyak. ”Meskipun para korban itu mengetahui secara teori tentang bagaimana efek negatif dari virus tersebut, tapi mereka mengaku tak mampu untuk melawannya. Jangankan untuk melawan, sekedar menahan geraknya saja agar tidak muncul, banyak yang mengaku kewalahan,” ungkap wan Ali.
”Maka itu,” tukasnya, ”untuk menghadapi pemilu kali ini, kita perlu waspada. Terutama bagi caleg dan para jurkamnya. Sebab, sekarang ini, virus rumongso bisa itu sedang mengincar para caleg dan jurkamnya. Mereka menjadi sasaran, karena mereka merupakan lahan yang empuk bagi peluang virus tersebut untuk bisa tumbuh kembang.”
”Yang jelas, virus tersebut saat ini sedang berusaha memompakan pengaruhnya kepada para caleg dan jurkamnya lewat janji-janji kosong dan trik bagi-bagi uang. Tentu saja, yang menjalani lakon itu tidak akan sadar kalau dirinya sedang diprovokasi oleh virus rumongso bisa,” tandas wan Ali. (Firman)

[ 22 ]
Kebanjiran Tamu

WAN Ali kebanjiran tamu. Apalagi menjelang pemilu tahun ini. Setiap hari, mulai ba’da salat Subuh sampai larut malam, tamu yang datang ke padepokan hikmahnya, silih berganti. Saking banyaknya tamu yang datang, sampai-sampai wan Ali tak bisa beranjak dari tempat duduknya.
Bahkan, menurut wan Sofian, sekretaris pribadinya, untuk keperluan mengimami salat jama’ah di padepokannya, wan Ali hanya punya waktu sedikit sekali. ”Beliau terkadang tidak sempat makan dan tak sempat berkumpul dengan keluarganya. Hal itu beliau lakukan, karena beliau tidak ingin membuat para tamunya terlalu lama menunggu. Karena itu, selesai ngimami salat jama’ah, beliau langsung menemui para tamunya,” ujar wan Sofian.
Maklum, sebagai salah satu guru hikmah yang dikenal selalu bersikap netral kepada siapapun, tak heran jika wan Ali sering dijadikan sebagai tempat jujugan orang-orang yang sedang dalam masalah. Baik untuk keperluan musyawarah atau untuk keperluan meminta fatwa. Begitulah resiko jadi guru hikmah. Harus selalu siap melayani umat tanpa pilih kasih dan tanpa membeda-bedakan.
Terkait dengan tamu yang selalu datang silih berganti itulah, wan Ali sering jadi sorotan anggota keluarga. Mereka setengahnya protes, karena merasa tidak diperhatikan. ”Kenapa Aba sekarang ndak pernah kumpul lagi dengan keluarga? Memangnya Aba sekarang sudah tidak sayang lagi ya dengan keluarga?” tanya cik Nikmah, putri sulung wan Ali.
”Bukan begitu, Nak. Aslinya, Aba pingin sekali bisa kumpul dengan keluarga seperti dulu. Tapi, Aba tidak punya kuasa apa-apa. Aba mohon maaf dan mohon pengertian kalian. Insya Allah, kalau masanya sudah berakhir, kita pasti bisa kumpul lagi seperti dulu,” kata wan Ali sembari meneteskan air mata.
”Nak, ketahuilah, sekiranya Aba bisa menghentikan keinginan para tamu itu untuk datang ke tempat kita ini, insya Allah akan Aba lakukan. Tapi, ternyata, Aba tidak bisa. Karena yang menggerakkan para tamu itu adalah Allah, dan Aba sendiri dalam kekuasaannya Allah, maka Aba mohon permakluman dari kalian. Aba yakin, dibalik peristiwa ini, pasti ada hikmahnya untuk kita. Ya doakan aja agar kita tetap bisa nyatu meski jarang ketemu,” tukas wan Ali. (Firman)

[ 23 ]
Belajar Menentukan Pilihan

JAUH-JAUH hari, wan Ali sudah mengingatkan teman-temannya. Termasuk keluarga, sahabat dan para jama’ah pengajiannya. ”Hidup itu pada akhirnya harus memilih. Memilih sesuatu yang terbaik di antara yang baik. Terlepas apakah kita suka atau tidak suka. Sebab, begitulah konsekuensi hidup,” ujar wan Ali.
”Maaf, wan Ali, mumpung ingat, saya mau tanya. Bagaimana caranya agar pilihan yang akan kita pilih itu, tidak membuat kita jadi celaka?” kata wan Abu.
”Pertanyaan brillian,” jawab wan Ali. “Tapi, maaf, mungkin jawaban saya ini kurang pas. Sebab, jujur saja, saya tidak tahu harus menjawab apa. Pasalnya, sampai dengan saat ini, saya sendiri masih terus belajar menemukan jawaban yang tepat dari pertanyan wan Abu tadi.”
Diakui wan Ali, bahwa dirinya sendiri, terkadang selalu bertanya-tanya tentang persoalan yang sama. Bahkan, kata wan Ali, dalam posisi ketika dia telah membuat sebuah pilihan atau keputusan sekalipun, dia mengaku masih sering diterpa rasa ragu.
”Sehubungan dengan pertanyaan wan Abu tadi, saya jadi ingat pesan dari guru saya dulu. Menurut beliau, sebelum kita mengambil sebuah keputusan, sebaiknya kita harus punya prinsip terlebih dahulu. Prinsip itulah yang kelak akan menjadi pedomannya atau pathokan. Seperti halnya sebuah kompas, yang dijadikan pedomannya adalah utara. Kalau ndak mau manut, ya bisa kesasar,” ujar wan Ali mengutip dhawuh gurunya.
Karena itu, lanjutnya, dalam mengambil keputusan, wan Ali mengaku, yang dijadikan sebagai pedomannya adalah, milih yang paling bener. Tapi tidak boleh merasa benar.
”Kalau yang selama ini saya lakukan, sebelum memilih, saya biasanya berusaha belajar memfungsikan rasa yang ada di dalam hati kecil saya. Jika hati kecil saya merasa ringan, tenang dan santai, misalnya, maka biasanya hati saya langsung menuntun akal saya untuk memilih apa yang sebaiknya harus saya pilih. Insya Allah, itulah yang terbaik. Tapi, sampeyan tidak harus seperti saya. Silahkan tanya pada hati kecil sampeyan sendiri,” tandas wan Ali. (Firman)

[ 24 ]
Belajar Dari Pemilu

”ASLINYA, dalam pemilu, yang namanya jadi pemilih itu, sebetulnya merupakan jabatan terhormat. Pasalnya kenapa? Karena, hanya pemilih yang bisa dan punya hak untuk memilih siapa saja yang dia sukai. Sedang yang dipilih, biasanya, hanya bisa memilih untuk dirinya sendiri. Tidak mungkin orang yang akan dipilih itu, memilih orang lain. Lebih-lebih memilih rival politiknya,” kata wan Ali ketika menyampaikan orasi politiknya di hadapan para jama’ah tetapnya setelah salat Isya’.
”Karena itu,” ujar bapak dua anak tersebut, ”suara sampeyan sedaya sangat menentukan. Tanpa suara sampeyan sedaya, tak akan ada orang yang bisa duduk di parlemen. Dan, tentu saja, tak akan ada pula partai politik yang bisa memperoleh suara terbanyak di parlemen.”
”Oleh sebab itulah,” imbuh wan Ali, ”saya mengajak sampeyan sedaya untuk menunaikan hak pilih sampeyan pada saat pemilu mendatang. Sebab, di tangan sampeyanlah nasib dan masa depan demokrasi negeri ini akan ditentukan. Jika sampeyan memilih golput (tidak mau memilih), ya itu hak sampeyan. Yang penting, jangan menghalangi dan mempengaruhi orang yang ingin memilih. Dan jangan pula mengadili orang yang tidak mau memilih pas pencoblosan nanti.”
“Mari, lewat pemilu tahun ini, kita mencoba bareng-bareng belajar untuk saling menghormati dan saling menghargai pilihan yang diambil oleh orang lain. Karena, di situlah letak intinya dari demokrasi. Tanpa adanya penghormatan dan saling menghargai satu sama lain, apalah artinya berdemokrasi. Termasuk pilihan untuk tidak mau memilih,” kata wan Ali.
”Tanya wan Ali. Bagaimana kalau, misalnya, ada caleg yang datang memberi uang pada masyarakat, apakah uangnya kita tolak atau kita terima? Terus, apakah suara kita diberikan kepada orang yang memberi uang tersebut?” ujar wan Dirja.
“Wah, kalau soal seperti itu, saya serahkan pada sampeyan sedaya. Saya tidak punya hak untuk mengarahkan. Yang jelas, jika kita mengacu pada undang-undang pemilu, jelas bahwa melakukan money politic itu adalah perbuatan yang tidak diperbolehkan,” tandas wan Ali. (Firman)

[ 25 ]
Belajar Berjiwa Besar

PROSES pemilihan legislatif akhirnya selesai dilakukan. Kini, semua partai politik peserta pemilu, sport jantung. Terutama para calon legislatif alias calon wakil rakyat. Degub jantung para caleg dan parpol pun akhirnya berdetak kencang. Mirip seperti suara derap kaki kuda ketika berada di arena pacuan. Dag-dig-dug, dag-dig-dug.
”Wah, suhu politik di tempat kita makin memanas, ya wan Ali?” ujar wan Thalib, membuka pembicaraan di padepokan hikmah milik wan Ali.
”Ooo ... ya to? Maaf, saya kurang begitu memperhatikan. Memangnya kenapa kok sampai memanas, wan Thalib?” sahut wan Ali seraya menyodorkan segelas kopi hangat.
”Ya, karena sebentar lagi, proses penentuan siapa saja yang bakal menjadi wakil rakyat di parlemen akan dilakukan. Semua caleg yang saya temui mengaku, setelah proses pencontrengan berakhir, jantung mereka jadi deg-degan terus. Tensi darah pun gampang sekali naik. Termasuk saya,” kata wan Thalib.
”Ooo ... begitu. Terus sampeyan sendiri bagaimana?” selidik wan Ali.
”Ya ... tinggal menunggu waktu. Kalau perolehan suaranya memadai, berarti saya harus siap-siap untuk dilantik jadi anggota dewan. Jika sebaliknya, ya mau bagaimana lagi? Toh ... saya ikhtiar,” jawab wan Thalib.
”Ya ... disyukuri saja, wan Thalib. Menang-kalah dalam sebuah kompetisi itu, biasa. Jangan takut jika ditakdirkan kalah, dan jangan rumongso hebat jika ternyata bisa lolos jadi anggota dewan. Toh semua itu adalah sebuah proses dalam kita belajar memanggul amanah dan mengenal hakikat kekuasaan,” komentar wan Ali.
”Kalau selama kampanye terbuka kemarin itu, semua caleg sudah berusaha tampil maksimal, maka sekarang adalah waktu yang tepat bagi para caleg untuk belajar mengukur seberapa kuat ia bisa mengendalikan emosinya. Inilah momentum yang pas untuk belajar berjiwa besar,” tandas wan Ali.
“Ndak perlu berkecil hati, jika suara yang sampeyan peroleh tidak cukup untuk dipakai sebagai kendaraan bagi sampeyan duduk di parlemen. Wong tanpa duduk di kursi dewan pun, aslinya, sampeyan masih tetap bisa mengabdi dan beribadah dengan tenang. Ya to?” kata wan Ali. (Firman)

[ 26 ]
Menghitung Kekuatan Emosi

”KALAH menang itu biasa. Ya, begitulah konsekuensi sebuah pertarungan dalam kehidupan. Tidak perlu digetuni jika kalah, dan tak perlu semangkean lantaran bisa memenangkan sebuah pertarungan,” ujar wan Ali ketika memberi siraman rohani kepada para pendukung parpol dan para caleg, beberapa saat sebelum penghitungan suara dimulai.
Suasana di Tempat Pemungutan Suara (TPS) memang terlihat tegang. Apalagi para pendukung parpol, para pemilih dan para caleg, setelah mencontreng tidak langsung pulang. Mereka masih berkumpul di balai desa. Maklumlah, mereka mungkin ingin menjadi saksi bagi proses perjalanan demokrasi di negeri ini.
Meski suasananya saat itu tidak begitu mencekam, tapi situasi tersebut, sewaktu-waktu bisa berubah. Apalagi banyak orang-orang yang berteriak sembari mengeluarkan kata-kata yang kurang sedap. Baik itu berupa cacian dan olokan yang ditujukan kepada para petugas yang menghitung suara.
”Wah, situasi seperti ini, jika dibiarkan berlarut-larut, bisa berpotensi bakal terjadinya konflik antar pendukung parpol atau caleg. Pripun saene, wan Ali?” tanya wan Juned dengan mimik wajah sedikit cemas.
”Lho ... memangnya ada apa? Bukankah di sekeliling kita sudah banyak para petugas Kepolisian dan TNI? Kenapa sampeyan jadi cemas, wan Juned? Toh, kalau nanti ada apa-apa, saya yakin, para petugas dari Kepolisian dan TNI sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Jadi, santai saja, wan Juned. Kita nikmati saja. Ya, hitung-hitung, kita bisa belajar untuk mengetahui seberapa besar kita mampu mengendalikan dan menahan emosi kita masing-masing,” tukas wan Ali.
”Tapi, kalau misalnya sampeyan merasa tidak kuat netral, ya silahkan ngalih. Jangan berada di kawasan ini, supaya sampeyan tidak main hati. Sebaliknya, jika sampeyan bisa netral, ya kesempatan bagi sampeyan untuk belajar mendoakan semua makhluk yang ada di kawasan ini agar selamat iman-Islamnya dan terhindar dari marabahaya akibat tidak bisa mengendalikan emosinya,” nasihat wan Ali seraya mengajak wan Juned mencari posisi untuk duduk. (Firman)

[ 27 ]
Motif Dibalik Kemenangan

“TAK ada yang gratis dalam hidup ini. Semua ada harganya. Kalau memang mau menang dan mau memperoleh suara terbanyak, gampang. Semua bisa diatur. Yang penting, asal uba rampainya dipenuhi, ditanggung beres,” ujar wan Munib dengan suara lantang saat bertemu dengan salah satu caleg, sehari sebelum proses pencontrengan dilakukan.
Menurut rumor yang beredar di masyarakat, jika wan Munib berhasil menghimpun suara untuk keperluan memuluskan jalan bagi sang caleg agar bisa duduk di kursi dewan, maka sang caleg menjanjikan akan memberi uang bonus, khusus untuk wan Munib. Jumlahnya pun cukup menggiurkan, yaitu 150 juta.
Luar biasa, bukan? Hanya dengan cara menggalang suara, wan Munib bisa dapat uang dalam jumlah yang besar. Padahal, jauh sebelumnya, wan Munib yang dikenal warga sebagai ‘makelar politik’ itu, telah berulangkali menunjukkan kesuksesannya dalam menggalang massa agar mau menghadiri setiap jadwal kampanye yang dilakukan oleh sang caleg. Dan, tentu saja, setiap keberhasilan yang dia lakukan itu, wan Munib selalu memperoleh uang bonus dari sang caleg.
“Yang jelas, uang 150 juta itu, diluar dari uang saku untuk para pemilih. Yang penting, prosesnya cantik dan aman. Adapun uang saku untuk para pemilih, akan saya berikan setelah proses penghitungan suara selesai dilakukan. Supaya jelas, berapa banyak jumlah suara yang harus saya bayar. Terserah sampeyan bagaimana mengaturnya agar saya bisa jadi caleg dari dapil sini. Bagaimana, wan Munib, apa sampeyan sanggup?” tanya sang caleg mantab.
”Ooo ... tidak masalah. Yang penting, sampeyan komit dengan janji sampeyan sendiri. Kalau sampeyan ingkar, ya sampeyan bakal digantung oleh konstituen sampeyan sendiri,” ujar wan Munib, beberapa saat setelah ia menandatangani surat kontrak suara dengan sang caleg.
Mungkin karena itulah, wan Munib dan massanya tidak langsung pulang setelah melakukan pencontrengan. Mereka berkumpul di tempat penghitungan suara itu, tidak lain adalah, untuk memantau perolehan suara sang caleg. Untunglah, perolehan suara sang caleg ternyata melebihi target. Wan Munib pun akhirnya bisa tersenyum lepas. ”Wah ... tercapai sudah cita-citaku,” katanya lirih. (Firman)

[ 28 ]
Lakon Apus-apusan

”PERJUANGAN masih panjang. Bisa meraih kemenangan dalam pemilu, bukanlah akhir dari sebuah perjuangan. Ini baru permulaan. Masih banyak pekerjaan yang telah menunggu di depan kita. Jadi, jangan mabuk kemenangan dulu,” nasihat wan Ali pada wan Thalib, caleg partai angin ribut, beberapa saat setelah tim penghitungan suara selesai menyampaikan hasil perolehan suara untuk para kontestan pemilu.
Alhamdulillah, meski proses penghitungan suara sempat berjalan cukup alot, tapi akhirnya selesai juga. Ribuan pendukung parpol dan caleg yang berhasil meraih suara mayoritas, bersorak-sorai. Bahkan beberapa di antara mereka itu, ada pula yang berjingkrak-jingkrak karena gembira melihat partai dan calegnya bisa lolos dalam pemilu tahun ini.
“Wah … partai saya kalah, wan Ali. Perolehan suara dari konstituen saya, ternyata tidak bisa memenuhi kuota yang telah ditetapkan oleh KPU. Itu artinya, saya gagal jadi anggota dewan, wan Ali,” ungkap Kang Somad dengan mimik wajah yang sedih. Matanya berbinar-binar.
”Alah, ndak apa-apa, Kang Somad. Kalah-menang dalam sebuah kompetisi itu, biasa. Jangan nglokro kayak gitu to. Kabeh iku mesti ono pelajarane dewe-dewe. Wis, saiki coba atine ditata. Bangun syukur marang Gusti Allah, amargi pesta demokrasi tahun niki mpun terlaksana dengan baik. Mboten enten kegaduhan. Niku mawon mang olah,” ujar wan Ali menanggapi keluhan Kang Somad.
”Angel, wan Ali. Atiku saiki lagek ajor amoh. Sirahku lagek mumet, dadi ndak iso mikir. Piye apik-e?” sahut Kang Somad.
”Mulane, ra sah dipikir. Nek mikir, sampeyan malah dadi mumet. Mending saiki bolo-bolo sampeyan dijak muleh wae, bek ora kepancing emosine. Nek wis tekan omah, coba sampeyan salat, nyuwun dipernahne Gusti Allah. Sing penting kan sampeyan wis ikhtiar. Perkara saiki sampeyan urung kepilih, iku mung soal waktu. Sopo ngerti pas pemilu ngarep, sampeyan malah kepilih, Kang Somad,” kata wan Ali sambil menepuk-nepuk pundak Kang Somad.
”Wong kabeh iku asline mung lakon kok, Kang Somad. Mulane, sampeyan ra sah sedih. Saiki sampeyan urung diwe-i lakon, ya ra popo. Ra sah digetuni. Disyukuri mawon. Wong asline, kabeh iku mung lakon apus-apusan kok. Ketok e apik, jan-jane asline urung mesti apik. Ketok e elek, ya asline urung mesti elek tenanan, Kang Somad,” tandas wan Ali. (Firman)

[ 29 ]
Susah Berbuah Nikmat

SUSAH, sedih, sakit, luka dan derita adalah lawan dari nikmat, senang, indah, bahagia dan gembira. Dua keadaan yang sering dialami manusia dalam kehidupan tersebut, jika disikapi secara arif dan bijaksana, akan membuahkan ilmu tentang rasa --- sebuah ilmu yang tak mudah untuk dipelajari, dihayati dan diresapi.
Pasalnya kenapa? Karena, kebanyakan manusia, cenderung lebih menyukai sesuatu yang bisa menimbulkan kesenangan, ketenangan, ketenteraman, kebahagiaan dan kegembiraan daripada sebaliknya. Padahal, aslinya, di balik setiap keadaan yang menghampiri manusia itu, biasanya selalu disertai oleh keadaan sebaliknya.
Misalnya, rasa senang. Di balik hadirnya rasa senang itu, sesungguhnya tersembunyi rasa susah. Persoalannya tinggal bergantung bagaimana cara orang yang sedang menerima keadaan itu dalam menangkap pengrasa lainnya yang menyertai keadaan sebelumnya.
Kondisi itulah yang sedang dialami oleh Kang Somad. Saat dia merasakan adanya rasa sedih yang amat sangat di dalam hatinya --- lantaran mengetahui bahwa perolehan suara untuk partai dan dirinya tidak bisa memenuhi quota yang telah ditetapkan oleh KPU --- tiba-tiba, dalam waktu yang bersamaan, dia bisa merasakan kebahagiaan yang tak terkirakan. Melebihi rasa bahagia jika ia terpilih menjadi anggota dewan.
”Gusti Allah memang Maha Kasih lagi Maha Penyayang, ya wan Ali?” ujar Kang Somad dengan mimik wajah yang bersinar terang bak bulan purnama.
”Lho, sampeyan baru tahu to Kang kalau Gusti Allah itu Maha Kasih lagi Maha Penyayang? Memangnya selama ini sampeyan belum bisa merasakannya? Apa yang telah menutup penglihatan dan pengrasa sampeyan sehingga tidak bisa merasakan kasih sayang Gusti Allah?” selidik wan Ali.
”Ya, mungkin karena saya selama ini masih dikuasai hawa nafsu, wan Ali. Akibatnya, penglihatan dan pengrasa saya jadi tidak bisa berfungsi secara maksimal. Untunglah, kejatuhan saya di dunia politik ini, malah membuahkan sadar dan bisa merasakan kenikmatan secara rohani bagi saya dan keluarga. Inilah yang disebut susah berbuah nikmat,” kata Kang Somad. (Firman)

Tidak ada komentar: